CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Cari

Custom Search

Penghuni Dab

Black Parade

BLACK PARADE

Usahanya Anak Parade

Sabtu, 30 Mei 2009

BOLOS, YUK!

BOLOS, YUK!

Sebuah tulisan seorang remaja yang masih mencari jati dirinya melalui pengalaman – pengalaman pertama dengan teman dan berbagai macam orang. Bukan puisi, bukan pantun ataupun lirik lagu. Hanya kata – kata yang sempat melintasi pikirannya dan dirangkai menjadi kalimat kemudian menjadi paragraf. Dan pada akhirnya berakhir menjadi sebuah cerita pendek yang berantakan........


Jum’at. Hari pendek dan nanggung banget buat sekolah. Mendingan tidur di rumah, terus dapet mimpi indah. Yang jelas bukan mimpi basah. Atau main dengan kucing tetangga sebelah. Begitulah ciri – ciri anak yang nggak nggenah. Tapi sayangnya aku nggak punya keberanian untuk bolos sekolah dan mendapatkan itu semua. Sampai tahun ini, kelas 8 SMP, pengalaman mangkir dari kelas yang kumiliki nol. Kadang ada yang iseng ngajak sih, tapi kutolak. Gimana ya, rasanya ada rasa was – was yang mendiami relung hatiku kalau aku bolos. Takut ketinggalan pelajaranlah, takut ketahuan guru terus dapet poin, atau perasaan bersalah karena nggak belajar dengan sungguh – sungguh seperti apa yang diharapkan orang tua. Ketakutan – ketakutan seperti itu terus terbayang dalam benakku dan selalu mengurungkan niatku untuk bolos.
Tapi sejujurnya, aku jenuh dan bosen banget menghadapi tuntutan materi pelajaran yang nggak ada habis – habisnya itu. Apalagi kalau guru yang ngajar itu mboseni banget, berbagai alasan muncul untuk nggak memperhatikan. Bisa-bisa aku masuk ke dunia lain sambil memejamkan mataku. Kalau misalnya aku dapet giliran jawab pertanyaan pas lagi molor, habislah sudah. Aku cuma bisa tanya Tya, teman semejaku, dan pastinya ketahuan sama guru, Pak Sururi misalnya, guru bahasa Inggris.
“Number 9. Who’s the next turn?” tanya Pak Sururi.
“Woi, Zi! Giliranmu! Nomer 9!” kata Tya membangunkan sekaligus meberitahuku yang masih sedikit linglung.
Gara – gara sering tidur di kelas pas pelajaran bahasa Inggris, nilai rapot semester 1 kelas 8 ini aku dapet 68, padahal nilai ulangan dan tesku nggak sejelek itu. Guru bahasa Inggris yang mboseni banget itu mungkin punya dendam pribadi gara – gara aku suka tidur di kelas. Salah sendiri cara ngajarnya menstimulasi sel – sel sarafku membawa impuls bertuliskan ‘tidur wae’. Sebenernya itu bukan murni kesalahanku, tapi salah sel saraf sensorikku yang membawa impuls ‘tidur wae’ itu.
Kembali ke topik semula mengenai hari Jum’at, pelajaran hari ini adalah matematika, seni musik, dan fisika. Untungnya nggak ada pelajaran bahasa Inggris yang hampir selalu membuatku bermimpi di tempat dudukku. Lagipula aku suka matematika dan fisika. Sejak SD aku memang lebih suka pelajaran eksak dibanding sosial atau bahasa. Tapi pelajaran tengah sebelum istirahat, seni musik, bener-bener mboseni. Nggak kalah mboseninya sama pelajaran bahasa Inggris. Apalagi tempat duduk di ruang musik nggak ada meja buat meletakkan kepala. Kalau mau nulis juga nggak enak. Keluar dari sana biasanya punggung pada pegel-pegel.
“Ini sudah semester 2. Materi yang belum dibahas masih banyak banget. Itu saja yang teori nggak saya bahas. Terus kalian mau gimana? Tes semester 2 sebentar lagi, lho?! Kita harus cepat mengejar waktu dan materi,” kata Pak Mariadi, guru seni musik. Perlu diketahui, ucapan dan tindakannya menurutku nggak begitu synchrone. Hampir setiap pertemuan bilang harus cepat mengejar materi, tapi pidatonya hampir sejam pelajaran, oi! Terus kalau bel jam pertama bunyi, “Nah, itu bel jam pertama sudah bunyi. Kita belum dapet apa – apa.”
Kalau di komik, tokohnya pasti langsung sweatdropped (mengeluarkan setetes keringat di dekat mata dan pipi) dan ada tulisan ‘TOENG’-nya.
“Heh, Pak Mariadi nyadar nggak sih kalau yang seharusnya cepet itu dia? Kita ketinggalan pelajaran kan gara – gara dia banyak ceramah!” bisik Tya. Wah... ternyata nggak cuma aku yang merasa Pak Mariadi itu nggak synchrone antara apa yang dikatakan dan dilakukan.
* * *
Di salah satu hari Jum’at di kelas 8 SMP, aku mendapat pengalaman pertamaku mangkir dari kelas alias bolos pelajaran. Yah... awalnya juga karena aku diajak sama 2 orang temanku. Yang jelas salah satunya bukan Tya. Maklumlah, dia kan rajin dan selalu memperhatikan. Nah, kalau temanku yang namanya Ria dan Adin, memang pernah bolos beberapa kali. Merekalah yang mengajakku.
Tujuan utama kami adalah UKS. Sebenernya lebih asyik kalau bolos ke kantin. Tapi kalau di kantin lebih gampang ketahuannya. Kalau pingin lebih aman lagi, bolos di perpustakaan. Tapi, masa sih mau bolos di perpus?
“Ya, bilang ke Pak Mariadi kalau kita bertiga nggak enak badan, di UKS! Ya? Please!?” kata Ria memohon pada Tya yang sedang bersiap – siap mengambil recorder dan buku seni musiknya.
“Kalau cuma itu sih, it’s OK! Tapi aku nggak tanggung ya kalau misalnya kalian ketahuan bolos,” jawab Tya.
“Siip,” jawab Ria dan Adin secara bersamaan.
Kami berempat berjalan bersama menuju bagian selatan sekolah di mana ruang musik berada. Tapi aku, Ria, dan Adin berhenti di UKS. Adin mengingatkan kembali agar Tya bilang ke Pak Mariadi sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
Buatku yang baru pertama kali bolos cuma bisa ikut – ikutan. Jantungku berdegup kencang memikirkan apa yang akan terjadi nanti dan apa yang akan kita lakukan selama 2 jam pelajaran seni musik atau sekitar 80 menitan. Rasa takut akan ketahuan sebenarnya terus menghantuiku. Tapi, demi mendapatkan sebuah pengalaman berharga, bolos sekali-kali nggak apa kan?
Lagipula aku bosen menjalani kehidupan sekolah yang statis ini. Duduk di kelas memperhatikan guru, mencatat materi pelajaran, latihan soal, dan akhirnya ulangan. Kehidupanku di sekolah sehari – hari selalu saja seperti itu. Kalau pelajaran itu menarik bagiku sih, it’s OK untuk tetap bertahan di kelas. Tapi untuk pelajaran yang nggak asyik, seni musik misalnya, kelas membuat tingkat kejenuhan dalam otakku meningkat drastis. Untuk pelajaran yang seperti itu, boro – boro mudheng apa yang diterangkan, bertahan untuk tetap menutup mulut agar tidak menguap alias angop saja susahnya minta ampun.
Nah, kembali ke acara bolosku di UKS.
“Kalau bolos, biasanya ngapain?” tanyaku pada kedua orang temanku.
“Macem – macem, Zi! Yang jelas dan selalu kita lakukan sih nggosip. Ya kan, Din?” jawab Ria yang kemudian melemparkan pertanyaan pada si Adin.
“Yep! Pokoknya asyiklah!”
Dan waktu pun terus berjalan. Beberapa guru melintasi UKS ke atau dari perpus. Soalnya di UKS ada 2 pintu ke depan (kantor guru) dan belakang (lapangan dan perpustakaan). Beberapa dari mereka tanya ’sedang apa’, dan beberapa yang lain hanya tersenyum.
Di UKS, kami bertiga hanya nggosip ke sana ke mari. Dari mulai teman sekelas, tetangga kelas, adik kelas, kakak kelas, bahkan guru – guru dan petugas perpustakaan turut serta menjadi bahan perbincangan kami. Mulai cowok ganteng, pasangan baru di sekolah, kejadian – kejadian lucu dan menyebalkan, juga guru – guru killer, guru TIK contohnya.
Satu kejadian unik yang terus kuingat adalah saat aku, Ria, dan Adin melihat di luar jendela Pak Sururi yang sedang melakukan skipping sambil mendedangkan sebuah lagu.
“Siang – siang panas gini skipping? Sambil nyanyi lagi!” komentar Ria. Yah … menurutku Pak Sururi memang aneh.
Setelah beberapa kali membicarakan berbagai gossip yang sedang hot, bel istirahat akhirnya berbunyi. Pelajaran musik dan acara membolos kami juga berakhir sampai di sini. Teman – teman sekelas dari ruang seni musik, termasuk Tya, melintas melewati depan UKS. Kami bertiga juga ikut masuk ke dalam rombongan dan menuju ke kelas.
“Heh, Zi, tadi Pak Mariyadi tanya lho. Terus dia tahu kalau kamu, Ria, sama Adin bolos di UKS,” kata Tya memberi info.
“Terus gimana?” tanyaku. Sedikit khawatir.
“Ya... nggak gimana – gimana sih. Ceramahnya juga panjang seperti biasa. Mungkin pertemuan minggu depan dia baru bertindak mengenai hal ini,” jawab Tya.
“Oh..,” kataku sambil mendesah. Kemudian menghela nafas panjang. Rasa khawatir mulai berkecamuk dalam hatiku. Pengalaman bolosku yang pertama ternyata ketahuan. Entah suatu kesialan atau justru keuntungan bagiku yang memang cari pengalaman. Yah... lihat saja nanti minggu depan. Kira – kira apa ya yang akan dilakukan Pak Mariyadi? Perasaan berdebar – debar memenuhi hatiku.
* * *
Jum’at pagi minggu berikutnya. Hari yang membuatku berdebar – debar menanti apa yang akan terjadi nanti di pelajaran seni musik. Satu pengalaman kudapat lagi. Hari ini aku telat.
Memang banyak siswa yang telat di hari Jum’at ini. Soalnya setiap hari Jum’at ada senam pagi di sekolah dan masuk pukul 6.30. Dan hari ini, sialnya aku bangun jam 6 pagi. Mandi 15 menit. Aku harus menyiapkan buku pelajaran selama 10 menit, soalnya tadi malam aku males banget. Belum lagi sarapan yang berlangsung selama 10 menit. Dasarnya sudah telat 5 menit waktu berangkat dari rumah, jalan 10 menit membuatku telat 15 menit dan tertahan di depan gerbang. Petugas kedisiplinan dari OSIS menanyai dan menarik buku tata tertib alias buku poin siswa yang telat. Sudah ada 10 poin di bukuku gara – gara telat 2 kali, sekarang harus tambah lagi 5 menjadi 15. Dan lagi-lagi itu karena telat.
Setelah menyerahkan buku tata tertibku, aku segera berlari menuju kelas melewati ‘gang senggol’, gang kecil di antara ruang guru dan tata usaha yang jika 2 orang berpapasan maka akan bersenggolan. Setelah meletakkan tas di tempat dudukku dan memakai baju olah raga, aku segera berlari menuju lapangan untuk mengikuti senam yang sudah memasuki gerakan inti, hampir pendinginan.
“Telat ya, Zi?” tanya Dana, salah satu temanku yang paling heboh di kelas.
“Yah... seperti biasa, bangun kesiangan,” jawabku santai. Kalau soal telat sih aku sudah biasa. Sudah tidak ada lagi perasaan takut atau khawatir karena poin – poin yang menghiasi buku tata tertibku. Biar rumahku dekat, tapi aku sering bangun kesiangan. Frekuensi telatku lebih banyak dari Dana yang rumahnya jauh dan harus naik sepeda 20 menit.
Yang masih terus membuatku khawatir adalah mengenai apa yang akan terjadi di pelajaran seni musik nanti. Apa Pak Mariyadi akan memberi kami poin atau memberi kami sanksi yang lain. Atau akan memarahi kami habis – habisan. Atau yang paling parah melarang kami mengikuti pelajarannya dan tidak memberi kami nilai. Kalau misalnya Pak Mariyadi memberiku poin, maka itu tidak perlu ditakutkan lagi. Buku tata tertibku kan sedang ditahan seksi kedisiplinan OSIS gara – gara telat.
Yang paling menakutkan tentu saja larangan untuk tidak mengikuti pelajarannya dan tidak diberi nilai. Asal tahu saja, biar nggak bisa nyanyi atau main alat musik, nilai teori seni musikku selalu di atas sembilan dan itu membantuku memperbaiki nilai praktekku yang biasa – biasa saja.
Kini pelajaran matematika yang kusuka sedang berlangsung. Pak Tri, guru matematika, sedang memberi kami beberapa soal tantangan mengenai bangun ruang. Guru yang satu ini memang bisa menarik minat para siswa dengan soal – soal menantang yang selalu membuat penasaran akan jawaban dan cara pemecahannya. Rasa penasaranku akan soal – soal yang diberikan oleh Pak Tri membuatku melupakan kekhawatiranku akan pelajaran seni musik nanti.
“Yang bisa mengerjakan soal nomer 5 beserta caranya, nilainya akan saya tambah 1 untuk ulangan harian bab yang lalu,” kata Pak Tri memberi semangat pada siswa-siswa.
Tanganku sibuk menggambar dan menghubungkan garis – garis yang membentuk bangun 3D berupa limas segi enam. Otak dan mataku sibuk berkutik dengan angka – angkanya. Beberapa kali aku menemui jalan buntu. Tapi aku tidak menyerah. Aku ingin menambah 1 nilaiku untuk ulangan bab yang lalu agar bisa menjadi nilai 10 sempurna.
“TEET...TEET...,” bel berbunyi 2 kali. Menandakan pelajaran berganti.
“Belum ada yang bisa menyelesaikan soal nomer 5, dan tambahan nilai 1 dibatalkan,” kata Pak Tri sambil menata bukunya untuk dibawa keluar. “Untuk PR, LKS halaman 28.”
“Yah.......” keluh semua siswa.
“Beri salam!” kata Pami, si ketua kelas memberi instruksi.
“Slamat pagi, Pak!”
“Slamat pagi,” jawab Pak Tri, kemudian keluar menuju ke arah ruang guru.
Kami pun segera bersiap – siap menuju ruang musik. Akhirnya datang juga. Memasuki ruang musik membutaku sedikit berdebar – debar menanti apa yang akan terjadi di sana.
“Beri salam!”
“Slamat pagi, Pak!” kami memberi salam kepada Pak Mariyadi dengan suara yang lebih tegas daripada salam yang kami berikan pada Pak Tri. Katanya musik harus bisa mengeluarkan suara yang tegas.
“Slamat pagi! Nah, buat Adin, Nazihah, dan Ria yang nggak ikut pelajaran minggu lalu, harap mengemukakan alasannya,” kata Pak Mariyadi di awal pelajaran.
Adin dan Ria sudah mengemukakan alasannya. Kini tibalah giliranku. Nggak seperti pas pelajaran bahasa Inggris, aku tidak tidur saat giliranku tiba.
“Hari itu lagi males ikut pelajaran,” jawabku singkat. Yah… karena Pak Mariyadi sudah tahu kalau kami bolos, mending bilang aja terus terang, begitu pikirku.
“Ya sudah. Pertemuan mendatang kalian harus menyerahkan surat pernyataan untuk tidak mengulangi hal yang sama dengan disertai tanda tangan orang tua!” kata Pak Mariyadi.
Sementara ia sibuk dengan ceramah panjangnya, pikiranku melayang – layang membayangkan bagaimana aku harus membuat surat pernyataan. Sebenarnya bukan hal sulit, tapi kalau harus ditandatangani orang tua… gimana ya? Berarti aku harus bilang ke, paling tidak, ibuku bahwa aku pernah bolos sekali. Sementara aku nggak ingin membuat orang tuaku kecewa. Apa yang harus aku lakukan? Seperti minggu lalu, pikiranku dipenuhi akan hal – hal yang masih tetap berhubungan dengan acara bolosku yang pertama.
* * *
Jum’at datang lagi. Masih berhubungan dengan acara bolosku.
Jum’at ini aku nggak telat. Meskipun bel langsung berbunyi begitu aku meletakkan tas, aku masih bisa mengikuti senam pagi. Untung Jum’at ini aku nggak telat, soalnya mereka yang telat harus memunguti sampah di lapangan begitu senam pagi selesai.
Mengenai surat pernyataan itu, aku sudah membuatnya tadi malam. Ada sekitar 5 lembar kertas yang kubuang karena gagal meniru tanda tangan ibuku. Capek dengan urusan tanda tangan, kubuat saja seasalnya. Toh Pak Mariyadi juga nggak tahu bagaimana wujud sebenarnya tanda tangan ibuku. Surat pernyataan itu kumasukkan ke dalam amplop berukuran 95 x 152 mm berwarna putih dan kurekatkan dengan lemnya. Kemudian kuselipkan ke dalam buku seni musikku.
Seperti hari Jum’at yang biasanya, kami segera bergegas menuju ruang musik setelah Pak Tri keuar dari kelas. Semua bergerak cepat menuju ruang musik untuk mendapatkan tempat duduk terbaik. Dan seperti biasanya lagi, Pak Mariyadi memulai pelajarannya dengan ceramah panjang lebar tanpa sedikit pun membahas mengenai aku, Adin, dan Ria yang membolos 2 minggu lalu dan juga mengenai surat pernyataan yang telah kuganti sebanyak 5 kali dalam semalam.
Begitulah akhir dari serangkaian acara bolosku. Surat pernyataan itu masih tetap tersimpan di dalam buku seni musikku bersama catatan – catatan not balok, lirik lagu dan akor – akor yang memusingkan. Pengalaman pertamaku bolos membuatku mendapatkan keberanian untuk membolos di kesempatan – kesempatan berikutnya, tapi tidak untuk pelajaran seni musik. Juga memberitahuku bagaimana alasan yang harus dibuat saat harus membolos, tipe guru seperti apa yang gampang diajak kompromi soal hal ini, serta tempat paling nyaman untuk membolos. Dan memberitahuku betapa asyiknya menghirup udara di luar kelas saat tingkat kejenuhan otak meningkat dan hampir menjebolkan parameter kejenuhan.
* * *
By: Nazihah
(neutral girl)


Komentar :

ada 0 komentar ke “BOLOS, YUK!”

Posting Komentar

Soccer Rankings