ANTARA BENCI DAN CINTA
Hari-hari kulalui dengan bayang-bayang masa lalu. masa lalu yang selalu membekas di hatiku, masa lalu yang membuat aku bingung, masa lalu yang indah dan yang tak terlupakan.
Hari ini seperti biasa aku dan teman-temanku pergi ke kantin saat istirahat. Namun di tengah perjalanan, aku dikejutkan oleh beberapa sosok manusia yang tak asing bagiku. Tak salah lagi, mereka adalah Riza, Putra, Wawan, Eno, Teguh dan teman-temannya di barisan calon siswa baru di sekolahku. Sekolahku memang membuka pendaftaran sebelum sekolah lain. .............
Hari ini seperti biasa aku dan teman-temanku pergi ke kantin saat istirahat. Namun di tengah perjalanan, aku dikejutkan oleh beberapa sosok manusia yang tak asing bagiku. Tak salah lagi, mereka adalah Riza, Putra, Wawan, Eno, Teguh dan teman-temannya di barisan calon siswa baru di sekolahku. Sekolahku memang membuka pendaftaran sebelum sekolah lain. .............
Di saat pelajaran, aku tak lagi memperhatikan guru di depan sana yang sedang membicarakan mengenai piramida makanan, daur-daur apalah itu aku nggak peduli, yang ada di pikiranku saat ini hanyalah sosok calon adik kelasku itu. Aku benar-benar tidak konsentrasi mengikuti pelajaran pada jam ini dan juga pada jam-jam selanjutnya.
Malam harinya, disaat aku sedang membaca novel, aku teringat akan masa laluku di SMP.
“Cha, sebenarnya mana sih adik kelas yang udah bikin kamu kayak orang gila gitu?”tanyaku pada Nesha sahabatku.
“Duh, masa kamu nggak tau sih, itu lho Riza, anak kelas 8D,’jawab Nesha.
“Haaaa………….?” Aku terkejut bukan main. Saking terkejutnya sampai-sampai aku tersedak bakwan jagung yang sedang kusantap.
“Lha emangnya kenapa to Vie, biasa aja kali, nggak usah lebay gitu.”
“Ya, nggak papa sih, emm… apa nggak ada yang lain apa yang lebih bagus yang lebih cakep dari Riza. Emang apa bagusnya sih si Riza itu?”tanyaku penasaran.
“Vie, cinta itu buta Vie, cinta nggak kenal apa-apa, cinta yang sebenarnya itu dari hati bukan dari mata,” jawab Nesha asal.
“Cha…, gila kamu ya,” kataku sembari bangkit dari tempatku duduk untuk membayar makanan yang kumakan.
Sejak aku tau cowok yang digilai Nesha, aku harus betah diceramahi Nesha tentang sang pujaan hatinya itu. Sebenarnya aku sudah muak dengan semua cerita Nesha, namun aku tetap setia mendengarkannya karena Nesha adalah sahabat karibku. Neshalah yang selalu mendengarkan keluh kesahku, yang selalu menemaniku mengobrol disaat jam pelajaran.
Setiap hari aku dan Nesha selalu membicarakan Riza, namun pada suatu saat kita merasa bahwa setiap kita lewat di depan kumpulan Riza dkk, ada yang memperhatikan. Aku pun cuek saja dan menganggap biasalah, namanya juga adik kelas.
“Aw… eh dik ngapain sih nabrak-nabrak, sakit tau,” kataku pada seseorang yang tiba-tiba menabrakku hingga aku terjatuh di lapangan basket.“Maaf ya mbak, sengaja.” mereka berkata sambil berlalu dari hadapanku.
Kata-kata yang keluar dari mulut salah satu anak yang ada di hadapanku tadi membuat aku serasa berhenti bernafas. aku tak mengerti dengan apa yang baru saja terjadi. aku benar-benar tak mengenal anak yang telah membuatku jatuh itu. yang kutahu dia adalah teman Riza, cowok yang disukai Nesha. Di setiap jam pelajaran aku nggak konsentrasi, aku terus melamunkan kejadian siang tadi hingga bel pulang menyadarkan aku dari lamunanku.
“Vie….Vie….Vie…………VIE…,”teriak Nesha.
“Ngapain sih Cha,” dengan kesalnya aku bertanya.
“Kamu kenapa sih dari tadi kerjaannya ngelamun nggak jelas gitu.”
“Aku masih kepikiran kejadian siang tadi Cha, kamu tau kan pas aku ditabrak sama anak kelas 8 itu,” aku menjelaskan pada Nesha.
“ooooo…. itu, biasa aja kali,” kata Nesha.
“Aku cuma bingung aja kenapa sih mereka tiba-tiba nabrak aku gitu, tadi mereka bilangnya juga sengaja kan, lagipula aku ngrasa aku nggak ada masalah ma mereka, iya kan Cha?”tanyaku.
Aku bener-bener bingung, kepalaku rasanya berputar-putar. Aku merasa kepalaku pusing sekali memikirkan kejadian tadi. Huft,, aku butuh istirahat.
Pukul 01.00 dinihari aku terbangun dari tidurku karena mimpi buruk yang menimpaku. Aku mimpi aku hampir dibunuh oleh komplotan anak-anak 8D yang tadi siang menendangku. Aku sangat takut mengingat mimpi itu. Aku coba menenangkan diriku bahwa hal itu nggak mungkin terjadi. Saat aku mencoba memejamkan mataku, aku takut mimpi itu akan berlanjut. Aku mencoba memejamkan mataku diiringi suara musik untuk menghilangkan rasa takut itu.Pagi harinya, aku berangkat sekolah seperti biasa. Saat berada di koridor aku merasa ada seseorang yang memperhatikanku, namun aku tetap cuek berjalan menuju kelasku. Disaat istirahat ada anak yang mencariku, ternyata itu Ruri, dia adalah saudaraku. Dia menyampaikan sebuah surat untukku, saat aku bertanya apa isinya dia hanya menyuruhku untuk membacanya sendiri. Di tengah pelajaran aku membaca surat yang ternyata dari teman Ruri, surat itu isinya menyuruhku untuk menemui mereka sepulang sekolah di depan perpustakaan. Huft, lagi-lagi Riza dkk, sebenarnya apa sih yang mereka mau.
“Vie, itu surat apaan sih?” tanya Nesha penasaran.
“Owh…, ini surat cinta dari Riza buat kamu,” jawabku asal.
“Haa…, yang bener Vie,” kata Nesha sambil merebut surat itu dariku.
Setelah membaca surat itu Nesha cemberut dan menampakkan kekecewaannya.
“Jahat kamu Vie, ngerjain aku,” kata Nesha.
“Lagian juga, aku ngomong kaya gitu aja dipercaya, nggak mungkin lah Riza kasih surat itu buat kamu orang Riza dah punya pacar juga.”
“Vie,, siapa pacarnya.., kok kamu baru ngasih tau aku sekarang sih, jahat kamu Vie,” kata Nesha dengan kesalnya.
“Cha, plis deh nggak usah lebay gitu, aku bingung nih mau nemuin mereka apa nggak,” kataku dengan sedikit emosi.
“Temui aja deh Vie, ntar aku temenin deh, nggak papa biar aku jadi obat nyamuk aku rela kok asal bisa ngeliatin wajah Riza yang imut itu.”
“Mulai lagi deh.”
Ya Tuhan…..apa yang sebenarnya terjadi, aku benar-benar bingung. Apa yang akan mereka lakukan padaku. semoga aku selamat, batinku seraya menuju perpustakaan tempat yang dijanjikan Riza dkk. Di depan perpustakaan telah berdiri sekelompok anak. Persaanku benar-benar tidak enak. Saat aku datang, pandangan mereka tak lepas dari diriku. Di belakangku, Nesha terlihat salah tingkah dan grogi dipandangi Riza.
“Emh…akhirnya datang juga,”sambut anak kecil berambut keriting yang telah menabrakku beberapa hari yang lalu.
“Sebenarnya kalian mau ngapain sih manggil aku kesini?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Eh Vie, kamu nggak usah ngomong macem-macem ya ma Shyra,” bentak Riza.
“Apaan sih, aku aja nggak kenal kalian, udah ditudyuh yang nggak-nggak,” kataku dengan sedikit jutek.
“Oke kalo gitu kita kenalan dulu,” kata Riza. Satu per satu dari mereka memperkenalkan diri. Akhirnya kutahu anak yang menabrakku bernama Teguh dan yang lainnya bernama Wawan, Putra, Eno, Derby dan tentu saja Riza.
“Emangnya aku ngomong apaan?”tanyaku bingung.
“Nggak usah pura-pura nggak tau deh, kamu ngomong sama Shyra kalo aku playboy lah, nggak tau malulah, inilah, itu, iya kan Vie,”bentak Riza.
“Emang salah apa kalo aku ngomong gitu, itu kenyataan kan,” aku berkata dengan emosi.
“Salah besar!” kata Wawan.
“Maksud kamu apa sih, masa cuma kaya gitu aja dibesar-besarin sih, nggak penting banget,” bentakku.
“Gara-gara kamu ngomong gitu, aku jadi berantem sama Riztya cewekku, tau nggak,” kata Riza penuh dengan amarah.
“Aku kan ngomongnya sama Shyra bukan sama Riztya kok,” kataku membela diri.
“Shyra ngomong ke Riztya dan Riztya termakan omongan Shyra,” kata Eno yang sejak tadi diam.
“Eh, aku capek tau berantem cuma buat ngurusin masalah sepele dan nggak penting kaya gini,” aku berkata sambil pergi dari tempat itu. Di tengah perjalanan aku merasa kesal,marah. Setiap orang yang menyapaku ingin ku marahi. Aku benar-benar kesal dengan mereka. Masa cuma masalah sekecil itu dibesar-besarin. Aku ingin sekali berteriak mengeluarkan semua perasaan yang ada di hatiku, namun aku tak sanggup untuk melakukannya.
Hari-hari berikutnya kulalui dengan perasaan tidak tenang. Bayangan Riza dkk selalu ada di benakku. Setiap hari aku selalu ditatap dengan tatapan tajam mereka. Awalnya aku tak membalas tatapan mereka, namun karena dorongan dan motivasi dari Nesha aku berani membalas tatapan sengit mereka. Kini aku sudah terbiasa dengan tatapan sengit, sindiran dan umpatan dari Riza dan teman-temannya yang ditujukan padaku. Sampai suatu saat ada yang aneh saat aku menatap Putra, entah kenapa aku merasa deg-degan saat mataku bertemu dengan matanya. Setiap kali bertengkar dengan Riza aku merasa aman jika ada Putra disitu. Apa yang sebenarnya aku rasakan? Apakah aku mencintai Putra? Aarrrrrrrrgggggggggghhhhh. Aku tidak ingin hal itu terjadi padaku. Putra adalah orang yang kubenci dan aku tidak mungkin mencintainya dan tak akan pernah, batinku.
Setiap hari aku selalu memikirkan Putra, padahal dulu aku begitu membenci Riza dan teman-temannya termasuk Putra, namun sekarang aku begitu peduli pada Putra bahkan disaat Nesha mencaci maki Putra aku tidak terima. Saat ku ceritakan hal ini pada Nesha, Nesha malah menjawab itu karma. Dulu aku menghina Nesha yang menyukai adik kelas tetapi sekarang aku sendiri justru merasakan hal yang sama terhadap Nesha.
“Cha, masa sih karma?”tanyaku.
“Bisa aja Vie, tapi kok aku sekarang malah ngrasa benci banget ya sama Riza,” kata Nesha.
“Aku pernah baca kalo kita terlalu benci dengan seseorang itu, maka kita akan mencintainya dan sebaliknya,” kataku.
“ Iya juga ya, aku juga pernah baca hal itu,”kata Nesha mengiyakan pendapatku.
“Tapi aku nggak mungkin suka sama Putra Cha, aku tuh benci banget sama dia karena dialah yang paling sering melihatku dengan matanya yang tajam itu,” aku masih nggak percaya dengan apa yang kurasa.
“Justru itu Vie, semakin kamu benci dengan Putra maka kamu semakin peduli dengan dia dan kamu akan semakin sayang ma dia Vie.”
Apa benar yang dikatakan Nesha, aku benar-benar tidak menginginkan hal ini terjadi padaku. Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkk. Namun, semakin aku mencoba menghilangkan perasaanku pada Putra aku justru semakin tidak bisa menghilangkan dia dari pikiranku. Apa yang harus aku lakukan. Dunia seakan berbalik, kini Nesha tak lagi menggilai Riza dan aku telah mencintai Putra.
Saat aku pulang sekolah, aku dihadang oleh beberapa komplotan anak 8D, sebenarnya aku ingin menghindar saja dari mereka namun aku ditahan oleh mereka.
“Vie, selama ini kita cuma perang dingin, aku penginnya kita perang secara terbuka,” tantang Teguh.
“Aku dah capek tau nggak ngurusin semua ini, aku dah mau ujian, nggak ada waktu lagi buat ngurusin hal-hal nggak penting kayak gini,” kataku jutek.
“Nggak bisa gitu Vie, masalah ini belum selesai.” Suara itu mangagetkanku, yang baru saja bicara padaku adalah Putra.
“Putra, kita nggak ada urusan, jadi kamu diem aja deh” aku berkata dengan agak gugup. “Riza, yang punya masalah itu kita, ngapain kamu ngikutin temen-temen kamu dalam masalah ini?” tanyaku.
“ Mereka adalah orang yang selalu mendukungku, kita itu satu, jadi masalah satu orang adalah masalah bersama Vie,” jawab Riza dengan sombongnya.
“Eh kalian, kalian kok mau-maunya jadi bodyguardnya si Riza ini, kalian tuh nggak punya masalah tapi kok mau sih ribet-ribet ngurus ini itu yang seharusnya bukan urusan kalian,” kataku panjang lebar pada teman-teman Riza.
“Kita itu loyal Vie,” jawab Eno asal.
“Udah lah aku capek,” aku mencoba untuk pergi namun tanganku ditahan oleh Putra. Aku langsung panas dingin. Dengan sekuat tenaga aku mencoba melepaskan tanganku dari cengkeraman tangan Putra, dan akhirnya pandangan kami beradu. lumayan lama aku berpandangan dengan Putra hingga akhirnya Putra melepaskan tangannya dari tanganku. Entah apa yang membuat Putra melepaskan tangannya.
Aku pun pergi dari tempat itu. Di tengah jalan aku masih dibayang-bayangi tatapan Putra. Aku merasa senang tapi aku juga merasa sakit. Aku senang karena aku beradu pandang dengan Putra dan aku melihat tatapan mata Putra bukanlah tatapan mata sinis yang biasanya Riza dan teman-temannya lakukan padaku, namun aku sedih karena Putra adalah musuhku. Malam harinya aku mengabarkan hal yang terjadi padaku sepulang sekolah tadi pada Nesha melalui sms. Namun tak ada balasan. Aku sendirian di malam yang sunyi memikirkan masalah yang terjadi padaku. Semua ini hanya karena hal yang sangat sepele namun semua ini berubah menjadi masalah yang kompleks dan menyebabkan ada cinta dalam hatiku.
Aku butuh bantuan, aku nggak mungkin menyelesaikan ini sendiri sedangkan aku akan menempuh ujian. Aku pun menyesali diriku yang menanggapi Riza, seharusnya dulu aku nggak nemuin Riza, nggak meladeni semua kata-kata dan tindakan Riza. Namun percuma, semua itu udah terjadi dan aku harus menjalaninya. Inilah konsekuensinya, aku harus bijaksana, aku harus menghadapi masalah ini bukan sebagai masalah namun sebagai permainan dalam kehidupan. Anggap ini semua permainan Vie. Aku mencoba memotivasi diriku sendiri.
Tak terasa aku hampir meninggalkan sekolahku tercinta untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tanggi yaitu SMA. Malam hari sebelum pengumuman kelulusan sekaligus pelepasan siswa kelas 9 aku menangis di dalam kamar, entah apa yang bisa membuat aku begitu sedihnya meninggalkan sekolahku ini. Aku merasa setelah aku pergi dari sekolah itu aku tidak akan bertemu dengan Putra lagi. Selain itu masalah yang ku alami belum selesai, masa bodoh dengan Riza. Aku tak ingin berpisah dari Putra, entah mengapa malam itu aku merasa Putra sangat berarti bagiku, aku tak kuasa menahan air mataku jika teringat Putra.
Saat acara pelepasan siswa kelas 9, mataku tak lepas dari Putra. Kemana pun Putra pergi aku selalu mengikutinya. Saat lagu “Sempurna” mengalun di tengah-tengah acara tiba-tiba aku menyadari ada seseorang yang sedang menyayikan lagu itu menatapku. Aku merasa senang karena yang menyanyikan lagu itu adalah Putra. Dia bernyanyi sambil tersenyum ke arahku dan senyumannya adalah senyuman tulus dari hatinya. Acara itu pun berakhir. Aku menuju tempat ditempelnya pengumuman nilai hasil UAN untuk melihat nilaiku. Aku sangat bahagia melihat nilaiku yang bisa dibilang baik dan sangat memuaskan. Pikirankupun melayang membayangkan sebentar lagi aku akan sekolah di sekolah yang terkenal berisi anak-anak yang pintar.
Aku pun pergi dari tempat itu dengan senyum lebar yang menghiasi wajahku, namun senyum itu pudar kala aku melihat Riza dkk. Mereka mendekatiku, sepertinya mereka akan mengucapkan sesuatu. ternyata dugaanku benar.
“Vie, selamet ya nilai kamu bagus,” kata Riza mengucapkan selamat padaku.
“Iya.. terima kasih,” jawabku dengan suara yang pelan tak ada power.
“Vie, meskipun kamu udah lulus bukan berarti masalah itu ikut pergi seiring kepergianmu,” kata-kata Eno membuat aku ingin marah.
“Emm, oo ya Vie, aku cuma pengin bilang semoga sukses aja di sekolah yang baru, kita akan berpisah Vie,” kata-kata Putra meredamkan emosi yang berkecamuk di dadaku. Tiba-tiba dadaku sesak, aku merasa ingin menangis. Karena tak ingin menangis di hadapan mereka tanpa kata, aku segera pergi dari hadapan mereka. Saat aku bertemu Nesha aku menumpahkan air mataku dalam pelukan Nesha, cukup lama aku menangis mengingat aku akan berpisah dengan Putra.
Kenangan itu tak terasa membuat aku menitikkan air mata, memori 1 tahun yang lalu. Sampai saat ini masalah itu belum selesai, aku ingin segera menyelesaikan masalah itu dan menjalin hubungan yang baik pada mereka. Namun apakah mungkin hal itu bisa terwujud. Oh…. Tuhan aku ingin hidup bebas tanpa masalah dan tanpa beban. Bisakah itu menjadi kenyataan. Dan kini aku begitu merindukan Putra, aku ingin sekali bertemu Putra namun untuk mewujudkannya kemungkinannya sangat kecil.
Keesokan harinya saat berangkat sekolah aku melihat sosok Putra, aku senang sekaligus sedih melihatnya. Ingin rasanya aku berlari menemuinya dan mengatakan perasaanku, namun aku tak mungkin melakukannya. Di sekolah aku hanya melamun membayangkan sosok Putra, cinta dalam hatiku, cinta yang tumbuh dari kebencian. Putra, aku merindukanmu. Aku berharap kau dan teman-temanmu kembali menjadi adik kelasku dan kita bisa seperti dulu lagi, meskipun menyakitkan namun menyenangkan. Tak apa aku dibenci oleh Putra, karena dengan kebencian itu aku bisa tetap dekat dengannya dan selalu bersamanya.
BY
NOFITA KURNIA DEWI
22
X_2
Komentar :
Posting Komentar