Awal dari Sebuah Peraturan
Hari Sabtu, aku sampai di rumah jam 2. Walaupun perut terasa lapar, capek, dan gerah, tapi aku senang. Murid mana yang tidak merasa senang di Hari Sabtu? Bagi mereka yang nge-kost Hari Sabtu mereka gunakan untuk mudik, berkumpul bersama keluarga. Bagi mereka yang suka baca buku, novel, atau komik, pada Hari Sabtu mereka gunakan untuk menjawab rasa penasaran mereka. Bagi mereka yang suka bermalas-malasan di Hari Sabtu ya.. untuk apalagi kalau bukan untuk lebih bermalas-malasan. Nah, bagi mereka yang mempunyai pasangan alias pacar, Hari Sabtu merupakan hari ysng ditunggu-tunggu. Menunggu malam mingguan, menunggu pacar, atau menunggu jemputan. Terserah apa jadwal mereka masing-masing......
Namun bagi aku di setiap Hari Sabtu aku menginginkan mendapatkan sebuah kisah atau pengalaman yang dapat diambil nilai-nilai moralnya. Demi mendapatkan sebuah pengalaman, aku pernah nongkrong di emperan toko dekat patung W.R. Soepratman. Aku duduk sendirian di sana, memandang sekeliling. Di situ aku melihat di seberang jalan sana ada seorang anak tunanetra memakai seragam pramuka. Di berjalan perlahan-lahan dengan terus menggerakkan tongkatnya. Sampai di depan penjual jajanan, anak tunanetra itu ditarik tangannya. Kemudian ia pun duduk di sebuah bangku. Si penjual tadi memberinya satu gelas besar minuman teh. Heran aku melihat anak tunanetra itu. Ia langsung meminum teh yang diberikan sampai habis. Segelas besar minuman teh itu seketika langsung habis. Aku tak dapat membayangkan apabila aku yang meminum segelas besar minuman teh langsung habis seperti anak itu. Benar-benar sangat takjub. Mungkin anak itu merasa sangat kehausan karena dari tadi berjalan. Kasihan sekali. Lalu anak tunanetra itu berjalan lagi. Baru beberapa langkah ia langsung digandeng seorang bapak. Aku sempat berfikir apa yang akan dilakukan oleh bapak yang menggandeng tangannya? Ternyata ia hanya menyebrangkan anak tunanetra itu. Sungguh mulia. Ternyata Tuhan memang benar-benar adil terhadap makhluk-Nya.
Tidak lama kemudian seorang pemulung wanita tua duduk di sebelahku. Aku terus melihat apa yang dia lakukan. Sepertinya ia juga merasa sangat lelah. Orang setua ini mengapa harus tetap bekerja? Demi mencukupi kebutuhan hidupnya, wanita tua ini setiap harinya harus mencari barang-barang yang tidak layak pakai, bahkan barang yang semestinya harus dibuang. Tidak tanggung-tanggung ukuran wadah yang ia gunakan. Satu karung beras yang sangat besar, mungkin lebih besar dibandingkan tubuhnya yang sudah mulai mengkerut dan menjadi kecil yang setiap hari harus menggendongnya. Dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung, dari kota ke desa ia telusuri pekarangannya, mengais barang-barang yang tidak berguna untuk orang lain namun sangat berguna untuk dirinya. Seharusnya orang setua ini tidak layak untuk merasakan kerasnya dunia. Sebaiknya ia tinggal di rumah saja, atau mencari bekal untuk kehidupannya kelak. Sungguh kasihan.
Terlihat ia duduk sambil mengipas-ngipaskan selendang lusuh yang setiap hari ia gunakan. Memang hari itu terasa panas. Ia mengeluarkan sebotol minuman teh yang hampir habis, dan 2 buah pisang rebus dari dalam karung berasnya. Sempat ia menawariku namun ku tolak. Meskipun sebenarnya aku sendiri juga merasa haus, namun wanita tua ini pasti merasa lebih haus.
“ Pulang mana, Nak ? “ tanyanya.
“ Cangkrep, Bu. “ jawabku.
“ O.... lalu apa yang sedang ditunggu? “
“ Saya menunggu jemputan.” jawabku lagi.
Sebenarnya sadar atau tidak jawabanku tadi. Aku tidak mersa membuat janji dengan orang tuaku, juga bukan dengan temanku, juga bukan dengan siapa-siapa. Tapi mengapa aku menjawab aku menunggu jemputan? Mungkin aku ini sudah terlalu banyak berbohong. Berbohong untuk hal positif pastinya. Tak apalah.
Wanita tua itu menceritakan kerasnya hidup yang yang ia alami. Dari mulai jadi kuli, buruh, dan pemulung. Dari mulai dicaci, direndahkan, tidak dihargai ia jalani. Tak kenal apa itu mengeluh dan putus asa itu prinsipnya. Ia juga bercerita tentang anak-anaknya. Terlihat raut wajah yang senang dan bangga. Kini anak-anak kebanggaannya telah menjadi orang sukses.
“ Lalu mengapa ibu tetap saja bekerja? “ tanyaku.
“ Saya ini tidak pernah ingin menjadi orang yang berhenti untuk bekerja. Walaupun anak-anak saya sudah sukses, saya tidak ingin menjadi beban mereka. Mereka berhasil saya juga ikut senang. Ya….selagi masih bisa bekerja, Nak ibu ingin tetap bekerja. “ kata ibu tadi.
Mendengar apa yang dikatakannya seakan-akan pikiranku terbuka. Namun aku tidak dapat mengungkapkannya. Hanya senyum yang aku berikan untuk membalas apa yang wanita tua ini ceritakan.
Dari arah barat terlihat sebuah bus.
“ Bu, saya permisi mau pulang.” kata pamitanku.
“ Lho, Nak katanya dijemput? “
“ Sepertinya orang tua saya lupa untuk menjemput saya.”
“ Lalu mau pulang naik apa? “
“ Naik bus itu.”
“Kalau begitu hati-hati.”
“ Ya Bu.” jawabku.
Aku berdiri di sisi jalan sambil melambaikan tanganku. Wanita tua yang sedang duduk itu pun juga ikut melambaikan tangannya, agar bus berhenti tepat di depanku. Ku berikan senyum sekali lagi dan aku naik bus untuk pulang.
Sebenarnya jarak rumahku tidak terlalu jauh apabila ditempuh dengan bus. Cukup 10 menit saja. Di pejalanan aku terus dibayangi oleh sikap orang-orang terhadap anak tunanetra itu dan perkataan wanita tua tadi. Pengalaman hidup dari orang lain yang aku dapat membuatku menjadi bertambah dewasa. Satu hal yang aku sesalkan sampai saat ini. Mengapa aku tidak memberikan sedikit uangku pada wanita itu? Padahal aku masih punya beberapa uang sisa uang jajanku. Aku berharap dapat bertemu dangannya lagi. Sayangnya sampai sekarang aku tidak pernah melihatnya. Sungguh aku merasa menyesal.
Aku selalu menceritakan apa yang aku dapat pada ibuku. Termasuk hal ini. Ibuku juga memberi nasehat kepadaku, agar selalu menjadi orang yang bersyukur atas apapun yang telah Tuhan berikan.
Tapi apa kisah atau pengalaman yang aku dapat hari ini? Tadi di sekolah biasa saja. Bertemu teman, pelajaran, bingung, capek, pusing, dan lapar sudah biasa. Tiba-tiba mataku tertuju pada handphone yang sedari tadi pagi aku charge. Aku langsung mengambil handphoneku. Ternyata ada pesan dari kakak sepupuku.
“ Met siang.... Lagi apa? Bagaimana kabarnya? “
Kakak sepupuku ini panggilannya Mas Adi. Dia bekerja di Pabrik Astra di Karawang. Aku dengan Mas Adi memang agak dekat, karena dia sering cerita, berbagi pengalaman, dan hal-hal lain yang membuat aku iri sepeti ia menjadi karyawan senior, pernah mendapat setifikat The Best, dan ia dikenal karyawan yang paling berkompeten oleh bosnya. Hal ini yang membuat aku iri. Bagaimana caranya aku bisa seperti kakakku? Menjadi seseorang yang berkompeten, yang bisa diandalkan. Setiap ada masalah di pabrik, ia yang turun tangan. Katanya mencari kepercayaan itu susah. Iya, memang.
Aku membalas pesan itu.
“ Met siang juga mas, adik baru saja pulang dari sekolah, kabar adik baik, kabar Mas sendiri? “ kata pesan singkatku.
Tak beberapa lama pesan terkirim. Alat charge aku cabut dari stop contact, dan handphone aku letakkan lagi. Sambil brganti pakaian aku berfikir, bukankah Mas Adi sedang bekerja di pabrik? Karena ia biasanya pulang jam 8 malam. Cepat-cepat aku mengambil handphoneku.
“ Maaf mas, ganggu kerja ya... “ pesan aku kirim kembali.
Aku takut sekali kalau pesanku mengganggu bekerja. Tak lama kemudia Mas Adi membalas pesanku.
“ Kabar mas juga baik. Tidak kok, tidak mengganggu sama sekali. Adik baru pulang ya... pasti capek n’ lapar. Kalau gitu, makan siang dulu sana...! “
Aku terkejut Mas Adi tidak merasa terganggu sama sekali. Apakah karena dia sudah diandalkan, dan dia dibiarkan begitu saja? Ah.... tidak mungkin. Yang namanya peraturan semua karyawan harus memaihunya, termasuk Mas Adi.
“ Lho kok bisa Mas? Memangnya tidak dimarahi sama bos? “ aku kirim kembali pesanku karena aku masih penasaran.
“ Masih tidak percaya? Dulunya memang tidak boleh mengaktifkan handphone saat bekerja kecuali jam istirahat. Tapi setelah ada kejadian yang fatal yang merugikan salah satu pihak, maka peraturan diubah boleh mengaktifkan handphone namun hanya sebatas mengirim pesan. Gimana? Masih tidak percaya? “ jawaban dari Mas Adi.
“ Iya adik percaya. Tadi katanya peraturan itu diubah karena pernah ada kejadian fatal yang merugikan salah satu pihak. Kejadiannya seperti apa? “ tanyaku.
Tidak sampai satu menit, Mas Adi sudah membalas pesan dariku.
“ Bukannya kamu sendiri tahu kejadiannya, Dik. Saat itu kamu msaih SMP. Liburan semester kamu main ke rumahku, kamu ingat? “ tanya Mas Adi.
Lantas aku mengingat-ingat. Liburan semester SMP kelas VIII memang aku berlibur di tempat bibiku di Bekasi. Di sana aku satu minggu. Lalu cerita apa yang dimaksud Mas Adi?
Aku terus berfikir. Membuka-buka album memoriku. Tetap aku tidak menemukannya. Dan aku terus membuka. Sampai akhirnya aku menemukan cerita yang dimaksud Mas Adi.
Handphone aku letakkan kembali di meja. Aku baringkan tubuhku dengan santai. Sambil terus mengingat cerita itu lebih jelas.
* * *
Ketika seorang ibu menggantikan peran sebagai ayah untuk anak-anaknya. Ayah telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan semua perih, luka, lara, dan kesulitan dikemudian hari yang terus membayang-bayangi. Seorang ibu harus berjuang mati-matian sebagai tulang punggung sekaligus kepala keluarga. Tak kenal lelah, dan tak kenal waktu. Demi meneruskan perjuangan suami yang telah tiada, dan demi kebahagiaan keluarga. Seorang ibu berani bertaruh nyawa demi semuanya.
Maka layaklah seseorang berkata bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Sembilan bulan sepuluh hari atau 280 hari atau 6720 jam seseorang anak ada dalam kandungan ibu. Berharap bahwa anak tersebut mendatangkan kebahagiaan. Kelahiran sang anak membuat ibu bahagia. Merawat dan menyayanginya, mencurahkan cinta dan kasih sayangnya, semua hanya untuk buah hati yang masih suci.
Rasa cinta dan kasih sayang itu terus tercurah untuk selamanya. Hingga menjadikan seorang anak tahu akan balas budi yang harus dilakukan. Akan tetapi sekali lagi bahwa layaklah seseorang berkata sebesar apapun balas budi yang diberikan untuk ibu belum dapat membayar sedikit pun dangan kasih sayang dan cinta seorang ibu. Ibarat kebaikan itu belum ada bandingannya dengan setitik kotoran dalam kuku ibu.
Luar biasa kasih sayangnya. Berbekal tekad yang kuat agar si anak dapat hidup bahagia melebihi kebahagiaannya. Baik itu di dunia maupun di akherat kelak.
Ibu tidak berjuang sendiri. Ada ayah yang juga memberikan kasih sayang dan cinta kepada anaknya. Tapi apabila ayah telah tiada, ibu harus berjuang sendiri demi anak-anaknya. Padahal semakin hari angin semakin kering, panas semakin menyangat, dan peluh mengalir kemana-mana. Tak bisa yang dapat diandalkan selain ibu. Segalanya ibu, tulang punggung dan kepala keluarga.
Menjerit dalam hati. Berharap bagaimana agar semuanya dapat berubah. Namun tak pernah sedikitpun terlintas di pikiran untuk mencari pengganti ayah. Cintanya hanya untuk keluarga, meskipun ada yang telah tiada. Sampai akhir hayat cinta dan kasihnya hanya untuk keluarga.
Sampai suatu saat ia putuskan untuk beristirahat, karena tubuh ini sudah tidak mampu seperti dulu. Kini anak-anaknya telah menjadi orang sukses dan mereka masing-masing telah memilki keluarga, dan hidup bersama keluarganya.
Tinggal si bungsu. Ia tidak berniat meninggalkan ibunya seperti kakak-kakaknya. Rencananya apabila ia telah mempunyai istri ia akan tetap tinggal bersama ibunya. Kasihan apabila ibu sendiri, apalagi kini ia sudah terlalu tua dan sakit-sakitan.
Si bungsu bernama Arman. Rumahnya berada di sebelah rumah bibku. Ia juga bekerja di Pabrik Astra, ia teman Mas Adi.
Kata Mas Adi, Mas Arman selalu menitipkan ibunya ke bibi kalau ia sedang bekarja. Ya... sekedar untuk mengawat-awati jika terjadi sesuatu dengan ibunya.Mas Adi juga bercerita kalau sudah lima hari ini Mas Arman tidak berangkat bekerja karena sakit.
Sore itu aku duduk santai, membaca majalah di teras rumah bibiku. Arah pandanganku tertuju pada teras rumah Mas Arman. Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Seorang keluar dari dalam.seorang anak muda seumuran Mas Adi. Apa dia yang bernama Mas Arman? Aku tidak tahu pasti karena aku memang belum pernah bertemu dengannya.
Setelah ia keluar dari dalam, ia melihat melihat ke sekeliling. Aku terus melihatnya. Melihat apa yang akan ia lakukan. Ia menegurku dengan senyum. Aku terkejut. Seketika aku membalas senyumannya.
Teras rumah bibiku dengan teras rumah pemuda itu memang berdekatan, hanya dibatasi oleh tembok yang tidak terlalu tinggi. Karena itu, pemuda itu kemudian mendekatiku.
“ Adik saudaranya Adi ya...? “ tanya pemuda itu.
“ Iya..... “ jawabku.
“ Dari mana? Dari Jawa? ”
Aku membalas dengan senyum dan mengangguk.
“ O....liburan ya? Berapa hari? “
“ Dua minggu “
“ Wah, lumayan lama juga ya...”
“ Iya “
“ Man... Man.... “ panggil seseorang dari dalam, suaranya begitu lemah.
“ Iya Bu… “ kata pemuda itu yang memiliki panggilan Man. “ Maaf saya harus masuk. Sepertinya ibu memenggil saya. “ kata Man.
“ Oh… iya “jawabku.
Pemuda itu masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru.
Man? Apa pemuda itu yang bernama Mas Arman? Dan suara dari dalam yang lemah itu apa mungkin itu ibunya? Kemungkinan besar itu benar. Tapi tunggu, kata Mas Adi beberapa hari ini Mas Arman tidak masuk bekerja karena sakit. Nah, pemuda yang kemungkinan bernama Mas Arman ini sama sekali tidak nampak seperti orang sakit. Di terlihat sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu saudaranya. Entah siapa namanya? Aku masih tetap penasaran.
Malam hari sekitar pukul 20.30 Mas Adi pulang dari pabrik. Terlihat ia sangat lelah. Ketika selesai berganti pakaian, aku bertanya tentang pemuda yang memiliki panggilan Man itu.
“ Mas “
“ Ada apa? “ tanya Mas Adi sambil menuju ke sofa.
“Rumah sebelah itu memangnya ditinggali oleh siapa saja? “ tanyaku juga sambil menyusul ke sofa.
“ Rumah sebelah yang mana? “
“ Itu yang katanya ibunya suka dititipkan ke bibi kalau anaknya lagi kerja. “
“ Oh... Di sana hanya ada seorang ibu dan anak bungsunya. “
“ Anaknya itu bernama Arman? “
“ Iya “
“ Ada nggak orang lain atau saudara mereka yang tinggal di sana? “
“ Tidak ada hanya mereka berdua. Ada apa sih? “
“ Tadi sore aku ketemu dengan Arman. “
“ O...ya? “ tanya Mas Adi tidak percaya.
Aku mengangguk.
“ Padahal selama ia ijin tidak masuk kerja, aku tidak pernah melihatnya. Aku pikir sakitnya lumayan parah. “
“ Mas yakin kalau dia sakit? “
“ Yakin “
“ Tadi sore ketika aku melihatnya ia sehat-sehat saja. “
“ Mungkin sudah sembuh. “
“ Ya, bisa juga sih…” jawabku agak ragu-ragu.
Malam hari, aku belum juga dapat tertidur. Udara sangat panas. Kebetulan tembok rumah kamar yang aku tempati bersebelahan dengan tembok rumah Mas Arman. Samar-samar aku mendengar percakapan Mas Arman dengan ibunya.
“ Man... “ seorang dengan suara lemah itu lagi memanggil Mas Arman.
“ Ada apa, bu? “jawab Mas Arman.
“ Sudah lima hari kamu tidak berangkat bekerja. “
“ Iya, ibu tidak usah khawatir. “
“ Kalau Adi tahu sebenarnya kamu tidak sakit, itu akan menjadi masalah buat kamu.“
“ Bu, pokoknya ibu tenang saja. Adi teman baik Arman. Jadi tidak mungkin dia membiarkan temannya dalam kesulitan. “
“ Man, sebaiknya besok kamu masuk kerja saja. Lagi pula keadaan ibu juga sudah lebih baik dari pada hari-hari kemaren. “
“ Ya, nanti Arman pikirkan lagi Bu... “
Percakapan itu sudah tidak terdengar lagi.
Ternyata Mas Arman izin tidak masuk kerja bukan karena sakit tapi ibunya yang sakit. Nampaknya Mas Arman sangat sayang pada ibunya. Sampai dibela-belakan tidak masuk bekerja dengan alasan sakit, padahal yang sakit itu ibunya. Ia tidak tega melihat ibunya terus-menerus sakit-sakitan. Makanya ia lebih mengutamakan ibunya dibanding pekerjaannya.
Malam itu aku keluar menuju teras lagi. Aku berniat mencari udara sejuk, tidak panas dan kering. Aku menuju teras duduk di salah satu kursi. Aku menoleh ke teras rumah Mas Arman. Lagi-lagi pintu terbuka, dan keluar Mas Arman. Ia juga duduk di kursi.aku terus melihatnya. Aku tidak tahu apakah ia tahu kalau aku terus melihatnya. Lalu ia berkata sesuatu.
“ Bagaimana jalan keluarnya? Ibu terus-menerus sakit, cuti juga belum ditanda tangani bos. Kalau aku terus-menerus izin dengan alasan sakit, pasti bakal membuat curiga. Sebenarnya masih ada dua hari lagi izinku. Dan sepertinya keadaan ibu juga sudah lebih baik dari pada hari-hari sebelumnya, jadi mungkin aku besok bisa mulai masuk bekerja seperti biasa. “
Ia menarik nafas panjang kemudian menyebut-nyebut nama seseorang.
“ Dinda… Dinda, kamu sabar ya, suatu saat nanti aku akan menepati janjiku untuk memperkenalkan kamu dengan ibuku. Ibu pasti senang punya calon menantu seperti kamu.“
Aku terkejut saat ada seseorang yang meanggilku dari belakang.
“ Hey !!! “
Aku menoleh cepat. Ternyata Mas Adi. Dia memang sering membuat orang merasa kesal.
“ Ayo tidur, sudah malam. “
“ Bisa nggak sih, nggak ngagetin orang! “ kataku sambil berdiri dan masuk ke dalam.
“ Begitu saja kaget. “ kata Mas Adi yang sedang mengunci pintu.
Pagi harinya ada seseorang mengetuk pintu. Aku membukanya.
“ Pagi Dik... “ sapa Mas Arman.
“ Pagi juga Mas... “ jawabku.
“ Bibi ada? “
“ Oh.. ada. “
Belum juga aku panggil, bibi sudah keluar.
“ Bu, saya titip ibu. “
“ Lho, katanya kamu sakit? Sudah sembuh? “ tanya bibi.
“ Sudah Bu. “ jawab Mas Arman.
Mas Adi juga menyusul keluar. Ia siap bekerja seperti biasa.
“ Udah sembuh kamu Man? “ tanya Mas Adi.
“ Udah “ jawab Mas Arman.
“ Tuh kan, apa aku bilang? “ kata Mas Adi kepadaku.
“ Iya, aku tahu! “ jawabku agak kesal, gara-gara semalam Mas Adi mengagetkanku. Jelas-jelas sedang asyik melihat orang sedang jatuh cinta malah diganggu.
“ Kalau begitu kami berangkat dulu. “ kata Mas Adi.
“ Hati-hati “ kata bibi.
Mereka berdua berangkat dengan naik motor.
Hari ini bbibiku kembali menjaga ibunya Mas Arman. Persis seperti seorang anak dangan ibunya. Bagaimana tidak? Semua perlengkapannya bibiku yang menyediakan. Seperti saja mengepel badan, menyuapi makan, menyediakan obat. Mungkin apa yang dilakukan bibiku ke ibunya Mas Arman melebihi apa yang dilakukan oleh anak-anaknya sendiri kepadanya. Akan tetapi bibiku tulus melakukannya. Kasihan sekali, wanita setua ini mangapa harus ditinggal sendiri oleh anak-anaknya? Apalagi ia sekarang sedang sakit-sakitan.
Setiba di pabrik, Mas Adi dan Mas Arman langsung menuju ke pekerjaan mereka. Mereka berdua sama-sama bekerja di bagian operator mesin.
“ Man, kata adik sepupuku kemaren siang kamu sempet ketamu sama dia ya? “ tanya Mas Adi.
“ Iya, memang aku sempat ngobrol. Soalnya pas aku keluar dari dalam rumah, kok melihat ada cewek di depan rumah kamu. Aku kira pacar kamu. Setelah aku dekati ternyata adik kamu. “ jawab Mas Arman.
“ Sembarangan aja kamu ini. “
“ Ya… sorry, Di… “
“ Selama kamu sakit aku tidak pernah melihat kamu. Handphone kamu juga tidak tidak aktif. “
“ Bagaimana kamu tidak pernah melihat aku, orang kamu aja berangkat pagi-pagi pulangnya malam. Jelas tidak pernah bertemu. “
“ Sakit kamu parah? “
“ Udahlah Di… “ menarik nafas panjang, “ Jangan tanyakan itu. “
“ Lho, kenapa? “ tanya Mas Adi.
“ Di, aku mohon kamu bisa jaga rahasia. “
“ Rahasia apa sih? “ tanya Mas Adi sekali lagi.
“ Sebenarnya yang sakit itu ibuku. “
“ Hah….! “
“ Di, aku mohon Di, soalnya akhir-akhir ini ibuku sakit parah, sedangkan cuti yang aku ajukan belum juga ditandatangani oleh Bos Miyamoto. “
Mas Adi menarik napas panjang. “ Ya sudah, kamu sabar ya. Mudah-mudahan ibu kamu cepat sembuh. “
“ Makasih ya Di. “
Mas Adi mengangguk.
Seorang anak yang ingin menunjukkan baktinya pada orang tua. Sejak dari kecil ia diasuh ibunya. Ayah telah meninggal saat ia usia satu tahun. Maka ia ingin memberikan kasih sayang yang lebih pada orang tua yang tinggal satu-satunya. Sedangkan dalam pekerjaannya ia belum mendapatkan cuti, terpaksa ia berbohong.
Sesungguhnya sudah tidak ada lagi beban dalam pikirannya. Keadaan ibunya sudah cukup baik. Lagi pula ada bibi yang biasa mengawat-awatinya. Namun ia tetap saja memikirkan ibunya. Sampai-sampai ia melamun dan ditegur Bos Miyamoto.
“ Arman!!! “ bentak Bos Miyamoto.
“ Iya Pak. “ jawab Mas Arman.
“ Kamu ini bekerja melamun saja! “
“ Maaf Pak, maaf. “
“ Baru saja masuk kerja sudah tidak pecus. Kerja seperti ini mau minta cuti! “
“ Maaf Pak, saya minta maaf. “ kata Mas Arman.
“ Sekarang kamu ke ruangan saya! “ perintah Pak Miyamoto.
“ Baik Pak. “
“ Man, kenapa? “ tanya Mas Adi.
Mas Arman menggelengkan kepala. Ia menuju ruang kerja Pak Miyamoto.
“ Kamu ini tahu apa tidak kamu bekerja di bagian apa? “ tanya Pak Miyamoto.
“ Tahu Pak.” jawab Mas Arman.
“ Arman, kamu bekerja di bagian operator mesin. Kalau kamu berulang kali melamun, bakal fatal akibatnya. Bisa-bisa semua data-data jadi eror, dan akhirnya keblokir. Jika sudah keblokir kita yang susah-susah melacaknya ke Jepang. Kamu paham? “
“ Iya Pak, saya paham. Saya minta maaf, Pak… “ kata Mas Arman sambil memohon.
“ Kalau begitu mulai besok kamu diskors, dan kamu boleh masuk kerja lagi apabila sudah ada keputusan. “
“ Apa Pak? Diskors? “
“ Iya. “
“ Tapi Pak saya...”
Dipotong oleh Bos Miyamoto.
“ Tidak ada tapi-tapian! Sekarang silakan kamu keluar dari ruangan saya. “
Tanpa berkata-kata Mas Arman keluar ruangan menuju pekerjaannya kembali.
“ Ada apa Man, sepertinya kamu sedang ada masalah? “ tanya Mas Adi.
“ Aku diskors, Di. “ jawab Mas Arman.
“ Lho, kok bisa? “
“ Alasan Pak Miyamoto karena aku melamun. “
“ Ya ampun, Man... “
“ Di, aku takut kalau aku diskors terus akhirnya aku dipecat. “
“ Kamu tenang aja, pokoknya aku bakal ngusahain supaya kamu tidak dipecat. “
“ Makasih banget ya, Di... “
“ Iya... “
Siang ini aku menemani ibunya Mas Arman. Bibi yang menyuruhku, karena hari ini bibi harus bersih-bersih rumah. Ibunya Mas Arman sedang tidur. Nyenyak sekali sepertinya. Melihatnya aku jadi ngantuk. Dari pada aku ngantuk aku keluar menuju teras.
Belum lama aku duduk sudah dipanggil bibi.
“ Sa, Ibunya Mas Arman sudah diberi obat belum? “ tanya bibi dari kejauhan.
“ Belum, masih tidur. “ jawabku.
“ Bangunkan saja, bilang kalau sekarang waktunya minum obat. “
“ Ya. “ jawabku.
Aku kembali ke kamar. Ia masih tidur seperti tadi. Nyenyak. Jujur aku tidak enak membangunkannya.
“ Bu….Bu…. “ kataku sambil menepuk lirih kakinya.
“ Bu… bangun Bu, sudah waktunya minum obat. “
Kini aku pindah menggoyangkan sedikit badannya.
“ Bu…Bu…. bangun Bu… “
Namun ia tak juga membuka mata. Masih tetap seperti tadi. Aku coba memegang kakinya. Dingin. Tangannya juga dingin. Aku raba denyut nadinya. Sudah tidak ada sentakan. Aku periksa nafasnya, tidak ada hembusan. Seketika aku berlari menuju bibi.
“ Bi, dia tidak bangun-bangun! “ kataku.
“ Coba kamu bangunkan lagi! “suruh bibi.
“ Sudah. “
Bibi meletakkan sapunya, bersamaku menuju ke rumah Mas Arman.
“ Bu... Bu Har... bangun Bu... “
Bibi melakukan pemeriksaan seperti aku tadi.
Bibi menarik napas panjang. “ Dia sudah meninggal. “ kata bibi.
“ Apa? Innalillahi Wa Innailaihi Roji’un. “
“ Cepat kamu kabari Arman. “
“ Tapi aku tidak punya nomor handphonenya. “
“ Di buku telepon dekat telepon ada nomornya. “
“ Baiklah… “
Lekas aku berlari menelepon Mas Arman. Beberapa kali aku telepon tidak juga diangkatnya.
“ Man, handphone kamu bunyi dari tadi. “ kata Mas Adi.
“ Terus aku harus apa? Peraturan tidak boleh mengaktifkan hanphone. “
“ Ya kamu ke toilet atau kemana, cari tempat yang aman. Sepertinya orang itu ada keperluan penting. “
“ Nggaklah Di, aku dah kena skors, aku nggak mau kalau aku dipecat. “ kata Mas Arman.
Berulang-ulang kali aku coba, tetap tidak diangkat. Ya, sudahlah mungkin Mas Arman sibuk, pikirku. Akhirnya bibi dan warga sekitar yang mengurus jenazah. Kakak-kakak Mas Arman pun juga sudah berkumpul. Tak dapat ku bayangkan perasaan Mas Arman ketika ia pulang nanti ternyata ibunya telah meninggal.
Sampai pukul 20.30 suasana haru masih menyelimuti. Masih tetap terdengar bacaan ayat-ayat suci dari rumah sebelah. Rencana ibunya Mas Arman akan disemayamkan besok.
Malam itu aku duduk di teras depan rumah bibi. Sudah sekitar 15 menit aku duduk di sana. Sambil mendengar bacaan ayat-ayat suci dari rumah sebelah. Entah sampai kapan mereka semua selesai membacanya.
Tidak lama lemudian dua motor berhenti di depan pagar. Mereka Mas Adi dan Mas Arman. Segera aku berlari mendekati keduanya.
“ Man, sepertinya rumah kamu ramai banget. “ kata Mas Adi.
“ Aku juga nggak tahu ada apa? “ jawab Mas Arman.
“ Ada apa sih, Dik? “ tanya Mas Adi padaku.
Sungguh aku tidak sanggup mengatakannya.
“ Dik, ada apa sih? “ tanya Mas Arman.
“ E.... Sebelumnya aku minta maaf Mas, sesungguhnya tadi siang aku ingin mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi. Namun telepon nggak diangkat-angkat, jadi... “ kataku.
“ Jadi tadi siang itu yang telepon kamu? “
Aku mengangguk.
“ Ada perlu apa memangnya? “ Tanya Mas Arman lagi.
“ E... Sebaiknya Mas Arman pulang dulu. “ kataku.
Mas Arman turun dari motor, berjalan menuju rumahnya. Aku dan Mas Adi mengikutinya di belakang.
Sampai di samping jenazah, semua badan Mas Arman lemas. Ia tertunduk di samping ibunya. Ia membuka ujung kain sampai ke kepala, sehingga seluruh raut muka terlihat. Raut muka yang begitu pucat, mata yang telah terpejam sedari tadi siang, dan lubang hidung serta telinga yang telah ditutup oleh segumpal kapas kecil. Meskipun demikian ia nampak tersenyum. Mas Arman berusaha memeluk ibunya. Aku dan Mas Adi melihatnya di depan pintu.
“ Bu...bangun Bu, bangun... bangun Bu…. Bu jangan tinggalkan Arman, Bu… Arman sayang sama Ibu… Bu bangun Bu… Arman ingin memperkenalkan Dinda ke Ibu… Bu bangun, Bu… Jangan tinggalkan Arman, Bu… “ rintih Mas Arman.
Kasihan sekali. Ibunya telah meninggal, padahal sepertinya ia akan memperkenalkan calon istrinya. Sayang ibu telah tiada.
Aku tidak tega melihat Mas Arman. Secepatnya aku pulang. Mas Adi mengikutiku. Sampai di rumah aku duduk di sofa, sementara Mas Arman membuka sepatunya.
“ Kalau saja telepon dari aku diangkat, mungkin perasaan Mas Arman jauh lebih baik. Sekarang ia pasti sangat kecewa. “ kataku.
“ Bagaimana mau diangkat, orang peraturannya tidak boleh mengaktifkan handphone. “ kata Mas Adi.
Mas Adi duduk di sampingku.
“ Kamu tahu, apa yang terjadi dengan Arman waktu ia bekerja di pabrik? “
Aku menggeleng.
“ Memangnya apa yang terjadi? “ tanyaku.
“ Dia kena marah bos. Bukan cuman itu, ia juga diskors tidak boleh masuk kerja sampai ada keputusan apakah ia diterima bekerja lagi atau tidak. Itu gara-gara ia melamun saat bekerja. “
“ Benar-benar kasihan. “
“ Lalu ketika kamu telepon dia, aku sudah menyuruhnya untuk mengangkatnya walaupun peraturan tidak diperbolehkan mengaktifkan hanphone saat bekerja kecuali jam istirahat. Tapi ia tetep nggak mau mengangkat telepon. Mungkin dia udah takut banget habis kena skors. “
“ Jadi Mas Arman tidak mengangkat telepon karena peraturannya tidak boleh mengaktifkan handphone? “ tanyaku.
“ Iya. “ jawab Mas Adi.
“ Duh.... Kamu kok nggak bilang dari kemaren sih, Mas...”
“ Lho aku juga tidak tahu kalau kamu mau telepon. “
“ Terus kamu berusaha bantu dia nggak supaya tidak dipecat dari pekerjaannya? “
“ Ya jelaslah. “
“ Apa yang akan kamu lakukan? “
“ Lihat saja nanti. “ kata Mas Adi yang lalu menuju ke kamarnya.
Baru beberapa menit, ia sudah keluar dengan pakaian rapi, dan aku masih duduk di sofa.
“ Kalau sudah ngantuk, tidur aja. Aku ke rumah Arman sebentar. “ kata Mas Adi.
Ia kemudian pergi.
Keesokan paginya suasana duka cita masih nampak. Hari ini Mas Adi tidak bisa ikut dalam penguburan jenazah. Ia harus bekerja. Ia sudah berjanji akan menolong Mas Arman.
“ Dik, kamu tahu apa yang akan aku lakukan? “ kata Mas Adi.
“ Mas sudah janji akan menolong Mas Arman kan? “ kataku.
“ Iya, memang benar. “
“ Lalu apa yang akan Mas lakukan? “
“ Ada deh, nanti akan aku ceritakan. Sekarang aku berangkat kerja dulu. “
Ia pun memakai sepatunya.
“ Bu, Adi berangkat dulu. “
“ Ya… hati-hati… “ jawab bibi dari dapur.
“ Aku berangkat dulu ya... “ kata Mas Adi kepadaku.
“ Hati-hati. “
“ Siap Bos! “ jawabnya, ia pun pergi mengendarai motornya.
Ia memang sering bercanda, terkadang ia juga menjengkelkan. Mudah-mudahan ia berhasil membantu Mas Arman agar ia dapat diterima sebagai karyawan lagi.
Semakin siang semakin banyak pelayat yang datang. Mengucapkan rasa duka cita dan belasungkawa. Sanak saudara juga sudah berkumpul. Sepertinya mereka tidak tidur dari semalam. Doa-doa terus dibacakan. Bau wangi-wangian bercampur kemenyan pun menusuk hidung.
Sebenarnya aku paling takut dengan bau-bau seperti ini. Apa lagi dengan kematian, meskipun aku tahu bahwa seseorang yang hidup itu pasti akan mati, namun batinku belum siap. Oleh sebab itu mengapa aku tidak ikut melayat. Karena aku takut.aku takut orang mati. Saat aku tahu bahwa ibunya Mas Arman telah meninggal, rasa-rasanya aku ingin berlari secepat mungkin menjauh darinya. Aku akan masuk ke dalam kamar, mengunci pintu, dan menutup kepalaku dengan bantal.
Hari sudah semakin sore. Jenazah telah dikuburkan tadi pukul 13.00 WIB. Namun sekali lagi suasana duka masih menyelimuti.
Sore itu aku masih duduk di teras. Terlihat orang hilir-mudik. Mereka sibuk menata-nata kursi. Di salah satu sudut dari kursi yang telah ditata, aku melihat Mas Arman sedang bicara pada seseorang wanita. Dia cantik. Rambutnya lurus terurai, kulitnya putih, wajahnya begitu manis. Kebetulan mereka bercakap-cakap tidak jauh dari tempat aku duduk, jadi aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
“ Yang sabar ya Mas, semua permasalahan pasti akan selesai. “ kata wanita cantik itu.
“ Dinda... “ kata Mas Arman kepada wanita itu yang ternyata bernama Dinda.
“ Ada apa, Mas? “ tanya Dinda.
“ Mas minta maaf. “
“ Lho, memangnya kenapa Mas? “
“ Dulu sebelum ibu meninggal, Mas sudah pernah berjanji akan memperkenalkan kamu dengan ibu. Tapi belum sempat aku memperkenalkan kamu, ibu telah tiada. “
“ Oh, tidak apa-apa Mas, Dinda mengerti. Sebaiknya sekarang Mas istirahat, Mas pasti capek dari kemaren belum tidurkan? Dinda juga mau pulang dulu soalnya hari sudah sore. “ kata Dinda.
Dinda berdiri diikuti Mas Arman.
“ Dinda, sekali lagi Mas minta maaf ya... “ kata Mas Arman.
“ Iya Mas, Mas tenang saja, Dinda juga tidak marah kok. Ya sudah, kalau begitu Dinda pamit pulang, besok Dinda kesini lagi. “
“ Hati-hati. “
Keduanya saling melambaikan tangan dan melempar senyum. Sampai akhirnya wanita yang bernama Dinda itu pergi merngendarai motornya.
Pukul 20.30 Mas Adi sudah pulang. Ia membuka pintu dan seperti biasa langsung membuka sepatu. Aku sedang melihat TV.
“ Gimana? “ tanyaku.
“ Sukses. “ jawabnya sambil tersenyum.
“ Gimana ceritanya? “
Mas Adi kemudian duduk di sampingku.
“ Begini ceritanya. “
Saat ia akan memulai bercerita aku mencium sesuatu. Bau asam-asam seperti bau keringat.
“ Berhenti... berhenti. “ kataku.
“ Katanya aku suruh cerita. “
“ Iya cerita, tapi keringat kamu bau banget. Ganti dulu sana! “
“ Gimana sih, Dik. Namanya orang kerja kalau nggak ngeluarin keringat nggak lucu namanya. “
Mas Adi berjalan menuju kamarnya. Tas yang ia gunakan untuk bekerja ditinggal di sebelahku.
“ Nih, aku dah pake minyak wangi. Masih bau asem? “
Mas Adi duduk di sebelahku lagi.
“ Ceritanya? “ tanyaku.
“ Begini ceritanya setelah jam istirahat sekitar pukul 13.30 aku ke ruangan bos. Lalu aku ceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi pada Arman. Bosku terlihat sedih mendengarnya. Akhirnya ia mengerti apa yang sedang Arman rasakan. Selain itu aku juga mengajukan permohonan agar peraturan yang tadinya tidak boleh mengaktifkan handphone saat bekerja sekarang diperbolehkan namun sebatas mengirim pesan, dan hal ini sudah ditandatangani oleh pihak manager. Terus ini juga ada surat untuk Arman. “ Sambil membuka tasnya.
“ Surat apa? “
“ Jelasnya aku tidak tahu. Kata bosku ini surat untuk Arman. “
“ Kalau begitu kita kasihkan saja ke Mas Arman sekarang. “
“ Boleh. “ jawab Mas Adi.
Kami berdua berjalan menuju rumah Mas Arman. Surat yang tadi diletakkan di saku celananya Mas Adi. Kami berdua langsung menghapiri Mas Arman yang sedang duduk di kursi di depan teras rumahnya.
“ Apa kabar? “ Tanya Mas Adi setelah ia duduk di sebelah Mas Arman.
Aku pun juga duduk di samping Mas Adi.
“ Baik, Di. Bagaimana? “ tanya Mas Arman.
“ Bagaimana, apanya? “ tanya balik Mas Adi.
“ Keputusan dari Pak Miyamoto. “ jawab Mas Arman.
“ Aku tidak tahu, tapi ini ada surat. “ sambil memberikan surat padanya.
Cepat-cepat Mas Arman menerimanya dan membukanya. Ia pun membaca dengan cepat.
“ Apa isinya Mas? “ tanyaku.
“ Aku masih diterima jadi karyawan Pabrik Astra. “ jawabnya.
Seketika Mas Adi menyalaminya. Mereka berdua pun berpelukan.
“ Makasih banyak ya Di, makasih banyak. “ kata Mas Arman.
“ Sama-sama, Man...” jawab Mas Adi.
Aku pun juga menyalami Mas Arman.
Pada akhirnya ia diterima bekerja lagi di Pabrik Astra. Meskipun ia tidak dapat memperkenalkan Dinda ke almarhum ibunya, akan tetapi tiga hari kemudian Mas Arman bertunangan dangan Dinda.
“ Kapan kamu mau nikah, Di? “ tanya Mas Arman.
“ Entahlah...” jawab Mas Adi.
“ Entahlah? Orang kamu pacar aja belum punya. “
“ Makanya, aku masih ingin menikmati massa mudaku. “
“ Ah... Kamu ini. “
Sehari sesudahnya aku pulang ke Purworejo, karena tinggal tiga hari lagi masuk sekolah. Aku pulang diantar Mas Adi.
Walau bagaimanapun, meskipun hari ini aku tidak punya pengalaman, namun setidaknya aku memiliki kisah yang dapat aku ambil hikmahnya. Semoga massa depanku kelak, aku menjadi orang sukses, sehingga dapat menjadikan pengorbanan orang tua tidak sia-sia.
Komentar :
Posting Komentar