MISTERI KASUS MAYAT
Semenjak lulus SMP, saat itu usiaku empat belas tahun. Aku melanjutkan kebangku SMA. Karena rumahku cukup jauh dari sekolahan, akupun ngekos. Kehidupan di kos-kosan cukup menyenangkan, dan ada beberapa kejadian yang membuatku sangat penasaran. Tapi satu hal yang paling misteri buatku, cerita ini berawal saat aku bangun tidur.
KU . . . . . KURUYUUUUK . . . . . . .
KU . . . . . KURUYUUUUK . . . . . . .
Ayam jago Pak Faidin memang selalu berkokok tepat waktu, pukul 5.45 pagi, dan biasanya tak lama kemudian akupun sudah bangun, membuka jendela, menghirup udara segar, meminum segelas air putih lalu menyiapkan perangkat mandi dan membuka pintu sambil melangkahkan kaki untuk mengantri di depan 2 pintu kamar mandi yang selalu ramai diwaktu pagi dan sore hari. Aku tinggal di kos-kosan Pak Faidin yang tak jauh dari sekolahanku. Kos-kosan ini memiliki 10 pintu namun kamar mandinya cuma dua dan seluruh penghuni kos-kosan punya jadwal keseharian yang sama. Jadi sudah biasa buatku kalau untuk mandi pun harus antri, toh akupun menghabiskan waktu dengan melihat-lihat ayam-ayam Pak Faidin yang jumlahnya 10 ekor dan dalam banyanganku selalu saja ayam-ayam itu sudah terkuliti dan matang ditambah bumbu-bumbu yang baunya mantap, mmh nikmatnya . . . . . . .
Tapi tak lama kemudian,
“Woooiiii... ada mayat!!”
Teriakan itu hanya sekali, tetapi cukup membuat lamunanku membuyar dan tergegas mencari sumber teriakan tadi. Aah disana, didekat tempat sampah ada Bu Nia, penjual warung sebelah tempat biasa aku makan sehari-hari. Dia berteriak-teriak dan menggerakkan-gerakkan tangan untuk memanggil orang-orang. Aku, Pak Faidin, Udin teman sekamarku, Yadi anak Pak Faidin dan Rusli tetanggaku adalah orang-orang pertama yang menghampiri Bu Nia.
Kulihat sosok anak muda berusia sekitar 20-25 tahun, rambut lurus pendek, tinggi sekitar 165 cm, kulit sawo matang, wajah oval, memakai t-shirt putih polos dan bercelana jeans warna biru tua dan hanya memakai sandal jepit di kakinya tampak kaki membujur dengan posisi menyamping dan tangannya memegang perut.
Tadinya kukira ia hanya anak muda yang tertidur karena mabuk, tapi ketika kubangunkan ia tak juga bergerak dan ketika rasa curigaku memuncak kuperiksa nadinya dan tiada tanda kehidupan jadi kusimpulkan ia sudah mati dan akupun berkata,”Hei, orang ini telah tewas!!”. Namun orang-orang disekitarku malah menertawaiku. Pak Faidin mencoba memeriksa nadinya, “Benar kamu To, sepertinya orang ini telah meninggal!!”.
“Dan kini karena kalian sudah tiba, aku rasa tugasku sudah selesai dan kini giliran kalian mengatasi penemuanku ini, sementara itu aku harus menyiapkan makanan untuk anak-anak kos-kosan.” Kata Bu Nia sambil meninggalkan kami di TKP alias Tempat Kejadian Perkara.
“Tar dulu, Bu!! Kenal gak sama nih orang??” Pak Faidin angkat bicara.
“Saya gak tahu Pak, wajahnya pun baru kali ini saya melihatnya”, kata Bu Nia.
“Ya udah kalo gitu, Yadi kamu ke rumah Pak RT bilangin ada mayat gak di kenal disini, cepetan ya!!”.
“Tapi Yah, Yadi mau berak dulu nih!!”
“Ngak bisa, kamu ke rumah Pak RT dulu baru deh kamu mau ke jamban kek, mau nyemplung kek terserah kamu!!”. Pak Faidin melotot dan Yadi pun takut melihat tatapan ayahnya yang seperti itu, iapun berjalan ke rumah pak RT.
“Coba kamu liat dompetnya, To!!Cari tau namanya di KTP
atau apa kek”, Pak Faidin memintaku.
Tanganku pun bergerak memeriksa kantung belakang celana jeansnya dan bergerak memeriksa kantung belakang celana jeansnya dan memang kutemukan dompet kulit warna coklat tua yang segera ku buka isinya, ada uang 10.000 dan . . . . . . tidak ada KTP, kartu nama atau apapun juga.
“Aneh??”, kataku dalam hati.
“Ada KTP-nya, To??” tanya Pak Faidin.
“Gak ada Pak, cuma duit cebanan!!”.
Tanganku kembali bergerak, kali ini kantung depannya menjadi sasaran rogohanku, disebelah kiri ada 5 koin dua ratusan dan 2 koin lima ratus sementara kantung sebelah
kanan ada uang seribu rupiah dan tiada satu pun KTP, kartu nama atau kertas apapun yang bisa menjadi bukti identitas dirinya.
“Dikantongnya cuma ada duit, ga ada KTP dan
lainnya Pak!!”
“Wah gelap nih orang!”, Udin ikut bicara.
“Tapi tanya dulu Pak, sama warga sini, kali aja ada yang kenal!!”, Rusli ambil bagian.
“Kalo gitu sambil nunggu Pak RT dan juga orang yang kenal sama dia, kita pindahin dulu mayatnya!!"
“Pindahin kemana Pak??”
“Kemana kek, asal jangan disini!!”
“Jangan dulu Pak!!Kali aja dia ini korban pembunuhan dan biasanya polisi melarang untuk mindahin mayat tanpa sepengetahuan polisi”, Udin mencegah.
“Tapi kasihan juga nih mayat, adanya ditempat sampah padahal dia bukan bangke tikus, dia manusia”.
“Iya sih, tapi bisa jadi ini kasus kriminal dan kalo kita pindahin nih mayat berarti kita telah mengacak-acak TKP!!” Udin gigih mempertahankan dalihnya.
“Si Yadi lama banget sih manggil Pak RT??Jangan-jangan dia berak ditengah jalan”, Pak Faidin mulai resah.
“Biar saya aja yang susul Pak!!”, Rusli beranjak menyusul Yadi.
Kini tinggal aku, Udin, Pak Faidin dan mayat tak dikenal itu didepan tempat sampah. Kami semua diam, namun aku yakin dalam benak Udin dan Pak Faidin serta tentu saja
benakku sedang berfikir bagaimana caranya agar mayat ini secepatnya dapat dikebumikan.
“Ada apa Pak??”
Lestari, tetanggaku yang sudah siap bergegas ke warung Bu Nia bertanya kepada Pak Faidin. Rupanya ia baru saja mau sarapan pagi di warung Bu Nia dan agak aneh baginya melihat kami berdiri didepan tempat sampah dipagi itu.
“Ada mayat tidak dikenal, Dik!!”
“Mayat tak dikenal??”
“Iya, soalnya gak ada KTP, katu nama atau kartu identitas apa gitu”.
“Sudah lapor polisi Pak??”
“Belum, ini juga baru dilaporin ke Pak RT”.
“Siapa yang pertama kali melihat, Pak??”
“Pertamanya sih, Bu Nia yang ngeliat terus dia periksa ternyata mayat, kontan dia teriak nah terus Bapak, si Cipto, si Udin, terus tadi ada Yadi sama si Rusli datang ke sini … eeh begitu nyampe Bu Nia malah pergi jualan dulu, sekarang tinggal betiga ditambah dik Tari”.
“Ada yang kenal dengan dia, Pak??”
“Ga ada yang kenal, makanya tadi disebut mayat tak dikenal”
“Bisa jadi dia korban pembunuhan”, Udin menimpali.
“Apa ada tanda-tanda ia dibunuh??”
“Ga tau, itu sih urusannya polisi kan??”
“Kalau begitu, biar saya foto mayat ini dan nanti di kantor biar saya telpon polisi”.
Lestari segera mengambil kamera digitalnya, mengambil beberapa gambar dan kemudian pamit kepada kami.
“Mana mayatnya, Pak?””
Dari jauh suara Pak RT sudah menyapa.
“Nih, ga kemana-mana”
Pak RT menghampiri.
“Si Yadi mana??Si Rusli??”
“Si Yadi mana saya tau, tadi mah si Rusli datang ke rumah ngasih tau ada mayat ditempat sampah makanya saya buru-buru ke sini”.
“Enaknya bagaimana Pak RT??", tanya Udin.
“Coba saya liat dulu mukanya”.
Pak RT mengecek wajah mayat itu, keningnya berkerut mengingat-ingat, lumayan lama sampai……
“Saya inget sekarang, saya pernah liat dia nongkrong bareng si Toni anaknya Pak Jono dipinggir lapangan bola . . . kalo gak salah inget sekitar 3-4 hari yang lalu”.
“Wah kalo nongkrong bareng si Toni mah pasti begajul nih mayat”, Pak Faidin mereka-reka.
“Mungkin juga ia pelarian polisi”, Udin membuatanalisis terbaru.
“Kalo gitu saya suruh Yadi buat nyari si Toni” Pak Faidin menyingkir dari situ.
“Apa tidak sebaiknya kita pindahkan mayat ini, Pak RT??”, tanyaku.
“Jangan dulu To, ini TKP dia pasti buronan dan jangan kita kutak-katik mayatnya”, malah Udin yang menjawab.
“Tapi hari makin siang, sebentar lagi banyak anak-anak sekolah melewati tempat ini, apa tak bisa kita pindahkan saja mayat ini??”.
“Kalau begitu, kita tutup dulu mayatnya dengan koran agar mukanya tidak dilihat anak-anak sekolah yang lewat, kasian kan kalo sampe di sekolah mereka malah gak nafsu makan”, Pak RT mengambil keputusan.
Akupun segera ke kos-kosan, menuju ke kamar mandi yang kosong karena teman-teman kosku sudah mandi. Setelah selesai dan berdandan serta sarapan, bergegas aku mengambil beberapa lembar koran. Namun tak mudah pula ku mencari koran karena bendasemacam ini biasanya kusimpan ditempat yang yang tertutup juga terpisah. Jadinya aku membutuhkan waktu lebih lama agar dapat menyibak laci buku, lemari baju, bawah kasur, rak-rak kecil dan hasilnya pun lumayan . . . cukuplah untuk membungkus satu mayat yang tak berdarah, terluka dan beridentitas itu.
Diluar pintu aku berpapasan dengan Rusli yang hendak berangkat sekolah.
“Bagaimana, To??Pak RT sudah sampai??”
“Sudah”
“Pak RT kenal dengan mayat itu??”
“Kenal”
Serentak Mas Kamil, Tante Zulaikha, Soleh, Manto, Durat dan Wira yang kesemuanya tetangga kos-kosanku bertanya,
“SIAPA, TO??”
Aku kaget mendengar ucapan mereka yang begitu kompaknya.
“Pak RT pernah lihat nongkrong sama si Toni anak Pak Jono, si Toni pasti kenal sama dia!!”, tiba-tiba katakata tadi terlontar begitu cepatnya tanpa bias kukendalikan barang sekilas.
“Jadi statusnya masih mayat tak dikenal??”, mas Kamil bertanya sambil mengikat tali sepatunya.
“Tapi kalo temennya Toni, berarti sama begajulnya dong!!”, tante Zulaikha memperlihatkan muka takutnya.
“Toni itu kawan-kawannya suka pake narkoba lho, tante!!”, Soleh tambah menakuti tante Zulaikha, Manto ikut pula mengompori.
“Polisi seringkali nge-razia tongkrongan mereka, sudah ada beberapa orang diciduk polisi!!”
“Sudahlah, janganlah memanjangkan prasangka yang jelas mayat itu masih tak dikenal”, Durat mencoba mengambil alih pembicaraan.
“Betul Rat, masih tak dikenal!!Kalau begitu aku pamit dulu, berangkat duluan yaa, ayo semuanya!!”, mas Kamil berkata sambil berjalan, dan seperti serentak kembali
yang lainpun dari mulai tante Zulaikha, Soleh, Manto, Durat, serta Rusli kembali bebenah diri karena matahari sudah merangkak naik. Hanya Wira yang mendekatiku, dia cewek yang sudah berbusana rapih dan siap untuk berangkat tapimemilih mendekatiku dan,
“Orangnya kayak gimana sih, To?”
“Pemuda, usia 20-25 tahun, rambut lurus pendek, tinggi sekitar 165 cm, kulit sawo matang, wajah oval, t-shirt putih, celana jeans biru tua dan sendal jepit". Kembali
kata-kata begitu derasnya mengalir tanpa bisa kubendung.
“Oo, trus itu kamu bawa Koran banyak banget buat apa??”
“Oh iya, sampe lupa!!Aku mau bawa nih Koran ke TKP buat nutupin mayatnya, dah dulu yah, kasian Pak RT dah lama nunggu”.
Aku menuju tempat sampah dan menjumpai sudah banyak orang ada disana.
“Nih Pak RT korannya!!Pak RT, dah ketenu ma si Toni belum??” aku bertanya sambil ngasihin korannya ke Pak RT dan Pak RT menutup mayat itu dengan Koran pemberianku.
“Kata Yadi dia ga ada di rumahnya!!Ngomong-ngomong kamu ga berangkat sekolah To??Udah jam 7 kurang loh!!”
“Ini mau berangkat Pak!!”
Akupun meninggalkan Pak RT dan bergegas berlari ke sekolah dengan kecepatan penuh, karena sebentar lagi akan bel masuk.
“Teeetttt . . .Teeetttt . . . Teeetttt . . .” bel tanda masuk sekolah berbunyi, untung saja aku sampai sekolah tepat waktu. Sesampai dikelas, aku disambut temanku dengan pertanyaan.
“To, tadi pagi katanya di temukan mayat di daerah kos-kosanmu!!Bener ngak sih n’ critanya gimana??”
“Ntar aja, aku capek nih!!Dari kos-kosan lari ke sekolah.”
“Yah, gimana sih??” teman-temanku kecewa dengan jawabanku.
“Pagi anak-anak??” Bu Guru masuk ke kelas dan teman-temanku kembali ke tempat duduknya masing-masing.
“Pagi Bu . . .” serentak murid kelasku menyapa.
Akupun mengeluarkan buku pelajaran.
“To, tadi pagi ada pristiwa apa sih di daerah kos-kosanmu??” Bu Guru memandangku dengan penuh rasa penasaran beserta teman-temanku.
“Anu Bu, ditemuin mayat tak dikenal seorang pemuda, usia 20-25 tahun, rambut lurus pendek, tinggi sekitar 165 cm, kulit sawo matang, wajah oval, t-shirt putih, celana jeans biru tua dan sendal jepit”.
“Terus udah lapor ke polisi belum??”
“Ngak tahu Bu, kan saya langsung berangkat!!Yang ngurusin Pak RT tadi”
“Oo, gitu”.
“Kira-kira orang itu meninggal kenapa To??”
“Kurang tahu Bu!!Soalnya saya bukan agen otopsi . . . He . .He . . .”
Selama di sekolahan, aku terus ditanyai oleh warga SMA karena aku kan saksi. Jadi gayanya dah kaya artis yang diwawancari terus . . . Hee . . . . .
“Teeetttt . . .Teeetttt . . . Teeetttt . . .” bel yang kutunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Dan akupun cepat-cepat pulang, ingin mengetahui tentang perkembangan kasus ini.
Ditengah perjalanan pulang, aku bertemu Pak RT.
“Bagaimana Pak kasus tadi pagi??”
“Saya serahkan semua kepihak berwenang To!!”
“Terus sudah ditemukan belum si Toni??”
“Masih dalam presos pencarian sama polisi, udahlah nggak usah di bahas!!Lagipula udah ada pihak berwajib yang menangani kasus ini . . .”
“Ya udah deh Pak, saya pulang dulu!!Siang Pak . . .”
“Siang . . .”
Kulihat keadaan aktivitas disepanjang perjalanan pulang kembali seperti biasanya dan masalah kasus penemuan itu aku anggap selesai, walaupun dalam benakku masih penasaran dan ingin memecahkan misteri didalamnya . . .
By : Lubis Sucipto
Komentar :
Posting Komentar