CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Cari

Custom Search

Penghuni Dab

Black Parade

BLACK PARADE

Usahanya Anak Parade

Sabtu, 30 Mei 2009

Kamu Bukan Pilihan Hatiku

Kamu Bukan Pilihan Hatiku

Dia untukku bukan untukmu
Dia milikku bukan milikmu
Pergilah kamu jangan kau ganggu
Biarkan aku mendekatinya
Kamu tak akan mungkin mendapatkannya karena dia
Berikan aku pertanda cinta
Janganlah kamu banyak bermimpi oo...
Dia untuk aku........


Lagu “Dia Milikku”-nya Yovie and Nuno mengalun di kamarku. Tanganku masih asyik menekan-nekan keyboard komputer, menyelesaikan tugas dari Bu Susi. Akhir-akhir ini, banyak tugas yang menumpuk. Masing-masing guru pasti memberi tugas. Buat ini, buat itu, ngumpulin ini, ngumpulin itu. Ah, pusing! Tugas yang sedang kukerjakan sekarang adalah tugas Bahasa Indonesia, membuat resensi buku bacaan. Sebenernya nggak terlalu susah, cuma mbosenin! Resensi kan seharusnya ditulis untuk buku yang masih baru, tapi di tugas ini Aku harus membuat resensi dari buku jadul. Buku yang kupinjam dari perpustakaan ini sampulnya sudah kusam dan baunya uh... apek. Tugas ini harus kukumpulkan besok pagi atau Aku tidak akan dapat nilai!
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Kulihat nama Daza tertampil di layar. Segera kuangkat handphoneku dan menjawab panggilan Daza.
“Halo”
“Halo” terdengar suara Daza dari seberang sana.
“Ngapain malam-malam telepon? Tumben bener, biasanya juga SMS” kataku mengawali pembicaraan.
“Lagi iseng aja, nggak ada kerjaan. Lagian pengen denger suara cempreng kamu.” ejek Daza.
“O...cuma mau denger suara cemprengku? Nah, sekarang dah denger kan? Dah puas?” kataku dengan nada sedikit meninggi.
“He, sorry. Gitu aja marah. Btw, kamu lagi ngapain nih?” tanya Daza.
“Lagi ngerjain tugas Bahasa Indonesia, tugasku belum selesai nih. Eh, bener kamu nggak ada kerjaan? Berarti tugasmu dah selesai dong!”
“Eh, tugas?? Emang ada tugas ya? Tugas apa sih?” Daza kembali bertanya.
“Heh, masa nggak tahu?? Tugas yang bikin resensi itu lho... Jangan bilang kalau kamu lupa terus sekarang belum ngerjain.”
“Oh iya, ada tugas itu. Hehehehe... Aku lupa. Tebakan kamu jitu banget sih,”
“Ah, kebiasaan! Dasar Daza, Si Mr.Pikun! Kayaknya rambut kamu belum ubanan deh, kok bisa pikun banget sih?”
“Hehehe...nggak tahu juga ya, bawaan kali,”
“Ya udah, jangan malah cengar-cengir aja, cepet kerjain! Dikumpulin besok lho!”
“Ya deh, Bu Guru... Ku ngerjain PR dulu ya, Kamu juga masih ngerjain kan? Met ngerjain PR deh. See you tomorrow, bye....” kata Daza mengakhiri teleponnya.
“Bye” telepon kututup.
Daza adalah salah satu sahabat terbaikku di kelas. Walau baru setahun kami bersahabat, aku sudah cukup mengenalnya dengan baik. Daza baik, perhatian, ramah, tapi pikunan! Payah banget, padahal umurnya belum genap 16 tahun. Setelah percakapan singkat tadi, aku kembali berkutat di depan komputer menyelesaikan tugasku. Sekitar 30 menit kemudian, resensi selesai.
“Ah, akhirnya selesai juga! Tinggal diprint deh...”
Nggak sampai 5 menit, tugasku sudah selesai dicetak. Aku pun melangkah ke dapur. Kubuka kulkas lalu kuambil cake favoritku, tiramisu. Hm... lezatnya.
“Ngemil terus! Entar gendut lho...” terdengar suara Seira, adik perempuanku.
“Masa bodoh! Gendut tapi kan pinter. Hehehe,” sanggahku.
“Dasar narsis! Oh iya, tadi HP nya bunyi tuh, kayaknya ada SMS deh.” Seira memberi tahuku sambil sibuk membuat es sirup.
“O..ya? Dah lama?” tanyaku.
“Sekitar 10 menit lah,” jawab Seira singkat.
“Emang dari siapa?” Aku bertanya lagi. Kayaknya aku kebanyakan tanya ya...
“Ya meneketehe! Dah lah, mending liat terus baca sendiri!” Seira mulai kesal karena aku bertanya terus.
Penasaran, aku kembali ke kamar mengambil HP. Di layarnya tertera 3 pesan diterima. Kulihat lagi, ternyata semua pesan dari Randy. Isinya sama semua lagi! Randy ini juga salah satu sahabatku. Kata temen-temen dia orangnya baik, cakep, keren, tapi agak telmi alias telat mikir. Eh, bukan aku aja lho yang bilang gitu. Temen sekelas juga banyak yang bilang gitu kok. Tapi walaupun agak telmi, dia asyik dijadiin temen curhat. Selain itu, dia sering banget ngirim SMS yang sama berkali-kali. Boros banget! SMSnya juga harus dibales secepatnya, kalau nggak dia bisa ngambek, kalau dah ngambek, susah deh... Tapi anehnya, dia nggak pernah lho marah sama Aku gara-gara nggak bales SMSnya. Pernah sih marah, tapi cuma sekali. Itu juga bentar banget, baru sepuluh menit dia udah nggak tahan terus minta maaf duluan.
SMS dari Randy tadi segera kubalas. Ah, akhirnya Aku malah asyik SMSan sama Randy, sampai pukul 22.30. Berarti Aku udah SMSan selama 1 jam! Wah, Aku harus segera berhenti kalau nggak pulsaku bisa habis. Jatah pulsaku buat sebulan kan cuma Rp.25.000,00. Kalau kayak gini terus, bisa defisit dong... Cepat-cepat Aku tulis SMS ke Randy.
Ran, dah dl yw... PulsaQ dah kritiz ne... Q mw tdr. C U. Bye...^_^
Setelah menuliskannya, segera kutekan tombol send. Nggak berapa lama HPku berbunyi. Ada SMS dari Randy.
Ok, Have a nice dream... C U 2....^_^

***

KRING....
KRING....
Bunyi jam beker membangunkanku dari tidurku yang lelap. Dengan terkantuk-kantuk, aku mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Setelah itu, Aku mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah dengan penuh semangat. Sesampainya di kelas, Aku segera menuju ke bangku kesayanganku. Setelah meletakkan tas, Aku berbaur dengan teman-teman yang lain. Ada Wendy, Devi, dan Lani.
“Pagi guys...” sapaku kepada teman-temanku.
“Pagi, Na!” jawab mereka hampir berbarengan.
“Lagi ngobrolin apaan?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Gini lho, sekarang kan udah tanggal 21 Desember. Sebentar lagi tahun baru. Kita lagi ngobrolin rencana tahun baru kita.” Lani menjelaskan.
“O..., terus kalian semua udah punya rencana apa aja?” tanyaku ingin tahu.
“Sehari setelah tahun baru, Aku mau liburan ke Bali sama keluargaku. Apalagi besok tanggal 25 kakakku yang sekolah di luar kota juga mau pulang. Duh, senengnya...” Devi menceritakan rencananya. Devi anaknya kalem, ceritanya tadi juga nggak heboh banget, tapi dilihat dari sorot matanya yang berbinar-binar, aku yakin kalau sebenarnya semangatnya sangat menggebu-gebu.
“Kalo Aku, rencananya pamanku yang dari Irian mau pulang ke sini. Terus mau bawain aku banyak oleh-oleh. Aku nggak sabar nih, kira-kira apa ya oleh-oleh buat Aku?” Giliran Wendy menjelaskan. Pamannya memang bekerja di Papua sebagai polisi. Dalam setahun, mungkin cuma pulang empat atau lima kali.
“Wah, jangan-jangan oleh-olehnya koteka tuh!” seruku pada Wendy. Devi dan Lani tertawa mendengarnya.
“Eh, bisa juga lho, kalo nggak koteka bisa aja kamu dibawain rumbai-rumbai. Lumayan lho, bisa buat mejeng.” goda Lani.
Aku, Lani, dan Devi tertawa terbahak-bahak sementara Wendy cemberut.
“Ok, ok, kita lanjutin ceritanya. Kasian si Wendy cemberut terus.” Devi menengahi.
“Ceritain rencana kamu dong, Lan!” pintaku pada Lani.
“Hm... kalo Aku, waktu liburan tahun baru nggak ke mana-mana, soalnya Aku mau ngadain pesta tahun baru di halaman rumah. Terus, pestanya dibikin kayak pesta barbeque gitu, ada kembang api juga, terus semua keluargaku ngumpul, nyalain api unggun bareng-bareng, nyanyi bareng, nari bareng, main bareng, terus ngobrol-ngobrol, nggosip sana nggosip sini. Oh iya, kalau kalian mau, kalian juga boleh kok dateng ke rumahku.” Lani bercerita dengan penuh semangat. Anak ini emang cerewet banget. Sekali ngomong, susah berhentinya. Ditanya sekali, jawabnya panjang banget kayak kereta api.
“Ok, Lani. Nggak usah diceritain sedetail itu kali,” protes Wendy.
“Ah, Wendy! Kamu kayak nggak kenal Aku aja deh! Aku kan anaknya selalu bisa mengembangkan setiap kata-kata yang kuucapkan hingga menjadi sebuah kalimat yang panjang lebar,” Lani membela diri.
“Intinya kamu cerewet!” Wendy menegaskan.
“Udah lah, terus apa rencana kamu, Na?” tanya Devi.
“Hm... rencanaku? Aku belum punya rencana apa-apa. Mungkin, cuma di rumah aja. Di keluargaku nggak ada tradisi ngrayain tahun baru gitu sih... So, nothing special, maybe we’ll gather in our grandparent’s house.” Ya, Aku memang belum punya rencana apa-apa. Tidak seperti teman-temanku yang sudah merencanakan cara mereka merayakan tahun baru kali ini.

***

Pada saat jam istirahat...
“Shanna, Shanna!” panggil Lani.
“Kenapa sih? Kok kamu kayak kesetanan gitu. Slow aja, Lan,” Aku berusaha menenangkan.
“Di belakang sekolah, dekat kamar mandi...” Lani bicara dengan napas ngos-ngosan. Dia kelihatan panik banget.
“Ada apa di sana?” tanyaku penasaran. Belum pernah kulihat Lani sepanik ini.
“Di, di.. , di sana, barusan Daz.., Daza sama Ra.., Randy ...” Lani bicara putus-putus. Agak nggak jelas sih, tapi Aku masih bisa menangkap maksudnya.
“Daza sama Randy? Mereka kenapa?” Aku mulai khawatir. Rasa takut tiba-tiba menyerangku.
“Mereka berantem!” kata Lani sedikit berteriak. Wajahnya benar-benar memancarkan rasa cemas dan takut.
“Apa??!” Aku kaget banget. Gimana nggak? Daza sama Randy kan sahabat baik bahkan mereka udah bersahabat sejak kelas 7. Sekarang, mereka berantem! Ini sulit dipercaya.
“Terus, sekarang keadaannya gimana?” tanyaku sambil mengguncang-guncangkan tubuh Lani.
“Nggak tahu deh, tadi waktu Aku mau ke kamar mandi, Aku lihat mereka lagi ngobrolin sesuatu, kayaknya serius banget. Tadinya Aku nggak curiga, nggak mikir apa-apa. Tapi habis itu, Daza mulai mukul Randy terus Randy bales pukulannya Daza. Pokoknya, kita ke sana dulu aja.” Lani menjelaskan kepadaku.
Aku dan Lani segera berlari menuju belakang sekolah. Di sana Aku lihat Daza sama Randy. Mereka udah nggak berantem lagi. Tapi mereka berdiri saling berjauhan sambil masing-masing menahan sakit karena pukulan yang didapatnya.
“Kalian ini kenapa sih? Ngapain berantem segala?” tanyaku kepada mereka berdua. Aku bener-benar nggak nyangka mereka bisa nglakuin hal kayak gini. Daza dan Randy nggak menjawab. Keadaan sepi.
“Untung nggak ada guru yang lihat. Kalo sampe ada yang lihat, bisa jadi masalah besar!” Aku berkata dengan nada marah.
“Udah, kalian cewek-cewek nggak usah ikut campur! Ini masalah cowok!” bentak Daza. Dari ekspresi wajahnya, dia terlihat sangat marah.
“Nggak ada masalah cowok atau cewek! Ini masalah kita bersama! Kalo ada masalah, diomongin dong, jangan berantem kayak gini!” Aku mencoba menasihati.
“Sekarang, aku tanya lagi sama kalian berdua, apa masalahnya?” nada suaraku kuturunkan. Nggak ada jawaban. Emosiku mulai naik lagi.
“Jawab dong!! Kalian punya mulut nggak sih!” Aku berteriak.
“Sabar...” Lani menenangkanku. Suasana hening sejenak. Kemudian Daza berjalan mendekatiku dan menjawab, “Kamu mau tahu kenapa aku sama Randy berantem?”
Aku menggangguk.
“Aku sama Randy berantem gara-gara,...” kalimat Daza terhenti sejenak. Daza mengambil napas sebentar lalu meneruskan kalimatnya.
“Kamu.”
Untuk kesekian kalinya, aku terkejut lagi. Kulihat Lani juga terkejut atas jawaban Daza. Satu kata terakhir yang diucapkan Daza benar-benar menusuk hatiku. Tubuhku gemetar. Aku hampir tak bisa berkata-kata. Namun, kukerahkan seluruh tenagaku untuk bertanya, “A..aku penyebab semua ini?”
Daza dan Randy tidak menjawab. Mereka hanya saling pandang kemudian pergi meninggalkan Aku dan Lani. Aku berusaha untuk tidak menangis walau itu sangat susah.
“Aku nggak ngerti,... Kenapa? Apa salahku?” Aku bertanya pada Lani. Lani hanya menggeleng, menenangkanku, kemudian menggandengku kembali menuju kelas.
Di kelas, suasana menjadi sangat tidak nyaman. Silvi, Nanda, Ina, dan Alya memandangku dengan tatapan mata yang tajam menusuk. Aku tahu, mungkin mereka marah kepadaku karena telah menyebabkan Randy bertengkar dengan sahabatnya. Tentu saja mereka marah, mereka kan fans setia Randy. Fans mana pun pasti akan membela idolanya dan marah apabila ada seseorang yang menyakiti idola mereka.
Daza dan Randy yang biasanya duduk sebangku, kini berpisah. Daza memilih duduk di belakang bersama dengan Aji dan Randy duduk dengan Riski. Oh, Tuhan! Kenapa keadaan jadi begini? Apa bener ini semua gara-gara Aku?

***

“Apa sih yang sebenarnya terjadi?” tanya Wendy pada Aku dan Lani. Ia tampak cemas. Aku hanya bisa diam sedangkan Lani dan Devi duduk di sampingku. Sekolah sudah lama usai, namun kami berempat masih berada di kelas. Sepertinya sudah tak ada siswa lain selain kami sehingga kami merasa bebas untuk ngobrol di sini.
“Tadi, saat Aku mau ke kamar mandi, Aku lihat Daza sama Randy berantem.” Lani menjelaskan kejadian tadi siang kepada Wendy dan Devi. Wendy dan Devi terkejut, mereka melongo.
“Dasar manusia bodoh!!” Wendy tiba-tiba menggeram. Sebenarnya geramannya tidak keras, tapi karena sekarang keadaan sangat sepi, geraman itu terdengar cukup keras hingga mengagetkan Aku, Devi, dan Lani.
“Wen, kamu tahu sesuatu? Kamu tahu kenapa mereka berantem?” tanya Lani.
Wendy mengangguk.
“Devi juga udah tahu, kok.” Kata Wendy. Aku dan Lani terkejut. Kemudian, aku memandang Devi. Raut wajahku mengisyaratkan agar Devi menceritakan masalah itu. Devi mengerti, kemudian ia pun mulai bercerita.
“Sebenarnya, Daza dan Randy berantem gara-gara kamu, Na. Mereka berantem karena sama-sama suka sama kamu. Itu yang kudenger dari Silvi cs. Ya, kamu kan tahu sendiri, mereka deket sama Randy. Terus, nggak tahu gimana caranya mereka bisa ngorek informasi kalau ternyata Randy suka sama kamu. Gawatnya lagi, best friendnya sendiri juga suka sama kamu. Kalian tahu kan siapa best friendnya Randy? Yup, siapa lagi kalau bukan Si Daza. Tadinya mereka sih oke-oke aja, terus mereka coba buat pedekate sama kamu. Awalnya mereka sepakat, siapa pun yang dipilih sama kamu, mereka nggak akan berantem dan tetep temenan. Selama mereka pedekate, kamu nanggepin. Dua-duanya malah kamu tanggepin semua. Tanggapan yang kamu kasih itu, membuat masing-masing dari mereka ngira kalo dirinya lah yang dipilih. Masing-masing nggak mau kalah dan tetep berpendapat bahwa kamu dah milih salah satu dari mereka. Aku cuma tahu kalo akhir-akhir ini, hubungan mereka agak renggang gitu. Tapi Aku bener-bener nggak nyangka kalo mereka sampe berantem beneran. Di sekolah lagi! Ya kan, Wen?” Devi menjelaskan panjang lebar apa yang ia ketahui. Wendy mengangguk. Aku benar-benar terkejut. Aku sama sekali nggak nyangka kalau ternyata yang mereka lakukan selama ini karena mereka pedekate sama aku. Hal ini sama sekali nggak terlintas di pikiranku.
“Ya Tuhan, ternyata begitu masalahnya. Aku sama sekali nggak nyangka. Jadi, kebaikan mereka selama ini...” kataku dengan sangat pelan. Aku masih shock.
“Ya, perhatian dan tanggapan yang kamu kasih ke mereka membuat mereka jadi besar kepala. Sebenernya Aku sama Devi mau bilang ke kamu soal ini, tapi kami ragu. Ini kan masalah pribadi antara kamu, Daza, sama Randy. Entar dikira Aku sama Devi lancang. Aku bener-bener nggak nyangka efeknya sampai kayak gini. Aku bener-bener nyesel nggak bilang ke kamu, Na...” Wendy berkata dengan sangat lembut.
“Sorry, Na...” Devi dan Wendy hampir bersamaan. Mereka tampak sangat menyesal.
“Udah lah, nggak perlu disesali. Toh, ini semua udah terlanjur terjadi. Nggak ada gunanya disesali. Semua ini kan nggak sepenuhnya salah kalian juga.” Aku memberi penjelasan, walau sebenarnya di dalam hatiku ada sedikit rasa kesal pada Wendy dan Devi karena mereka nggak nyeritain hal ini. Andai mereka cerita, mungkin kejadiannya nggak kayak gini. Ah, cuma andai! Kenyataannya nggak seperti yang diharapkan. Jadi, Aku berusaha menepis rasa kesal itu.
“Terus, kenapa Silvi cs tadi ngliatin Shanna sampe kayak gitu sih? Kalian juga tadi lihat kan? Tatapan mereka ngeri banget tau!” Lani bicara sambil bergidik.
“Ya ampun! Masa kamu nggak tahu? Gini lho, Silvi cs tu nge-fans sama Randy. Mereka nggak terima Randy diperlakuin kayak gitu sama Shanna. Di mata mereka, Shanna tu kayak nggantungin Randy sama Daza. Menurut mereka, Shanna tu nggak tegas. Shanna udah menjadikan mereka berdua berharap terlalu tinggi. Hubungan di antara kalian bertiga tu nggak jelas. Dibilang temen kok kayaknya udah lebih dari itu, dibilang pacaran kok kayaknya berlebihan.” Wendy menjelaskan. Lani manggut-manggut.
Suasana hening sejenak.
“Jadi...” suara Wendy memecah keheningan, ia berhenti sejenak lalu meneruskan kalimatnya, “Yang kutahu dari Silvi, malam tahun baru besok, tepatnya tanggal 31 Desember, mereka berdua mau nembak kamu.”
“Apa?? Kok gitu sih??!” Sekali lagi, mereka berhasil membuatku terkejut.
“Yup!” Wendy mengangguk mantap.
“Nah, dengan begini hubungan di antara kalian bertiga jadi jelas. Kalau kamu udah mutusin mana yang kamu pilih, nggak ada lagi yang ngerasa digantungin. Masalah pun bisa beres.” kata Devi.
“Sekarang, semua keputusannya ada di tangan kamu.” Lani berkata sambil menepuk pundakku.
“Hei guys, tapi selama ini aku sama sekali nggak bermaksud nggantungin mereka berdua. Dan Aku rasa, apa yang udah Aku lakuin selama ini nggak berlebihan. Aku bales SMS mereka, nerima telepon dari mereka juga biasa-biasa aja. Sama kok kayak Aku SMS atau telepon ke temenku yang lain.”
“Tapi sayangnya, Shanna sayang... Silvi cs nggak ngira gitu. Mereka ngira perhatian kamu udah berlebihan dan menurut mereka dah cukup untuk sampe di taraf nggantungin perasaan orang.” kata Wendy diplomatis.
“So, menurut kalian, Aku harus gimana dong?” sekarang Aku benar-benar bingung.
“Kami nggak tahu. Sekarang, semua keputusan ada di tangan kamu. Untuk masalah satu ini, kami udah nggak bisa ikut campur. Ini masalah hati.” Devi memberiku penjelasan. Apa yang diomongin sama Devi bener sih, tapi nggak semudah itu ngambil keputusan!
“Tenang aja, apa pun keputusan yang kamu ambil, kami akan selalu dukung kamu kok.” Lani berusaha menyemangatiku.
“Ikuti aja kata hati kamu. Trust yourself.”

***

Hari-hari berikutnya kulewati dengan gundah. Semakin dekat dengan malam tahun baru, semakin resah hatiku. Semakin dekat dengan malam tahun baru, berarti semakin sedikit waktuku untuk menentukan pilihan. Daza atau Randy? Aku bingung! Dua-duanya sahabat baikku. Masing-masing punya daya tarik sendiri-sendiri. Risau hatiku bertambah karena setelah kejadian itu, Daza dan Randy sama sekali nggak bicara sama Aku. Kayaknya mereka melakukan gencatan senjata sampe malam tahun baru. Selain itu, Silvi cs juga masih marah sama Aku. Mereka nyuekin Aku di kelas. Untunglah, masih ada Lani, Wendy, dan Devi yang selalu setia menemani hari-hariku.

***

Kulihat kalender di kamarku. Di sana tertulis Rabu, 31 Desember 2008. Ah, akhirnya malam ini datang juga. Malam di mana Aku harus memberikan keputusan kepada Daza dan Randy. Malam ini Aku duduk sendirian di dalam kamar sambil mendengarkan lagu-lagu favorit dari handphoneku dan membaca sebuah novel. Lagu Sudah mengalun merdu.
Salahkah aku mencintaimu, memilikimu, menyayangimu
Jangan paksakan kita untuk slalu bersama
Jangan paksakan kita untuk slalu mencinta
Salahkah aku mencintaimu, memilikimu, menyayangimu
Bila kita harus berpisah, sudah
Biarkan ini semua berakhir, sudah
Cinta memang tak harus miliki....a....
Kulihat jam dinding. Jarum jam masih menunjukkan pukul 20.00. Detik demi detik yang berlalu, terasa sangat lama. Hatiku dag dig dug menunggu saatnya tiba. Novel di tanganku hanya kupegang saja. Aku tidak bisa fokus pada alur ceritanya. Sekarang pikiranku tertuju pada ‘putusan’ yang nanti akan kuberikan.
Detik demi detik terus berlalu. Menit demi menit terus berjalan. Tapi yang ditunggu belum juga datang. Ah, mengapa waktu berjalan begitu lama? Aku ingin malam ini segera berlalu.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya handphoneku berbunyi juga. Di layarnya tertera nama Daza. Belum sempat kubuka SMSnya, handphoneku berbunyi lagi. Aku yakin yang kedua pasti dari Randy. Ah, akhirnya saat ini datang juga.

***

Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui gorden jendela kamarku yang sedikit tersibak. Aku bangun lalu membuka gorden dan jendela kamarku. Cerahnya sinar surya dan segarnya angin pagi langsung menerpa tubuhku. Betapa indahnya pagi ini.
Tadi malam, aku sudah memberikan keputusan akhirku. Aku tidak memilih Daza dan Randy. Itulah keputusanku. Aku hanya menganggap mereka berdua sebagai sahabat. Tidak lebih. Setelah mengatakan hal itu kepada mereka berdua rasanya bebanku berkurang. Lega sekali. Dari bahasa yang mereka katakan tadi malam, sepertinya mereka mengerti akan keputusanku. Mereka juga sudah berjanji kalau mereka akan segera berbaikan kembali setelah kejadian ini. Tapi tentu saja itu butuh proses. Mereka tidak akan bisa langsung berbaikan dan mengembalikan hubungan mereka seperti sedia kala. Sedikit demi sedikit mereka akan berusaha melupakannya dan memulai persahabatan mereka kembali. Kuharap seperti itu.
Siangnya, aku pergi ke rumah Lani. Aku butuh teman untuk bercerita, menumpahkan semua perasaan yang selama ini kurasakan. Sesampainya di sana, Aku langsung menuju ke ruang keluarga Lani di lantai dua. Ternyata di sana sudah ada Wendy dan Devi, bahkan Silvi cs juga ada. Tadinya Aku sedikit canggung dengan kehadiran Silvi dan teman-temannya. Tapi, keadaan mulai mencair setelah Silvi meminta maaf kepadaku.
“Na, sorry ya. Selama ini Aku udah negative thinking sama kamu. Aku udah denger kok ceritanya dari Randy tadi malam. Sekali lagi maafin Aku ya,” Silvi meminta maaf kepadaku sambil mengulurkan tangannya. Aku tersenyum, mengangguk, dan membalas uluran tangannya. Ina, Nanda, dan Alya ikut meminta maaf kepadaku. Betapa senangnya Aku hari ini. Akhirnya masalah demi masalahku selesai. Di tahun baru ini, Aku bisa memulai kehidupan baru dengan tersenyum. Tentunya, kehidupan yang lebih baik dan lebih indah. Setelah bermaaf-maafan, kami berteriak bersama, “Selamat Tahun Baru!”

Oleh : Alifiana Jatiningrum (04/X-2)

Komentar :

ada 0 komentar ke “Kamu Bukan Pilihan Hatiku”

Posting Komentar

Soccer Rankings