YANG AKU MAU….
Hari itu seperti bisaa , aku pergi ke sekolah diantar oleh ibuku sampai ke perempatan jalan di mana aku sering mendapatkan angkutan umum. Hari itu langit tampak mendung, sehingga memburamkan suasana, yang terlihat tampak masih pagi sekali. Meskipun begitu hari itu, aku berangkat agak siang tidak seperti bisaanya,. Sebenarnya aku masih belum siap untuk menjalani aktivitasku di sekolah, karena hari ini ada ulangan. Mungkin bagi teman-temanku ulangan adalah event yang paling penting untuk mempraktikan segala trik terbaru mereka untuk mencontek. Aku akui hasil yang mereka dapatkan cukup lumayan, sampai-sampai aku sempat tertular virus mereka. Aku mengiri dengan nilai yang mereka dapatkan. Selama ini aku sering sekali, mendapat nilai di bawah hasil contekan. Aku jadi terobsesi untuk mencari nilai. Tapi,bukankah sekolah itu tempat untuk mencari ilmu? Ya, aku memang menyalahi hal itu. Aku masih bingung sekolah itu untuk apa. Selama ini aku hanya memandangnya dari sebelah mata saja, kalau sekolah itu hanyalah sarana untuk masuk perguruan tinggi, memperoleh pekerjaan, gelar dan riwayat pendidikan, karena yang dibutuhkan hanyalah ijasahnya saja. Benar nggak sih? Toh,mengapa aku sekolah bertahun-tahun tapi,yang diuji dan diambil nilainya cuma pada jenjang satu tahun terakhir saja..........
Hati dan pikiranku terus bertanya-tanya tiada henti, tak kuasa diri ini tuk menahan hal itu. Selama ini, apa yang aku pelajari semata-mata hanyalah untuk menjawab soal-soal saja. Mungkin hanya sedikit ilmu yang bisa ku serap dari sekolah yang aku jalani hingga bertahun-tahun lamanya.llmu itu bagaikan hujan yang mengguyur sebuah pohon dan ilmu itu akan berkembang menjadi buah yang manis, yang bermanfaat atau tumbuh menjadi buah yang beracun, yang merugikan, tergantung dengan perilaku pohon (manusia) itu.
Detik demi detik ,hati dan pikiranku terus berputar melayang memikirkan sesuatu. Angkutan umum yang melaju dengan santainya akhirnya membawaku sampai ke sekolah juga.
“ Pak kiri,pak”
“O,ya…..”
Aku turun dari angkutan itu dan mulai malangkahkan kakiku melewati gerbang sekolah yang terbuka lebar, menuju ruang kelasku. Sekolah dengan nama yang gagah, yang terdiri dari beberapa ruang kelas yang salah satunya ruang kelasku. Ruang kelas yang terletak tak jauh beberapa meter dari jalan raya. Kelasku memang tergolong strategis. Selain tak jauh dari jalan raya kelasku juga terletak di dekat aula yang kadang-kadang membuat kelasku bising oleh kegiatan mereka yang ada di aula. Sayangnya untuk menuju ke kantin dibutuhkan waktu yang cukup lumayan.
Aku membuka pintu kelasku lebar-lebar, serasa angin sepoi-sepoi berhembus menerpa diriku. Ruangan masih sepi, belum ada orang, ternyata aku datang pertama kali. Aku segera memilih tempat duduk. Sebelum memilih tempat duduk aku selalu memikirkan dulu pelajaran hari itu. Tempat duduk adalah posisi yang sangat menentukan. Menurutku tempat duduk di kelasku sudah seperti sistem bockingan. Teman sebangku yang tak pernah ganti , kalau toh ganti paling dengan anak itu-itu aja. Kecuali kalau pindah kelas, semua bisa berubah. Tak berapa lama, akhirnya kelasku mulai dipenuhi oleh anak-anak. Seperti bisaa kalau sudah penuh anak-anak kayak begini. Kebisaaan rutin mulai dilakukan. Semua sibuk mencontek pekerjaan rumah yang lazimnya sering disebut PR itu. Kelas yang tadinya sepi-sepi saja,kini berubah jadi ramai dan heboh. Celoteh anak-anak dan canda tawa mewarnai aktivitas pagi itu. Lalu lalang anak-anak ,yang ribut pindah sana-pindah sini, sibuk melengkapi contekan.
Bel masuk berbunyi. Anak-anak mulai kebingungan kembali ke tempat duduk mereka. Hal yang menantang akan dimulai. Semakin banyak guru yang masuk otomatis semakin banyak pula tugas yang mengalir. ltulah yang aku khawatirkan kalau habis liburan langsung masuk. Artinya kalau aku masuk berarti aku menantang tugas-tugas itu. Memang sih kalau aku lari dari masalah nitu, justru masalah itu nggak bakalan selesai, maka dari itu aku perlu cukup keberanian untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pepatah mengatakan “SOLVING THE PROBLEM IS BETTER, THAN ESCAPE FROM THE PROBLEM.” Aku nggak tahu kalimatnya bener apa nggak, tapi yang pasti maksudnya kayak gitu.
Suara bel pulang berbunyi. Itulah yang aku tunggu-tunggu dari tadi. Pulang dari sekolah aku memutuskan untuk pergi ke warnet. Aku masih punya waktu satu setengah jam sebelum ibuku menjemputku. Ya, hari ini sekolah pulang lebih awal dari bisaanya. Dalam keseharianku, aku selalu bikin janji dulu dengan ibuku, mau pulang jam berapa. Kalau boleh bawa HP sih, no problem bagiku. Sayangnya, sekolah melarang siswanya untuk tidak membawa Hp. Meskipun begitu, tetap aja masih ada yang nekad. Kalau aku harus ke wartel tiap hari bisa tekor dong. Ibuku juga bukan tipe-tipe orang yang sabaran,kalau suruh nunggu lama. Kalau misalnya aku telepon dan suruh jemput sekarang, otomatis bisa kena semprot. Ibuku merasa diperlakukan layaknya seorang pembantu yang must be on time kalau disuruh-suruh. Seperti tukang ojek tak bayaran. Sudah tiga puluh menit aku di perjalanan menuju warnet dan akhirnya aku sampai juga.
“Mbak,penuh nggak ?”
“Nggak,banyak yang kosong kok.”
“O,ya makasih mbak.”
Aku segera mencari tempat yang nyaman menurutku. Di tempat duduk itu aku segera beraksi. Aku mulai melentikkan jari-jariku di atas papan keyboard yang penuh dengan tombol-tombol. Begitu seriusnya aku mencari bahan-bahan untuk tugas-tugas sekolah. Seiring dengan itu jarum jam terus berdetik. Tak geser dari tempat duduk, aku nge net sambil mencicil mengetik tugas. Sebenarnya,aku menginginkan sebuah benda seperti apa yang sekarang ada dihadapanku. Namun aku tak sanggup memintanya pada orang tuaku. Aku tak sampai untuk ngomong sama mereka. Benda yang tergolong cukup mahal menurut keluargaku. Benda yang tak dapat dibeli katakanlah, selembar uang seratus ribu rupiah. Masih jauh dari jangkauan harga yang semestinya. Selama ini orang menganggapku, aku punya benda itu, tapi kenyataannya nihil. Tapi no problem, aku terima dengan lapang dada apa kata- kata mereka. Aku menganggap apa yang dikatakan mereka itu, adalah sebuah doa.
Aku berusaha untuk bisa mengetik dengan cepat. Aku juga berharap salah satu tugasku bisa terselesaikan. Tapi, Oh My God aku tak sengaja melihat jam dinding yang menunjukkan angka tiga, yang artinya aku terlambat satu jam. Aku cepat-cepat mengemasi barang-barangku dan menutup semua program yang aku buka. Aku segera keluar dari warnet. Aku tak tahu lagi apa yang harus aku katakan pada ibuku. Ini bukan pertama kalinya aku terlambat tapi yang kelima kalinya! Aku terlalu keasyikan mengetik di warnet. Padahal ibuku itu orangnya disiplin banget. Apalagi kalau pagi-pagi nonton TV nggak bersih-bersih dulu, wah dunia bakalan gempar deh. Ibuku bisa ngomel habis-habisan.
Aku segera mempercepat langkahku supaya cepat sampai tujuan. Akhirnya aku sudah berhasil melewati dua perempatan dan satu pertigaan. Kurang satu perempatan lagi aku mulai dekat dengan perempatan di mana ibuku nenjemputku. Aku terus berjalan menyusuri jalan, akhirnya aku sampai juga di tempat di mana ibuku menjemputku. Aku mencoba melirik ke arah jarum jam dinding pasar, dengan nafas terengah-engah sambil mengusap keringat yang membasahi keningku. Aku berjalan cukup lama, tiga puluh lima menit ditambah jam yang ada di warnet terlambat beberapa menit.
“Dari mana aja kamu.”
“Tadi aku ke warnet dulu.”
“Nge net lagi – Nge net lagi.”
“Ya mau gimana lagi ta ,wong nggak punya.” Aku tertunduk lesu.
Ibuku tak membalas lagi omonganku. lbuku segera mengenakan helmnya dan nggak pakai lama langsung tancap gas. Aku dan ibuku melesati jalan menuju rumah. Dalam hati, aku berkata, udah jalan capek-capek, laper ee ,lha kok dimarahi. Itulah salah satu sifat yang aku nggak suka dari ibuku, yang nggak mau menghargai pengorbanan orang lain.
Ya, sih aku menyadari kalau diriku memang bersalah. Sebenarnya aku juga bisa mengerjakannya di rentalan tapi kayaknya lebih asyik di warnet deh. Selain itu aku juga bisa sih, mengerjakannya di tempat saudaraku tapi aku merasa rikuh aja. Apalagi alatnyakan sering dipakai. Sebagai manusia yang baik harusnya aku bisa, jaga perasaan dong……….
Sesampai di rumah. Ibu terus menggerutuiku. Tapi aku tak menghiraukannya. Aku segera masuk kamar, ganti baju dan cuci tangan. Segera aku mengambil piring dengan segundukan nasi dan sayur. Ehm…lezatnya. Sesuatu yang aku nanti-nanti dari tadi. Selesai makan, aku meletakkan piringku begitu saja di tempat cuci piring. Aku ingin sekali membaringkan tubuhku di tempat tidur yang empuk. Tapi ibuku segera menghampiriku dan langsung tanya.
“Piringnya dicuci pa nggak?
“Nggak.”
“Eee…ya dicuci dulu wong cuma satu.”
“Ya Bu………. , Ah…..” Aku mengeluh.
“Emang lamanya,seberapa sih.”
Sebenarnya dalam agamaku berkata “ah”saja sudah dianggap durhaka pada orang tua. Akhirnya aku pergi juga ke tempat itu. Meskipun ibuku cuma bilang satu tapi ujung-ujungnya suruh cuci semua. Kalau aku benar-benar cuma nyuci satu punyaku doang, aku bisa dianggap egois.
*****
Hari minggu bagiku sama aja nggak liburan kalau harus pergi-pergi ke luar rumah. Hari itu aku punya jadwal latihan ”blablabla” di rumah teman. Aku berangkat jam delapan lebih beberapa menit. Aku berangkat naik sepeda soalnya ibuku nggak mau nganterin, nanti motornya mau dibawa pergi. Saat itu HPku sedang di charge. Aku pergi seperti orang nggak ikhlas,tapi sebenarnya nggak gitu sih. Aku sudah mengayuh sepedaku meninggalkan rumah kira-kira dua ratus meter dari rumah. Di tengah perjalanan itu aku baru ingat kalau HPku ketinggalan. Kalau aku balik, udah jauh. Terus jamnya juga udah mepet. Aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Akhirnya aku sampai di tempat penitipan sepeda. Aku berjalan sepaanjang trotoar mencapai sebuah perempatan. Untuk menyambung perjalananku, aku menaiki sebuah angkutan umum yang sedang ngetem di sana. Sebenarnya makna liburan bagiku untuk istirahat plus ngirit ongkos. Tapi ya udahlah, jalani aja.
“ Pak kiri,pak.”
Angkutan umum segera berhenti tepat persis di depan sebuah toko besar. Aku menyebrangi jalan dan menuju rumah temanku. Aku udah janji mau pergi ke rumahnya. Jam setengah dua aku baru selesai latihan. Setelah itu aku pulang naik angkutan umum. Aku nggak langsung pulang ke rumah tapi aku pergi ke warnet dulu. Aku memanfaatkan kesempatan ini, mumpung lagi bebas. Aku segera masuk ke warnet dan mencari tempat kosong. Aku berharap pada kesempatan kali ini aku bisa menyelesaikan tugas-tugasku. Detik demi detik berlalu. Aku mulai terampil membaca huruf-huruf pada keyboard yang udah agak hilang tulisannya. Mungkin karena sering dipakai oleh berbagai macam tangan manusia, yang akhirnya jadi mengelupas. Bahagianya hatiku, aku bisa menyelesaikan dua pekerjaan lebih meskipun belum begitu sempurna, tapi cukup lumayan untuk ditampilkan. Aku begitu asyik menarikan jari-jariku di atas papan keyboard. Tapi lama-kelamaan capek juga sih. Aku memijat-mijat tanganku yang pegal-pegal. Sejenak aku melihat jam dinding. Hampir setengah enam! Aku terperangah. Pantesan suasananya gelap. Tak terasa aku di warnet sudah empat jam lebih. Aku juga udah capek. Aku segera menutup semua aplikasi yang telah aku buka dan membayar tagihan. Takutnya aku pulang maghrib.
“Mas.komputer satu.”
“Wuih,empat jam. Apa nggak capek Dik?”
Aku hanya menyungging senyum di wajahku., tak menjawab pertanyaanya.
Aku menarik pintu dan keluar dari tempat itu. Aku berjalan kira-kira seratus meter untuk mengapai tempat penitipan sepeda. Tenggorokanku mulai terasa kering kerontang, tapi uangku sayang kalau buat beli minum. Mendingan aku tabung. Langit mulai gelap. Aku mempercepat langkahku. Dalam pikiranku aku membayangkan, habis ini aku mengayuh sepeda melewati tanjakan yang lebih tinggi dari aku berangkat. Huh….rasa-rasanya aku ingin langsung tiba-tiba sampai rumah tanpa harus melewati rintangan itu. Aku menyerahkan nomor dan membayar titipan. Aku mengambil sepedaku. Di tengah perjalanan hujan jatuh rintik-rintik. Aku mulai mempercepat kayuhanku. Biarlah aku kehujanan soalnya mau gimana lagi aku nggak bawa jas hujan. Waktu terus bergulir. Aku lebih mempercepat kayuhanku. Suara adzan maghrib telah menggema. Lama aku di perjalanan, akhirnya aku sampai juga di rumah. Ibuku telah menantiku duduk di kursi yang ada di beranda. Belom saja aku menaikkan sepedaku ke teras, Eeee……..ibuku sudah langsung komentar.
“Jam berapa ini? Masih jam enam pagi lho.”
Aku tak membalas pertanyaanya. Aku hanya terdiam saja mendengar omelan ibuku. Aku segera menarik handuk dari jemuran, keringat sudah membasahi tubuhku dari tadi. Aku lekas pergi mandi. Aku tampak seperti orang yang lagi kesal dan marah. “Wah, bagus juga actingku.” Kataku dalam hati. Tapi sama sekali aku nggak ada perasaan kayak gitu. Sekalian aja aku terusin. Dari tadi aku pulang aku belum mengajak ibuku bicara. Aku tak menjawab pertanyaanya. Aku memang lagi malas ngomong. Setelah selesai mandi aku mengambil piring, nasi dan sayur. Perutku sudah keroncongan dari tadi. Aku menengguk satu setengah gelas air minum dan sekarang, tenggorokanku telah basah, tidak kering lagi.
Ibu mulai mendekati aku lagi dan mencoba mengetuk pintu hatiku dengan melempar beberapa pertayaan. Lama- lama kasihan juga ibuku. Akhirnya aku jawab juga pertanyaannya.
“Tadi kamu ke mana aja?”
“Ya latihan dong….”
“Sampai jam segitu kamu latihan?”
“Ya,nggak sih tadi aku ngenet empat jam.”
“Empat jam?”
“lya…..”
“Kok,nggak bawa HP ta?“
“Emang sengaja aku tinggal?” Aku memanas-manasi lbuku.
“ Lha, itu habis berapa?
“Cuma Rp.13.000,00 kok. Itu aja sudah termasuk murah lho”
“Ooww, dengan mudahnya kamu menghabiskan uang dalam sekejap. Kamu seharusnya bersyukur kalau kita bandingkan dengan orang-orang yang masih ada di bawah kita. Memang sih kamu belum merasakan begitu susahnya mencari uang. Uang itu bagaikan air mengalir,dicari susah tapi dibuang dengan mudahnya.dalam sekejap saja bisa raib di tangan.”
Dalam hati aku jadi merasa bersalah. Kata-kata itu aku camkan di hatiku dalam-dalam. Aku memiliki suatu pengalaman yang cukup penting hari itu. Bagiku sebuah kata yang berharga ,di dalamnya mengandung sebuah pengalaman yang luar biasa. Karena kata-kata seperti itu biasanya didapat dari perjalanan panjang dengan berbagai pengalaman.
“Ya,tapi mau gimana lagi dong aku mengerjakan tugas-tugasku.”
“Ya,kamu juga harus sabar dong.”
Sepertinya ibuku sudah mulai merasa kalau alat itu memang penting bagiku.
“O,ya tadi bu Mozza telpon, kalau anaknya mau belajar sama kamu bisa nggak? Sebenarnya mau tadi, tapi kamu belum pulang.”
“Ehm,gimana ya?”
“Udah terima aja, anggap aja itu sebagai job buat kamu. Nantikan uangnya bisa buat tambah-tambah buat nge-net.
“Ya,udah deh besok.”
Keesokan harinya ,beberapa jam setelah pulang sekolah. Aku mengajari anak bu Mozza namanya, lwan. Dia masih SMP, kelas delapan. Sebenarnya aku merasa diriku belum cukup pintar. Tapi apa yang aku bisa aku berusaha untuk membantunya. Sebelumnya dia memang pernah belajar denganku. Aku nggak mau menyebutnya dia les, tapi aku menganggap, dia belajar padaku. Aku diberi uang cukup lumayan,dari job itu. Dia boleh datang kapan aja dia mau tapi sebelumnya ngabari dulu supaya nggak kecelik. Aku juga nggak tahu mbayarnya kapan aja. Semua aku pasrahkan padanya. Pokoknya semua terserahlah. Dia mau datang kapan, jam berapa, mau belajar apa, sampai jam berapa, aku layani selagi aku masih bisa. Aku tadinya niatnya cuma membantu. Tapi berhubung uangnya ku tolak tetap aja suruh terima. Ya, udahlah mulai saat ini, kapan aja dia ngasih uang ya aku terima. Baru sekali belajar aja setelah libur, aku udah dikasih uang. Ya,jelas senang banget dong….
Diam-diam ibuku menelepon temannya, untuk membantunya mencari benda itu yang harganya miring. Aku masih sangsi,dengan kehadiran alat itu dalam keluargaku. Apakah nantinya kehidupan di keluargaku akan lancer-lancar aja? Memang masih ada satu masalah lagi yang belum terselesaikan. Ayahku pernah bilang kalau aku dibelikan benda itu aku harus berangkat sekolah nyepeda. Hal itu agak jadi masalah bagiku soalnya aku pernah berangkat sekolah naik sepeda nyaris terlambat. Kalau untuk mengatasinya aku harus bangun lebih pagi, itu masih sulit untukku. “ You must be prihatin”.Sebenarnya lbu mampu membelikanku alat itu dengan cara menabung. Tapi ibu, masih sulit untuk mengurangi biaya konsumsinya sehari-hari. Padahal, yang dimakan nggak seberapa.Pokoknya kalau nggak niat dari dalam hatinya,emang susah.
Aku pernah berkali-kali bilang pada ibuku,
“Bu,kalau peringkatku turun gimana?
“Lha, turun kenapa kayaknya nggak ngapa-ngapain.”
“Ya,masalahnya sekarang model tugasnya emang perlu bantuan alat itu.”
“Ya,terserah kamulah, kamu mau berubah apa nggak ta...”
Ibuku langsung mengakhiri obrolannya denganku. Benar saja waktu terima rapor UHT aku lengser dari peringkat delapan jadi dua belas. Padahal peringkat terbesar yang pernah aku peroleh adalah delapan. Aku benar-benar telah membuat kecewa orang tuaku yang telah susah–susah mencarikanku uang untuk membiayaiku. Lama-kelamaan akhirnya aku mengikhlaskan juga tentang itu.
******
Libur ujian tiba. Aku sudah cukup bangga dengan hal itu tapi, aku masih kecewa libur-libur aku harus pergi latihan. Aku mau berangkat ke sekolah sendiri. Tapi ibuku menawariku untuk bareng dengannya, dia juga mau pergi yang kebetulan arahnya sama. Aku rasa ibuku justru trauma kalau aku sampai pulang malam lagi. Meskipun pada akhirnya menggerutuiku.
“Nanti mau pulang jam berapa?”
“Jam tiga.”
“Beneran lho jam tiga.”
Kali ini aku bisa menepati janjiku bisaanya aku selalu gagal soal waktu. Tapi,gara-gara angkutannya ngetem lama, ibuku jadi udah sampai duluan deh. Ibuku mengomel padaku.
“Katanya jam tiga.”
“Masalahnya tadi angkutannya ngetem lama…….” Keluhku.
Aku dan ibuku langsung melesat pulang.
Adzan maghrib telah menggema. Aku beranjak mengambil air wudhu dan pergi untuk melaksanakan shalat maghrib. Selesai shalat maghrib , aku langsung pergi ke kamarku untuk mempersiapkan jadwal hari besok. Semua buku yang tadi aku bawa,aku keluarkan dan menggantinya dengan buku-buku untuk pelajaran besok. Seiring dengan memasukkan buku-buku itu ke dalam tas, aku teringat kalau besok ada ulangan. Aku cepat-cepat memasukkan buku-buku itu dan mengambil salah satu diantaranya untuk belajar. Aku mulai membaca dan mempelajari materi untuk ulangan besok. Sudah cukup lama aku duduk di kursi depan meja belajar tapi tetap saja, masih halaman pertama terus yang aku baca, nggak ganti-ganti. Jujur, aku masih belum paham dengan materi yang aku pelajari itu. Sepertinya otakku sudah terlalu lelah sehingga sudah tak mampu lagi untuk menyerapnya. Belum lagi mataku terasa sangat ngantuk. Tapi,aku berusaha untuk menahannya. Aku melanjutkan belajarku. Baru membaca satu, dua halaman saja mataku sudah terasa lengket, aku mencoba menggarakkan jari telunjukku dan ibu jariku membentuk huruf C untuk menopang kelopak mataku yang tinggal beberapa watt lagi padam. Tapi, “Hu…Uh..,sulit sekali,sepertinya mataku benar-benar sudah nggak bisa diajak kompromi again.” Tiba-tiba “duk…..” kepalaku tergeletak di atas hamparan papan kayu berwarna cokrlat yang tak lain adalah meja belajar. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi pada diriku selanjutnya.
“Tok…tok….Assalamu’alaikum…..”
“Kayaknya ada yang ketuk pintu.” Kataku dengan nada lirih. Aku pergi menuju pintu itu dan membukanya. Iya benar memang ada orang.
“Clerk…………” Aku membuka pintu itu. “Haah….Tukang pos??? nggak biasanya tukang pos dating kemari.” Kataku dalam hati.
“Dik, ini ada kiriman paket. Sebelumnya tolong tanda tangan dulu…”
“lni dari siapa ta, Pak?”
“Kayaknya adik ini menang undian TelkomselPoin deh…”
“Ah,yang benara aja Pak…”
“Emangnya adik ini nggak nonton undiannya pa?”
“Nggak. Tapi, kok nggak dihubungi lewat telpon dulu ya………”
“Oooo, itu biasanyan yang dapat mobil.”
“Ya,udah Dik saya mau melanjutkan mengantar barang-barang ini. “
“Oyaya……”
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam.”
Aku mengangkat paket itu dan membawanya masuk ke dalam. Aku benar-benar bahagia menerima hadiah itu. Seumur-umur aku belum pernah menang undian yang kayak begituan. Aku penasaran isinya apa. Aku membuka bungkus itu dengan hati-hati. Rasa ingin tahu dan bahagia bercampur jadi satu. Tinggal satu tahap lagi bungkus itu selesai dibuka. Hari gini masih ada juga orang yang mau ngasih kayak begini buat aku. Benda apaini ya? Kayaknya aku kenal dengan tasnya. Aku membuka isi tas hitam itu. “Oh….Ya ampun ??? Sebuah Laptop.” Aku mencoba menghiduakannya dan menjelajahi isi benda itu.dan akhirnya aku masuk pada bagian yang aku sukai. Aku tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapakan rasa bahagiaku. Di atas papan keyboard aku melentikkan jari-jariku mengetik sesuatu. Oya, akukan punya flashdisk. Aku mengambil flashdiskku yang ada di dalam tas. Tiba-tiba ibuku mungul dan menepuk punggungku. “Sedang apa kamu?”
Di sisi lain ibuku membangunkan tidurku. “Hei…lzz bangun. Katanya mau ulangan. Kok malah tidur.”
“Lhah…Laptopku mana???”
“Laptop apaan, orang dari tadi cuma ada buku doang.”
“Ya, berarti Cuma mimpi donk .“
Rasanya aku nggak mau melewatkan mimpi yang begitu indah itu. Aku ingin mimpi it uterus berlanjut, syukur-syukur jadi kenyataan. Ah sudahlah aku kok jadi mikirin mimpi it uterus. Seharusnya aku focus buat ulangan besok. Bukanya berangan-angan seperti ini. Aku begitu tak menyadari kalau dari tadi bukuku terkapar di atas meja belajar. Sepertinya posisiku sudah nggak nyaman lagi deh. Aku berpindah posisi, au belajar sambil tengkurap dan ditemani bantal untuk menyangga kepalaku. Dua, tiga halaman terlampaui. Kurang dua halaman lagi aku selesai. Aku cuma membaca sekilas dua halaman terakhir itu, baru selanjutnya aku memperdalamnya. Nggak tahu kisah selanjutnya, tahu-tahu aku bangun , hari sudah pagi. Aku pergi ke sekolah dengan nada pasrah.”Bisakah aku, mengerjakan soal ulangan dengan usaha yang seperti aku lakukan tadi malam?” aku terus memikirkan mimpiku tadi malam. Mimpi yang membuat hatiku benar-benar tersenyum bahagia. Ingin rasanya mimpi itu benar-benar jadi kenyataan. Tapi apa daya tangan tak sampai…….
Aku menjalani kehidupan seperti bisaanya. Tak ada perubahan yang cukup berarti menurutku. Harus bagaimana lagi aku menyusunkata-kata dan merangkainya menjadi sebuah cerita yang tak tahu pasti ujungnya kapan. Impian yang belum terwujudkan,yang nggak bisa diprediksikan kapan jadinya. Aku nggak tahu sampai kapan keadaanku akan terus begini. Sebenarnya aku kasihan juga sama orang tuaku. Tapi apalagi yang harus aku perbuat. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Hati ini terus merintih kesakitan menahan lara,luka batin yang terluka.
Detik demi detikku lewati, kutiti dengan hati-hati, tapi kenyataan belum juga datang. Hari demi hari kujalani dengan penuh harapan, sebuah keinginan yang terkabulkan. Aku masih tetap berharap dan terus berharap datangnya sebuah keberuntungan yang menimpa diriku. Tapi dalam berjalannya waktu ini, aku masih tetap menunggu dan terus menunggu……..yang aku mau……..-LS
-SELESAI-
LILIS SETYANINGSIH
16/X2
LILIS SETYANINGSIH
16/X2
weleh-weleh perjuangan yang keras
melas banget tiap hari kena semprot