CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Cari

Custom Search

Penghuni Dab

Black Parade

BLACK PARADE

Usahanya Anak Parade

Sabtu, 30 Mei 2009

MINE

MINE

Purworejo, 20 Mei 2009
Alam
Suara percikan air
Yang mendendang ditelinga
Suara cit-cit burung
Seakan menambah aroma pagi
Aku tau dimana aku
Aku tau siapa aku
Dan aku tau bagaimana diriku
Namun yang tak pernah kurelakam
Melewati pagi bersama
Melakoni aktifitas yang tiada henti
Hanya bersama kalian
Alam…………..
Alam yang bersahabat
Walau dalam suka ataupun duka
Walau dalam sempit ataupun lapang
Terimakasih alam
Atas semua yang kau persembahkan

By : !t !$ x-2

By : !t !$ x-2

uasana pagi di sebuah desa terpencil di kecamatan Air Upas kabupaten Ketapang sangat menyejukkan jiwa dan raga. Alam seakan bisa bersatu dan menjadikan jiwa yang sunyi menjadi secerah percikan sinar yang muncul dari singgasananya. Sebuah kehangatan pagi yang takkan pernah terelakan untuk dilewatkan. Ditambah para tetangga yang ramah dan menjunjung tinggi rasa persaudaraan.

“ Ma, ayo bangun! Dah pagi ni!” suara lembut papa yang membangunkan mama. Hanya dalam hitungan detik mama bangun tanpa membangunkan aku. Sebenarnya aku sendiri ikut terbangun oleh suara papa, tapi aku pura-pura masih tidur karena aku ingin selalu dimanja oleh papa dan mama. Setelah waktu sholat subuh tiba, Papa dan mama membangunkan aku dan kakak untuk sholat subuh. Seusai sholat subuh Mama memasak sementara aku kembali lagi ke tempat tidur yang dengan setianya menunggu aku. Aktifitas mama dan papa setiap pagi seperti itu, walaupun terkadang mama telat bagun karena kecepean karena harus memanen kelapa sawit atau sekedar bersih-bersih disekitar kebun kelapa sawit yang selama ini kami harapkan hasilnya. Tetapi sekarang itu hanya sebuah isapan jempol belaka. Papa yang dulu setiap pagi pergi ke kebun sawit untuk memenen atau hanya sekedar merawat kelapa sawit kini tidak lagi..
Papaku adalah tipe orang yang sangat sederhana. Papa hanya bekerja sebagai kuli bangunan di sebuah pabrik sawit yang jaraknya lumayan jauh dengan rumah kami. Papa juga harus mengayuh sepeda untuk sampai di tempat kerja. Karena jarak yang sangat jauh dan membutuhkan waktu setengah hari untuk sampai maka papa dengan berat hati meninggalkan kami di rumah dan papa tinggal di perumahan sederhana milik perusahaan itu. Sehingga papa pulang hanya satu bulan sekali itupun tidak pasti. Biasanya papa pulang dengan mengayuh sepeda tua yang selalu menemani papa setiap akan berpergian. Tetapi papa tidak pernah mengeluh kepada mama, aku ataupun kakak. Walau hanya dengan gaji Rp 543.000,00 per bulan tapi papa selalu mensyukuriny karena itu lebih baik dari gaji hasil panen kebun kelapa sawit kami. Yang selalu papa inginkan adalah hidup bahagia dalam naungan agama islam. Papa selalu mengingatkan kami untuk sholat. Selain itu papa dengan sabarnya mengajari aku dan kakak untuk mengaji agar kelak anak-anaknya menjadi anak yang soleh dan solehah. Itulah yang membuat keluarga kami selalu bahagia walaupun kami selalu hidup seadanya.

***
Suasana pagi itu memang membuat aku terlena. Suara ayam yang selalu membangunkan akupun tak terdengar. Tiba-tiba mama membuka pintu kamar dan membangunkan aku dan kakak yangsedang asyik bermimpi hingga ke negri Jiran. Kamar aku dan kakak memang jadi satu, hanya saja berbeda ranjang sehingga mama mudah untuk membangunkan aku dan kakak. Suara mama yang cukup keras mengahetkan aku. Hingga akhirnya aku jatuh dari tempat tidurku. Sementara kakakku dengan bangganya mengejek aku yang sedang teraniyaya karena jatuh dan harus menahan sakit.
“ Sity! Kakak! ayo bangun! Kita semua mau menyusul papa di PT. HARAPAN SAWIT LESTARI. Cepat kalian mandi!” kaya mama.
“ Ha……………..?” Kami secara serentak berteriak karena terkejut mendengar berita itu. Sebuah berita besar yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Sebuah berita yang selama ini hanya ada di angan-anganku.
Mama dengan semangat 45menyuruh aku dan kakak untuk segera mandi. Karena sebentar lagi kami akan bertemu papa yang sudah dua bulan tidak bersma kami karena papa harus bekrerja untuk menafkahkan keluarga, mencari uang untuk sekolah aku dan kakak. Tapi beberapa saat kemudian aku dan kakak menuruti nasehat mama untuk segera mandi.

***
Suatu malam yang cerah, dimana bulan yang bersinar menyinari bumi seakan menggambarkan suasana hati yang bahagia. Tetapi hal itu tak tampak ada sebuah kebahagian diraut wajah papa karena disamping papa tidak ada aku, mama maupun kakak. Tetapi papa selalu berusaha untuk tabah dalam menghadapi apapun. Walaupun kadang papa merasa kesepian. Papa ingat betul bagaimana keadaan keluarga kami jika papa tidak bekerja di perusahaan itu. Apakah hanya menunggu gaji sawit yang tak tentu. Tidak, dalam hati kecilnya papa tidak ingin mengulanggi dimana gaji pertama yang papa peroleh dari hasil panenan sawit kami hanyalah Rp 2.000,00 Sabuah angka yang bisa memotifasi papa untuk bekerja lebih giat lagi agar bisa mencukupi kebutuhan kami.. Itupun papa harus panas-panasan melawan panasnya matahari, dingginya hujan dan keringnya tenggorokan. Sebuah perjalanan hidup yang sangat sulit untuk dilewati. Perjuangan yang sangat besar demi memperolah sesuap nasi. Sungguh besar jasa papa yang tiada bisa kami balas dengan apapun. Terimakasi papa, semoga jasa-jasa papa mendapat ridho dari Allah SWT.

***
“Sity, cepat! Kakakmu sudah selesai. Nanti kita langsung ke Air Upas untuk menunggu bis!” perintah mama sambil membereskan barang-barang yang akan dibawa.
“ Iya Ma. Bentar lagi aku selesai.”
Sememtara kakak sudah siap dengan tas ranselnya. Kakak yang masih duduk di kelas 6 SD seakan menggambarkan seorang kakak yang siap melindungi aku dan mama diperjalanan nanti. Tapi wajah imut nan lugu kakak seakan menghilangkan pandangan kalau kakak yang akan menjaga kami. Justru pandangan bahwa kakak yang akan merepotkam kami. Setelah beberapa saat aku keluar dari kamar sambil menenteng boneka yang selalu aku bawa. Boneka lucu pemberian mama ketika aku baru masuk sekolah dan hinnga aku kelas 3 SD. Setelah kami semua siap kami meninggakan rumah menuju ke Air Upas. Sebuah kecamatan yang terletak di tengah-tangah hutan rimba dan dilewati oleh bis yang akan menghantarkan kami ke perusahaan dimana papa bekerja. Tapi sebelumnya kami menghampiri tetengga kami yang akan kesana juga u. Walaupun perasaan bahagia muncul diwajah mama tapi mama tetap seperti menyembunyikan sesuatu yang harus aku diungkap. Mama yang hampir tidak mengucapkan kata-kata sedikitpun tiba-tiba meneteskan air mata kebahagiaaan dan kesediahan. Air mata bahagia karena mama akan bertemu papa tapi air mata kesedihan karena mama akan meninggalkan kampung halaman tercinta. Sebuah kampung yang sangat subur dan asri, walaupum letaknya di tenggah-tengah hutan balantara.
Ketika kaki mulai melangkah untuk menuju Air Upas, tiba-tiba seorang anak seumuran denganku lari menuju aku sambil meneteskan air matanya dan memanggil-manggil namaku. Dia adalah gadis kecil yang tanpa dosa yang membawa sejuta ketulusan Dia juga sahabat kecilku yang selalu ada disampingku ketika aku dalam kondisi suka maupun duka. Seorag sahabat yang selalu berbagi cerita dan canda bersama. Seorang sahabat yang sudah aku anggap sebagai saudara kandungku. Tapi kini aku harus meninggalkan sahabat kecilku di sebuah pedalaman suku Dayak. Orang-orang dayak yang sulit untuk berbaur dengan para pendatang. Perasaan ini seakan berontak, tidak rela meninggalkan dia sendiri tanpa teman yang bisa membuat kebahagiaan. Itu mungkin memeng sudah menjadi sebuah suratan kalau aku harus rela menjalani semua ini. Yaitu sebuah pilihan yang sulit aku tentukan. Ketika tanganku ini bersalaman dengannya seakan aku tidak mau untuk melepaskannya. Dengan segenap perasaan dia memelukku erat-erat. Sebuah pelukan perpisahan dari seorang sahabat. Seakan dia tidak rela melepaskan aku. Air mata yang membasahi wajahnya membuat aku bertambah tidak tega menghadapi semua ini.
SAHABAT
Sahabat kecil
Kau selalu ada
Disaat aku tertawa
Disaat aku menangis
Hatiku tak rela
Hatiku tak tega
Melihat kenyataan pahit
Melihat kenyataan yang tak lagi bersahabat
Maafkan aku
Jangan pernah lupakan aku
Untuk selama-lamanya
***
Setelah aku, keluargaku dan tetanggaku sampai di Air Upas kamipun duduk di sebuah warung makan sambil menunggu bis yang datang. Semoga bis itu seagera datang. Karena di daerah itulah bis lewat dan hanya dua hari sekali. Itupun terkadang sudah penuh oleh penumpang yang ingin bepergian ke daerah lain . Tapi semangat 45 kami tak urung pudar. Kami menunggu hingga malam hari. Malangnya bis yang kami tunggu tak kunjung datang. Tiba-tiba hujan dengan derasnya mengguyur daerah itu. Perasaankupun menjadi bertambah cemas, bagaimana kalau sampai aku tidak jadi bertemu papa. Sedangkan mama an tetanggaku sudah tertidur pulas karena kecapean menunggu kedatangan bis. Sementara kakak hanya mondar-mandir menunggu kedatangan bis yang tak kunjung datang.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kakak. Ditengah derasnya huhan kakak lari menuju pinggir jalan. Ternyata kakak hanya memastikan apakah cahaya yang tampak dari kejauhan itu bis yang kami tunggu. Ternyata itu benar, bis yang kami tunggu sudah dating. Setelah itu kakakku membangunkan mama dan tetanggaku. Beberapa saat kemudian bis yang kami tunggu berhenti tepat di depan sebuah warung tempat kami menungu. Derasnya hujan, dinginnya malam dan gelapnya malam tak menyurutkan semangat kami untuk naik ke bis. Walaupun pakaian aku basah, tapi hati kecilku merasa sangat senang karena nanti akan bertemu papa yang selama ini aku rindukan. Diwajah mama juga mengisyaratkan kalau mama juga sedang bahagia akan bertemu papa.
Selama dalam bis, aku hanya terdiam. Bukan karena mengantuk tapi karena aku sudah tidak sabar untuk bertemu papa. Aku ingat betul pesan-pesan papa kepada aku dan kakak. Papa selalu berpesan agar anak-anaknya menjai anak yang selalu berbakti kepada kedua orang tuanya.
Setelah kurang lebih dua jam didalam bis, akhirnya kami sampai juga di kecamatan Manis Mata. Yaitu kecamatan tempat papa bekerja. Setelah itupun kami turun dari bis. Setelah itu aku langsung menuju komplek dimana papa tinggal. Sebuah kompek perumahan tua yang khusus dihuni oleh pekerja kasar seperti papa. Aku tau komplek itu papa karena sebelumnya aku sudah diberitahu oleh tetanggaku yang juga bekerja di perusahaan yang sama dengan papa. Beruntunglah barang bawaan kami hanya sedikit. Sehingga kami tidak perlumemanggil papa untuk membawakan barang bawaan kami. Dalam benak pikiranku yang muncul saat itu adalah yang akan aku lakukan yaitu memberi kejutan papa.
Setelah sampai didepan komplek papa, aku langsung berteriak.
“ Papa…………….. Papa………….”
“Ya sebentar! Siapa ya….?” Seseorang dengan suara besar menjawab dari balik pintu .
Setelah beberapa saat orang itu muncul dari balik pintu. Treng…………. Ternyata seseorang yang tinggi besar dan berkumis ymembuat aku menangis. Pada saat itu juga aku langsung nangis, dan mama langsung menghampiri aku dan menggenong aku. Ternyata aku salah pintu. Sebuah kejadian yang sangat memalukan. Beruntunglah aku masih kecil sehingga aku tidak terlalu malu. Setelah mama minta maaf, kami menuju komplek sebelahnya. Komplek yang memang tempat dimana tinggal papa.
Ketika papa membuka pintu, aku langsung turun dari gendongan papa dan memeluk papa. Betapa bahagianya aku bisa bertemu papa dan dunia seakan hanya milikku seorang. Papa juga langsung menyambut pelukan anak bungsunya dengan perasaan bahagia dan lega. Papa tidak menyangka jika kami akan menyusul papa. Setelah beberapa saat papa baru sadar kalau mama dan kakaksuda berdiri di belakangku sejak tadi.. Setelah mereka berpelukan papa masih tetap tercengang dan hanya berdiri di depan pintu.
“ Pa…… Kita kan capek. Masak ndak suruh masu?” tanyaku sambil mencubit papa.
“Auk aem. Ayo kita masuk!” Papa menjawab dengan bahasa khas dayak.
Setelah dipersilakan masuk oleh papa, maka kami langsung masuk. Sebuah rumah kecil dan sederhana . Tidak terlihat ada barang-barang yang berharga hanya saja sudah ada penerang listrik yang siap menerangi ruang-ruang yang ada. Tidak seperti ketika aku tinggal di Air Upas. Suatu keadaanimana pada malam hari gelap gulita, tiada lampu penerang yang masuk. Hanya sebuah sentir yang selalu menemani malam-malam kami. Suara jangrik dan hewan-hewan yang membubarkan kesunyian malam kami.
Setelah beberapa saat kemudian papa menyiapkan makan malam untuk kami. Kamipun makan bersama. Sebuah malam yang selalu aku nanti-nanatikan walaupun mammal itu hanya makan nasi dan sayur bayam. Malam dimana keluargaku bias berkumpul bersama dan bisa menikmati makan bersama. Sebuah momen yang tidak bisa aku lupakan dalam kehidupanku walaupun saat itu aku masih duduk di kelas tiga SD. Tapi aku bisa merasakan kebahagiaan yang diinginkan setiap orang.
Tiada suara ayam yang berkokok, dan suara hewan-hewan yang selalu mengusik tidurku. Tapi suara azan dari masjid yang jaraknya cukup jauh yang menyusuk keheningan tidurku. Setelah sholat subuh, aku keluar rumah untuk menikmati pagi yang cerah. Suasana yang sangat indah dan sebuah pemandangan perumahan sederhana yang berjajar rapi. Tepat berada du depan komplek itu ada sebuah bagunan yang besar. Disana ada beberapa orang yang sedang sibuk menyiapkan sesuatu. Entah apa yang aku lihat, tapi aku tidak terlalu memperdulikannya. Tiba-tiba papa datang dan berdiri disampingku.
“ Nak, kenapa kamu berdiri di sini sendirian?” Tanya papa.
“Aku hanya ingin menikmati indahnya pagi pa..”
“ Apa kamu tidak ingin papa temani untuk jalan-jalan?”
“Tidak pa, aku hanya ingin Tanya. Apa yang mereka lakukan?” jawabku sambil menunjukkan jari telunjukku yang kecil kearah orang-orang yang sedang sibuk menyiapkan sesuatu di dekat mobil besar yang menurutku sangat aneh. Mobil yang aku sendiri tidak tau mobil apa itu. Dan itu adalah mobil aneh yang pertama kali aku lihat.
“Oh itu. Mereka adalah karyawan yang bertugas dibagian distribusi. Tugas mereka adalah mengantarkan minyak mentah itu kesebuah pelabuhan. Dan mobil besar itu namanya adalah tanker. Didalam tabung itulah minyaknya disimpan.” Papa menjelaskan dengan panjang lebar.
“Pa….” suara lirihku mengagetkan lamunan papa.
“Ada apa?” papa bertanya kepada aku dengan lembut.
“Apa papa juga bekerja seperti mereka?”
“Tidak. Papa bekerja sebagai tukang bangunan. Terkadang papa harus panas-panasan membetulkan bangunan, membetulkan gentian atau sekedar mengecat tembok. Terkadang papa juga dikirim ke bandara khusus helikopter milik perusahaan untuk menembel lapangan yang sudah rusak.” Jawab papa.
“ Pa, sebenarnya papa ngerasa capek ngak sih? Papa kan harus bekerja untuk aku, mama dan kakak.”
Papa hanya terdiam. Aku tau papa pasti merasa capek. Papa ingin istirahat, menikmati hidup yang hanya sekali dan tidak dapat diulangi lagi. Aku memandangi papa sambil merasakan bagaimana keadaan yang harus papa alami setiap hari. Papa harus berabngkat bekerja mulai dari pagi jam 07:00 sampai jam 16:00. membanting tulang untuk menyekolahkan kami.
“ Nak, papa tidak akan merasa capek, jika kamu dan kakakmu jadi orang yang sukses, berbakti kepada orang tua dan selalu dijalan Allah.”
Aku hanya mengangguk mendengarkan papa yang sedang berbicara.
“ Nak, jika kamu sudah besar nanti papa ingin kamu menjadi orang yang sukses dan selalu dijalan Allah. Dan jangan lupa selalu sholat lima waktu. O.k!”
“ O.K!” jawabku ingkat.

***
Sementara di dapur mama sedang memasak. Tiba-tiba kakakku dating an mengagetkan mama.
“ Dor…ma, adek dan papa kemana sih. Kok di kamar ngak ada?” Tanya kakak.
“ Tu ada di depan. Kamu panggil gi. Mama sudah selesai masak dan kita semua sarapan pagi bersama.”
“O.k ma.” Jawab kakak.
“ Pa… Dek… Ayo kita makan bersama!” ajak kakak sambil menuju kearahku dan papa.
“O.k. eh kak. Kakak ingin jadi seperti papa ndak?”
“ Kakak? Kakak nggak mau jadi seperti papa yang hanya tukang bangunan biasa. Tapi kakak ingin jadi arsitek yang sukses. Sehingga papa tidak susah-susah cari uang untuk kita. Yang ingin kakak tiru dari papa adalah semangat papa dalam mencari nafkah.” Kata kakak.
Kata-kata kakak seakan membuat papa menjadi terharu dan papapun memeluk kami dengan erat. Pelukan yang penuh kasih sayang antara anak dan papanya.
“ Papa… aku ingin papa selalu ada di dekat aku. Jika kelak aku besar nanti aku tidak mau berpisah dengan papa. Boleh khan pa……….?”
Papa hanya menggangguk. Setelah itu kamipun sarapan bersama. Sebuah keluarga yang selama ini aku idam-idamkan. Aku ingin setiap hari keluargaku bisa merasakan kebahagiaaan yang selama ini aku rasakan. Semua orang pasti akan merasakan hal yang sama jika bisa selalu bersama-sama dalam suka maupun duka.
“ Ma, kalau setiap hari kita seperti ini papa serasa lebih semangat dalam bekerja.”
“ Aku juga. Aku pengen jadi orang yang sukses untuk membahagiakan papa dan mama.” Sambung kakak.
“Ma.. kalau aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.” Kataku sambil meneteskan air mata.
“Suda-sudah. Kalian semua adalah anak mama dan papa. Dan selamanya akan menjadi anak mama dan papa.” Kata mama, sambil menyuapi aku makan.



THE END

By Sitty Ms(32)/X2


Read More......

CERITA ANAK KOST( Aris marah........)

CERITA ANAK KOST( Aris marah........)


Setiap hari, Tino memang sibuk, dia harus mengerjakan banyak tugas baik dari sekolah ataupun tugas pribadi, maklum anak muda, banyak gaul banyak temen. Dia tinggal di sebuah kost yang letaknya cukup jauh dari sekolahnya, atau tepatnya di pinggir kota. Disana ia tinggal dengan teman-teman kost yang lain.
Suatu hari dia mengerjakan tugas dari sekolah. Dia mengerjakan tugas itu sejak beberapa hari yang lalu. Mungkin tugasnya banyak atau nggak pernah dikerjain.
“Duh, banyak bener tugasnya ya.......... yang satu belum rampung dah datang lagi tugas yang lain. Emang hidup ini ngga ada yang mudah.!!!” Kata Tino kepada Dito yang duduk disebelahnya.........

“Ya iyalah, mau tidur aja sulit apa lagi buat tugas. Gue yang tugasnya nggak banyak aja pusing. Soalnya pacar gue kayaknya selingkuh ma temenku.”sahut Dito dengan bete.
“Pacar loe ada berapa sih, kok dari kemarin pikirin pacar melulu? Pikirin yang lain gitu, ni gue punya tugas buanyak banget, gimana kalo loe bantu gue ngerjain tugas. Mau nggak, entar gue traktir deh” kata Tino dengan merayu.
“Enak aja, pacar gue tu cuma satu, tapi temen cewek gue ada 5. Ada yang di Magelang, Kebumen, pokoknya banyak deh. Loe mau nggak ada satu cewek yang mau gue putusin tu. Tugas loe apa aja sih, kok kayaknya dari kemarin nggak rampung-rampung?” kata Dito.
“Enak aja loe, emang gue apaan? gue aja bingung kok tugasnya nggak rampung-rampung sih, padahal dah gue kerjain berhari-hari.” cerocos Tino.
“Udah loe kerjain aja tugas loe, entar nggak selesai tuh.” kata Dito sambil berlalu meninggalkan Tino.
Dito pergi ke kamar sebelahnya, disana dia melihat Tora dan Aris sedang main game di laptopnya Tora.
“Eh gue boleh ikutan main nggak ni, gamenya bagus banget tuh.”bujuk Dito.
“Entar gantian, loe nunggu dulu, kalo dah game over baru loe main, OK.”kata Aris sambil memainkan gamenya.
Sementara itu Dito membuka-buka Sms di HaPe Aris yang tergeletak di meja. Di tempat lain, Tino asyik mengerjakan tugasnya. Hingga dia tidak merasa bahwa saat itu jam sudah menunjukkan jam 1 malam.
“Ahh....., ngantuk, tapi nanggung tinggal sedikit lagi. Lebih baik selesaiin aja, besok tinggal kumpulin.”kata Tino pada dirinya sendiri.
* * *
Jam 3 pagi.
“Yess..............!!! Tugas sekolah selesai. Besok tinggal ngumpulin.”kata Tino dengan girang. Ia pun mendekap gulingnya dan menarik selimutnya dan ia pun tertidur.
Jam 5 pagi.
“Tinoooooooooooo........., bangun donk, udah pagi, cepetan sholat subuh”teriak Aris sambil mengetuk pintu kamar Tino.
Didalam kamar, Tino masih mendekap gulingnya erat-erat. Kemudian Aris pun mencoba masuk kamar.
“Kalo loe nggak mau bangun, gue terpaksa masuk buat bangunin loe.”Kata Aris.
Aris pun masuk ke kamar Tino dan mencoba membuka pintu. Dia mengira kamarnya dikunci dan ternyata.
“Yee, gue kira kamar lo dikunci.(mungkin dia lupa menguncinya)”kata Aris sambil ia masuk ke kamar Tino.
“Tinoooooooooooooooo.........., bangun, cepat sholat subuh.”teriak Aris sembari mengguncang-guncang badan Tino.
“Apaan sih loe ris!!, ganggu orang tidur aja.!"celathu Tino sewot sambil merem.
“Bagus loe dibangunin malah sewot. Terserah loe deh, gue dah males bangunin loe.” Sahut Aris nggak kalah sewotnya dan langsung keluar dari kamar Tino.
dan GUBRAKKK..!!! pintu kamar Tino di banting oleh Aris.
“Woyyyyyyyyyyyyyyy! Nggak sopan banget sih jadi orang” Teriak Tino. Tino pun melanjutkan tidurnya yang baru beberapa jam.
Aris pun kembali ke kamarnya dan tidak sengaja melewati dapur. Di sana ia bertemu dengan Dito dan Tora.
“Ada apa loe, pagi-pagi muka udah kusut?” tanya Dito.
“Itu lho, temen loe, dasar anak manja nggak tau terima kasih bete gue ama dia,” sahut Aris dengan sewot.
“Loe juga sih, bangunin orang aja pake acara teriak-teriak segala, emang nggak ada cara lain?” lanjut Tora yang seketika itu buat telinga tino memanas karena merasa terpojok dan merasa niat baiknya tidak ada yang menghargai
“Kok loe malah nyalahin gue sih, bukannya belain atu ngehargain dikit, kok malah belain Tino.”jawab Aris sedih.
“Udah-udah pagi-pagi juga, udah ribut, mendingan loe, Aris mandi sana, entar soal mandi juga ribut.”Dito menengahi.
“Loe Tora, gi sana ke kamar loe atau ke tempat yang lain.”suruh Dito.
Jam 6 pagi.
“Woooooooooh, masih ngantuk nih, tadi ada apaan sih kok pada ribut-ribut kayak ada acara arisan gitu?”Ucap Tino tanpa dosa.
“Apa??? loe nggak tau kenapa ada ribut di rumah kost sepagi ini?” tanya Dito agak emosi.
“Ada apaan sih, bikin penasaran aja?” tanya Tino.
“Itu lho, loe tadikan dibangunin ama si Aris!” jawab Tora
“Ooooh, itu, kalo itu gue inget? Gue tadi nggak sengaja bentak-bentak Aris, dia sih teriak-teriak bikin orang kaget aja. Padahal gue kan baru tidur beberapa jam. Aduh Aris marah nggak ya ama gue?” celathu Toni.
“Tau tu, dia tadi kelihatan kusut banget mukanya.” sahut Tora sambil berdiri bersiap untuk sarapan.
“Udah ra, sarapan aja, ngomong sama si Tino nggak nyambung.” Suruh Dito sambil duduk untuk sarapan.
Toni pun ikut duduk bersama Tora dan Dito, ia pun ingin ikut sarapan bersama dengan mereka.
“Yeeee, loe ngapa ikut duduk, baru bangu tidur aja udah mau sarapan, ngerusak selera makan gue aja.” kata Dito dengan gemas.
“Iya nih, mandi dulu gi entar kalo udah kelar, baru sarapan.” suruh Tora denganmengangkat sendoknya.
Kemudian Toni pergi ke kamar mandi dan Tora dan Dito pun melanjutkan sarapan mereka. Ketika Dito dan Tora sedang asyik sarapan, keluarlah Aris dari kamarnya. Ia melewati mereka tanpa sedikitpun menyapa.
“Aris kenapa tuh, apa dia marah besar, bete ata kenapa?” Tanya Dito sambil melihat Aris yang berjalan keluar rumah kost.
“Tau ah, bodo amat.” Tora tak peduli.
* * *
Malam hari di rumah kost
Ketika Tino, Tora dan Dito sedang berkumpul menonton televisi, pulanglah Aris dari segala kegiatannya di luar. Dia melewati mereka tanpa menyapa, bahkan tidak menoleh sedikitpun. Ia langsung pergi menuju kamarnya, entah apa yang ia lakukan disana.
Sementara itu Tora,Dito dan Tino sedang bertanya-tanya ada apakah gerangan Aris hingga ia tidak menyapa sedikit pun. Mungkinkah ia semarah dan sejengkel itu?
“Woyyy, Aris kenapa tuh? Kesambet setan apaan tuh sampe kayak gitu?” cerocos Tora.
“Huss, nggak boleh gitu ah, dia kan teman kita” potong Dito. Sementara itu Toni pura-pura diam tidak tahu, tetapi didalam hatinya ia masih merasa bersalah kepada Aris sehingga Aris menjadi semarah itu.
“Kayaknya kita kudu minta maaf ama si Aris, nggak enakkan suasana kost kalo kayak gini terus, nanti bisa jadi perpecahan diantra kita. Kitakan sudah menganggap kita semua saudara.”Kata Dito mengajak Tora dan Tino.
“Lagian, harus ada yang mengalah, kalian mau kan minta maaf sama Aris?” tanya Dito.
Suasana pun menjadi hening seperti mengheningkan cipta. Mereka memikirkan kesalahan mereka masing-masing yang telah mereka lakukan kepada Aris. Kemudian Tora membubarkan suasana hening.
“Lagian elo sih ra pake acara nasehatin dia segala, dia kan jadi sakit hati tu.”cetus Toni sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
“Gue kan nggak sengaja bentak dia, kan gue lagi ada di alam bawah sadar.” lanjut Tino tanpa dosa.
“Yeee, capek deh, gue kan cuma bilangin kalo pagi-pagi tu jangan teriak-teriak, lagian kan nggak enak kalo di denger ama tetangga. Loe juga sih dibangunin tapi nggak mau bangun.” sahut Tora.
“Udah-udah jadi minta maaf nggak ni, kalian malah mau ribut lagi.” ajak Dito.
Sementara itu di dalam kamar Aris, Aris sedang menangis karena ia merasa teman-temannya jahat kepadanya. Ia menangis sambil tiduran sambil menatapa sebuah foto. Entah foto ibunya, pacarnya atau malah foto neneknya yang di Kalimantan.
“Tok-tok-tok-tok.” suara pintu kamar Aris diketuk
“Ris lho lagi apa, gi ngerjain tugas atau gi tidur (ups salah kan lagi nangis)?” tanya Tora dengan suara perlahan.
“Ra, loe mau minta maaf atau mau cari masalah lagi?” kata Dito dengan suara agak emosi.
“Ya maaf, gue tadi keceplosan, abiz tadi makan bakso ama sambel sih! Jadi gue mudah banget keceplosan.” celoteh Tora dengan perlahan.
“Trus apa hubungannya keceplosan, makan bakso pake sambel ama minta maaf am Aris?” tanya Tino dengan sedikit emosi.
“Ya nggak ada sih, tadi gue cuma iseng-iseng aja buat lelucon, biar pada tertawa, eh malah di marahi.”sahut Tora dengan malas.
“Udah buruan minta maaf.” suruh Dito
“Ris, kamu marah ya sama aku, aku minta maaf deh kemarin dah bentak-bentak kamu, padahal kamu kan berniat baik, eh malah gue yang sewot.” kata Tino menyesal.
Aris hanya diam saja seperti tak merespon perkataan-perkatan Tino. Dito dan Tora semakin merasa bersalah melihat sahabat mereka sedang sedih, namun mereka sendiri tidak bisa merasakan apa yang telah Aris rasakan.
“Ris, jika kami bersalah kepada kamu, atau ada kata-kata kami yang tak enak di hatimu, maafkanlah kami.” kata Dito memelas.
Kali ini Aris juga benar- benar tidak atau belum merespon perkataan mereka. Sepertinya masih ada yang mengganjal di hati Aris sehingga ia tidak menanggapi kata-kata Tino dan Dito. Aris hanya duduk dan menundukkan kepalanya, air matanya pun tak berhenti mengalir hingga matanya memerah bak darah segar.
“Gimana Ris, apa kamu maafin kami? Kalo kamu nggak mau maafin kami, nggak apa-apalah, toh kami juga yang bersalah.”seru Tora.
Aris pun mulai bergerak dan duduk dengan tenang. Sepertinya ia sudah membuka kembali hatinya dan akan memaafkan kesalahan teman-temannya.
“Aku juga minta maaf, mungkin aku juga yang bersalah kepada kalian, aku kemarin pagi udah teriak-teriak bangunin kamu, padahal kamukan masih capek ngerjain tugas kamu yang numpuk banyak banget.”kata Aris sambil memeluk Tino erat-erat.
“Enggak kok, kamu nggak salah, emang dasar aku aja yang manja, udah baik-baik dibangunin, malah aku nggak mau bangun. Sekali lagi aku minta maaf sama kamu.”kata Tino yang juga meneteskan air matanya karena ia sangat terharu.
“Maafin kita juga ya, kita kan juga punya salah sama kamu.”sahut Dito dan Tora bersamaan.
Aris pun semakin terharu mendengar pernyataan demi pernyataan sahabat - sahabat dalam satu rumah kost itu, dan Aris bangkit dari tempat tidur dan menatap wajah teman2 nya yang sedang harap-harap cemas menanti sebuah jawaban dari permintaan maaf mereka. Lama Aris menatap mereka mencari sebuah kejujuran dan ketulusan di mata mereka apakah mereka tulus dan jujur atas apa yang mereka katakan padanya barusan. Dalam hati Aris merasa terharu dan sangat bahagia serta bersyukur pada tuhan karena telah di pertemukan oleh orang-orang yang baik seperti mereka. Merekapun tersenyum bangga atas persahabatn yang sudah mereka jalin.
Persahabatan memang lebih indah dari apapun...,,,


Read More......

BOLOS, YUK!

BOLOS, YUK!

Sebuah tulisan seorang remaja yang masih mencari jati dirinya melalui pengalaman – pengalaman pertama dengan teman dan berbagai macam orang. Bukan puisi, bukan pantun ataupun lirik lagu. Hanya kata – kata yang sempat melintasi pikirannya dan dirangkai menjadi kalimat kemudian menjadi paragraf. Dan pada akhirnya berakhir menjadi sebuah cerita pendek yang berantakan........


Jum’at. Hari pendek dan nanggung banget buat sekolah. Mendingan tidur di rumah, terus dapet mimpi indah. Yang jelas bukan mimpi basah. Atau main dengan kucing tetangga sebelah. Begitulah ciri – ciri anak yang nggak nggenah. Tapi sayangnya aku nggak punya keberanian untuk bolos sekolah dan mendapatkan itu semua. Sampai tahun ini, kelas 8 SMP, pengalaman mangkir dari kelas yang kumiliki nol. Kadang ada yang iseng ngajak sih, tapi kutolak. Gimana ya, rasanya ada rasa was – was yang mendiami relung hatiku kalau aku bolos. Takut ketinggalan pelajaranlah, takut ketahuan guru terus dapet poin, atau perasaan bersalah karena nggak belajar dengan sungguh – sungguh seperti apa yang diharapkan orang tua. Ketakutan – ketakutan seperti itu terus terbayang dalam benakku dan selalu mengurungkan niatku untuk bolos.
Tapi sejujurnya, aku jenuh dan bosen banget menghadapi tuntutan materi pelajaran yang nggak ada habis – habisnya itu. Apalagi kalau guru yang ngajar itu mboseni banget, berbagai alasan muncul untuk nggak memperhatikan. Bisa-bisa aku masuk ke dunia lain sambil memejamkan mataku. Kalau misalnya aku dapet giliran jawab pertanyaan pas lagi molor, habislah sudah. Aku cuma bisa tanya Tya, teman semejaku, dan pastinya ketahuan sama guru, Pak Sururi misalnya, guru bahasa Inggris.
“Number 9. Who’s the next turn?” tanya Pak Sururi.
“Woi, Zi! Giliranmu! Nomer 9!” kata Tya membangunkan sekaligus meberitahuku yang masih sedikit linglung.
Gara – gara sering tidur di kelas pas pelajaran bahasa Inggris, nilai rapot semester 1 kelas 8 ini aku dapet 68, padahal nilai ulangan dan tesku nggak sejelek itu. Guru bahasa Inggris yang mboseni banget itu mungkin punya dendam pribadi gara – gara aku suka tidur di kelas. Salah sendiri cara ngajarnya menstimulasi sel – sel sarafku membawa impuls bertuliskan ‘tidur wae’. Sebenernya itu bukan murni kesalahanku, tapi salah sel saraf sensorikku yang membawa impuls ‘tidur wae’ itu.
Kembali ke topik semula mengenai hari Jum’at, pelajaran hari ini adalah matematika, seni musik, dan fisika. Untungnya nggak ada pelajaran bahasa Inggris yang hampir selalu membuatku bermimpi di tempat dudukku. Lagipula aku suka matematika dan fisika. Sejak SD aku memang lebih suka pelajaran eksak dibanding sosial atau bahasa. Tapi pelajaran tengah sebelum istirahat, seni musik, bener-bener mboseni. Nggak kalah mboseninya sama pelajaran bahasa Inggris. Apalagi tempat duduk di ruang musik nggak ada meja buat meletakkan kepala. Kalau mau nulis juga nggak enak. Keluar dari sana biasanya punggung pada pegel-pegel.
“Ini sudah semester 2. Materi yang belum dibahas masih banyak banget. Itu saja yang teori nggak saya bahas. Terus kalian mau gimana? Tes semester 2 sebentar lagi, lho?! Kita harus cepat mengejar waktu dan materi,” kata Pak Mariadi, guru seni musik. Perlu diketahui, ucapan dan tindakannya menurutku nggak begitu synchrone. Hampir setiap pertemuan bilang harus cepat mengejar materi, tapi pidatonya hampir sejam pelajaran, oi! Terus kalau bel jam pertama bunyi, “Nah, itu bel jam pertama sudah bunyi. Kita belum dapet apa – apa.”
Kalau di komik, tokohnya pasti langsung sweatdropped (mengeluarkan setetes keringat di dekat mata dan pipi) dan ada tulisan ‘TOENG’-nya.
“Heh, Pak Mariadi nyadar nggak sih kalau yang seharusnya cepet itu dia? Kita ketinggalan pelajaran kan gara – gara dia banyak ceramah!” bisik Tya. Wah... ternyata nggak cuma aku yang merasa Pak Mariadi itu nggak synchrone antara apa yang dikatakan dan dilakukan.
* * *
Di salah satu hari Jum’at di kelas 8 SMP, aku mendapat pengalaman pertamaku mangkir dari kelas alias bolos pelajaran. Yah... awalnya juga karena aku diajak sama 2 orang temanku. Yang jelas salah satunya bukan Tya. Maklumlah, dia kan rajin dan selalu memperhatikan. Nah, kalau temanku yang namanya Ria dan Adin, memang pernah bolos beberapa kali. Merekalah yang mengajakku.
Tujuan utama kami adalah UKS. Sebenernya lebih asyik kalau bolos ke kantin. Tapi kalau di kantin lebih gampang ketahuannya. Kalau pingin lebih aman lagi, bolos di perpustakaan. Tapi, masa sih mau bolos di perpus?
“Ya, bilang ke Pak Mariadi kalau kita bertiga nggak enak badan, di UKS! Ya? Please!?” kata Ria memohon pada Tya yang sedang bersiap – siap mengambil recorder dan buku seni musiknya.
“Kalau cuma itu sih, it’s OK! Tapi aku nggak tanggung ya kalau misalnya kalian ketahuan bolos,” jawab Tya.
“Siip,” jawab Ria dan Adin secara bersamaan.
Kami berempat berjalan bersama menuju bagian selatan sekolah di mana ruang musik berada. Tapi aku, Ria, dan Adin berhenti di UKS. Adin mengingatkan kembali agar Tya bilang ke Pak Mariadi sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
Buatku yang baru pertama kali bolos cuma bisa ikut – ikutan. Jantungku berdegup kencang memikirkan apa yang akan terjadi nanti dan apa yang akan kita lakukan selama 2 jam pelajaran seni musik atau sekitar 80 menitan. Rasa takut akan ketahuan sebenarnya terus menghantuiku. Tapi, demi mendapatkan sebuah pengalaman berharga, bolos sekali-kali nggak apa kan?
Lagipula aku bosen menjalani kehidupan sekolah yang statis ini. Duduk di kelas memperhatikan guru, mencatat materi pelajaran, latihan soal, dan akhirnya ulangan. Kehidupanku di sekolah sehari – hari selalu saja seperti itu. Kalau pelajaran itu menarik bagiku sih, it’s OK untuk tetap bertahan di kelas. Tapi untuk pelajaran yang nggak asyik, seni musik misalnya, kelas membuat tingkat kejenuhan dalam otakku meningkat drastis. Untuk pelajaran yang seperti itu, boro – boro mudheng apa yang diterangkan, bertahan untuk tetap menutup mulut agar tidak menguap alias angop saja susahnya minta ampun.
Nah, kembali ke acara bolosku di UKS.
“Kalau bolos, biasanya ngapain?” tanyaku pada kedua orang temanku.
“Macem – macem, Zi! Yang jelas dan selalu kita lakukan sih nggosip. Ya kan, Din?” jawab Ria yang kemudian melemparkan pertanyaan pada si Adin.
“Yep! Pokoknya asyiklah!”
Dan waktu pun terus berjalan. Beberapa guru melintasi UKS ke atau dari perpus. Soalnya di UKS ada 2 pintu ke depan (kantor guru) dan belakang (lapangan dan perpustakaan). Beberapa dari mereka tanya ’sedang apa’, dan beberapa yang lain hanya tersenyum.
Di UKS, kami bertiga hanya nggosip ke sana ke mari. Dari mulai teman sekelas, tetangga kelas, adik kelas, kakak kelas, bahkan guru – guru dan petugas perpustakaan turut serta menjadi bahan perbincangan kami. Mulai cowok ganteng, pasangan baru di sekolah, kejadian – kejadian lucu dan menyebalkan, juga guru – guru killer, guru TIK contohnya.
Satu kejadian unik yang terus kuingat adalah saat aku, Ria, dan Adin melihat di luar jendela Pak Sururi yang sedang melakukan skipping sambil mendedangkan sebuah lagu.
“Siang – siang panas gini skipping? Sambil nyanyi lagi!” komentar Ria. Yah … menurutku Pak Sururi memang aneh.
Setelah beberapa kali membicarakan berbagai gossip yang sedang hot, bel istirahat akhirnya berbunyi. Pelajaran musik dan acara membolos kami juga berakhir sampai di sini. Teman – teman sekelas dari ruang seni musik, termasuk Tya, melintas melewati depan UKS. Kami bertiga juga ikut masuk ke dalam rombongan dan menuju ke kelas.
“Heh, Zi, tadi Pak Mariyadi tanya lho. Terus dia tahu kalau kamu, Ria, sama Adin bolos di UKS,” kata Tya memberi info.
“Terus gimana?” tanyaku. Sedikit khawatir.
“Ya... nggak gimana – gimana sih. Ceramahnya juga panjang seperti biasa. Mungkin pertemuan minggu depan dia baru bertindak mengenai hal ini,” jawab Tya.
“Oh..,” kataku sambil mendesah. Kemudian menghela nafas panjang. Rasa khawatir mulai berkecamuk dalam hatiku. Pengalaman bolosku yang pertama ternyata ketahuan. Entah suatu kesialan atau justru keuntungan bagiku yang memang cari pengalaman. Yah... lihat saja nanti minggu depan. Kira – kira apa ya yang akan dilakukan Pak Mariyadi? Perasaan berdebar – debar memenuhi hatiku.
* * *
Jum’at pagi minggu berikutnya. Hari yang membuatku berdebar – debar menanti apa yang akan terjadi nanti di pelajaran seni musik. Satu pengalaman kudapat lagi. Hari ini aku telat.
Memang banyak siswa yang telat di hari Jum’at ini. Soalnya setiap hari Jum’at ada senam pagi di sekolah dan masuk pukul 6.30. Dan hari ini, sialnya aku bangun jam 6 pagi. Mandi 15 menit. Aku harus menyiapkan buku pelajaran selama 10 menit, soalnya tadi malam aku males banget. Belum lagi sarapan yang berlangsung selama 10 menit. Dasarnya sudah telat 5 menit waktu berangkat dari rumah, jalan 10 menit membuatku telat 15 menit dan tertahan di depan gerbang. Petugas kedisiplinan dari OSIS menanyai dan menarik buku tata tertib alias buku poin siswa yang telat. Sudah ada 10 poin di bukuku gara – gara telat 2 kali, sekarang harus tambah lagi 5 menjadi 15. Dan lagi-lagi itu karena telat.
Setelah menyerahkan buku tata tertibku, aku segera berlari menuju kelas melewati ‘gang senggol’, gang kecil di antara ruang guru dan tata usaha yang jika 2 orang berpapasan maka akan bersenggolan. Setelah meletakkan tas di tempat dudukku dan memakai baju olah raga, aku segera berlari menuju lapangan untuk mengikuti senam yang sudah memasuki gerakan inti, hampir pendinginan.
“Telat ya, Zi?” tanya Dana, salah satu temanku yang paling heboh di kelas.
“Yah... seperti biasa, bangun kesiangan,” jawabku santai. Kalau soal telat sih aku sudah biasa. Sudah tidak ada lagi perasaan takut atau khawatir karena poin – poin yang menghiasi buku tata tertibku. Biar rumahku dekat, tapi aku sering bangun kesiangan. Frekuensi telatku lebih banyak dari Dana yang rumahnya jauh dan harus naik sepeda 20 menit.
Yang masih terus membuatku khawatir adalah mengenai apa yang akan terjadi di pelajaran seni musik nanti. Apa Pak Mariyadi akan memberi kami poin atau memberi kami sanksi yang lain. Atau akan memarahi kami habis – habisan. Atau yang paling parah melarang kami mengikuti pelajarannya dan tidak memberi kami nilai. Kalau misalnya Pak Mariyadi memberiku poin, maka itu tidak perlu ditakutkan lagi. Buku tata tertibku kan sedang ditahan seksi kedisiplinan OSIS gara – gara telat.
Yang paling menakutkan tentu saja larangan untuk tidak mengikuti pelajarannya dan tidak diberi nilai. Asal tahu saja, biar nggak bisa nyanyi atau main alat musik, nilai teori seni musikku selalu di atas sembilan dan itu membantuku memperbaiki nilai praktekku yang biasa – biasa saja.
Kini pelajaran matematika yang kusuka sedang berlangsung. Pak Tri, guru matematika, sedang memberi kami beberapa soal tantangan mengenai bangun ruang. Guru yang satu ini memang bisa menarik minat para siswa dengan soal – soal menantang yang selalu membuat penasaran akan jawaban dan cara pemecahannya. Rasa penasaranku akan soal – soal yang diberikan oleh Pak Tri membuatku melupakan kekhawatiranku akan pelajaran seni musik nanti.
“Yang bisa mengerjakan soal nomer 5 beserta caranya, nilainya akan saya tambah 1 untuk ulangan harian bab yang lalu,” kata Pak Tri memberi semangat pada siswa-siswa.
Tanganku sibuk menggambar dan menghubungkan garis – garis yang membentuk bangun 3D berupa limas segi enam. Otak dan mataku sibuk berkutik dengan angka – angkanya. Beberapa kali aku menemui jalan buntu. Tapi aku tidak menyerah. Aku ingin menambah 1 nilaiku untuk ulangan bab yang lalu agar bisa menjadi nilai 10 sempurna.
“TEET...TEET...,” bel berbunyi 2 kali. Menandakan pelajaran berganti.
“Belum ada yang bisa menyelesaikan soal nomer 5, dan tambahan nilai 1 dibatalkan,” kata Pak Tri sambil menata bukunya untuk dibawa keluar. “Untuk PR, LKS halaman 28.”
“Yah.......” keluh semua siswa.
“Beri salam!” kata Pami, si ketua kelas memberi instruksi.
“Slamat pagi, Pak!”
“Slamat pagi,” jawab Pak Tri, kemudian keluar menuju ke arah ruang guru.
Kami pun segera bersiap – siap menuju ruang musik. Akhirnya datang juga. Memasuki ruang musik membutaku sedikit berdebar – debar menanti apa yang akan terjadi di sana.
“Beri salam!”
“Slamat pagi, Pak!” kami memberi salam kepada Pak Mariyadi dengan suara yang lebih tegas daripada salam yang kami berikan pada Pak Tri. Katanya musik harus bisa mengeluarkan suara yang tegas.
“Slamat pagi! Nah, buat Adin, Nazihah, dan Ria yang nggak ikut pelajaran minggu lalu, harap mengemukakan alasannya,” kata Pak Mariyadi di awal pelajaran.
Adin dan Ria sudah mengemukakan alasannya. Kini tibalah giliranku. Nggak seperti pas pelajaran bahasa Inggris, aku tidak tidur saat giliranku tiba.
“Hari itu lagi males ikut pelajaran,” jawabku singkat. Yah… karena Pak Mariyadi sudah tahu kalau kami bolos, mending bilang aja terus terang, begitu pikirku.
“Ya sudah. Pertemuan mendatang kalian harus menyerahkan surat pernyataan untuk tidak mengulangi hal yang sama dengan disertai tanda tangan orang tua!” kata Pak Mariyadi.
Sementara ia sibuk dengan ceramah panjangnya, pikiranku melayang – layang membayangkan bagaimana aku harus membuat surat pernyataan. Sebenarnya bukan hal sulit, tapi kalau harus ditandatangani orang tua… gimana ya? Berarti aku harus bilang ke, paling tidak, ibuku bahwa aku pernah bolos sekali. Sementara aku nggak ingin membuat orang tuaku kecewa. Apa yang harus aku lakukan? Seperti minggu lalu, pikiranku dipenuhi akan hal – hal yang masih tetap berhubungan dengan acara bolosku yang pertama.
* * *
Jum’at datang lagi. Masih berhubungan dengan acara bolosku.
Jum’at ini aku nggak telat. Meskipun bel langsung berbunyi begitu aku meletakkan tas, aku masih bisa mengikuti senam pagi. Untung Jum’at ini aku nggak telat, soalnya mereka yang telat harus memunguti sampah di lapangan begitu senam pagi selesai.
Mengenai surat pernyataan itu, aku sudah membuatnya tadi malam. Ada sekitar 5 lembar kertas yang kubuang karena gagal meniru tanda tangan ibuku. Capek dengan urusan tanda tangan, kubuat saja seasalnya. Toh Pak Mariyadi juga nggak tahu bagaimana wujud sebenarnya tanda tangan ibuku. Surat pernyataan itu kumasukkan ke dalam amplop berukuran 95 x 152 mm berwarna putih dan kurekatkan dengan lemnya. Kemudian kuselipkan ke dalam buku seni musikku.
Seperti hari Jum’at yang biasanya, kami segera bergegas menuju ruang musik setelah Pak Tri keuar dari kelas. Semua bergerak cepat menuju ruang musik untuk mendapatkan tempat duduk terbaik. Dan seperti biasanya lagi, Pak Mariyadi memulai pelajarannya dengan ceramah panjang lebar tanpa sedikit pun membahas mengenai aku, Adin, dan Ria yang membolos 2 minggu lalu dan juga mengenai surat pernyataan yang telah kuganti sebanyak 5 kali dalam semalam.
Begitulah akhir dari serangkaian acara bolosku. Surat pernyataan itu masih tetap tersimpan di dalam buku seni musikku bersama catatan – catatan not balok, lirik lagu dan akor – akor yang memusingkan. Pengalaman pertamaku bolos membuatku mendapatkan keberanian untuk membolos di kesempatan – kesempatan berikutnya, tapi tidak untuk pelajaran seni musik. Juga memberitahuku bagaimana alasan yang harus dibuat saat harus membolos, tipe guru seperti apa yang gampang diajak kompromi soal hal ini, serta tempat paling nyaman untuk membolos. Dan memberitahuku betapa asyiknya menghirup udara di luar kelas saat tingkat kejenuhan otak meningkat dan hampir menjebolkan parameter kejenuhan.
* * *
By: Nazihah
(neutral girl)


Read More......

Awal dari Sebuah Peraturan

Awal dari Sebuah Peraturan

Hari Sabtu, aku sampai di rumah jam 2. Walaupun perut terasa lapar, capek, dan gerah, tapi aku senang. Murid mana yang tidak merasa senang di Hari Sabtu? Bagi mereka yang nge-kost Hari Sabtu mereka gunakan untuk mudik, berkumpul bersama keluarga. Bagi mereka yang suka baca buku, novel, atau komik, pada Hari Sabtu mereka gunakan untuk menjawab rasa penasaran mereka. Bagi mereka yang suka bermalas-malasan di Hari Sabtu ya.. untuk apalagi kalau bukan untuk lebih bermalas-malasan. Nah, bagi mereka yang mempunyai pasangan alias pacar, Hari Sabtu merupakan hari ysng ditunggu-tunggu. Menunggu malam mingguan, menunggu pacar, atau menunggu jemputan. Terserah apa jadwal mereka masing-masing......


Namun bagi aku di setiap Hari Sabtu aku menginginkan mendapatkan sebuah kisah atau pengalaman yang dapat diambil nilai-nilai moralnya. Demi mendapatkan sebuah pengalaman, aku pernah nongkrong di emperan toko dekat patung W.R. Soepratman. Aku duduk sendirian di sana, memandang sekeliling. Di situ aku melihat di seberang jalan sana ada seorang anak tunanetra memakai seragam pramuka. Di berjalan perlahan-lahan dengan terus menggerakkan tongkatnya. Sampai di depan penjual jajanan, anak tunanetra itu ditarik tangannya. Kemudian ia pun duduk di sebuah bangku. Si penjual tadi memberinya satu gelas besar minuman teh. Heran aku melihat anak tunanetra itu. Ia langsung meminum teh yang diberikan sampai habis. Segelas besar minuman teh itu seketika langsung habis. Aku tak dapat membayangkan apabila aku yang meminum segelas besar minuman teh langsung habis seperti anak itu. Benar-benar sangat takjub. Mungkin anak itu merasa sangat kehausan karena dari tadi berjalan. Kasihan sekali. Lalu anak tunanetra itu berjalan lagi. Baru beberapa langkah ia langsung digandeng seorang bapak. Aku sempat berfikir apa yang akan dilakukan oleh bapak yang menggandeng tangannya? Ternyata ia hanya menyebrangkan anak tunanetra itu. Sungguh mulia. Ternyata Tuhan memang benar-benar adil terhadap makhluk-Nya.
Tidak lama kemudian seorang pemulung wanita tua duduk di sebelahku. Aku terus melihat apa yang dia lakukan. Sepertinya ia juga merasa sangat lelah. Orang setua ini mengapa harus tetap bekerja? Demi mencukupi kebutuhan hidupnya, wanita tua ini setiap harinya harus mencari barang-barang yang tidak layak pakai, bahkan barang yang semestinya harus dibuang. Tidak tanggung-tanggung ukuran wadah yang ia gunakan. Satu karung beras yang sangat besar, mungkin lebih besar dibandingkan tubuhnya yang sudah mulai mengkerut dan menjadi kecil yang setiap hari harus menggendongnya. Dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung, dari kota ke desa ia telusuri pekarangannya, mengais barang-barang yang tidak berguna untuk orang lain namun sangat berguna untuk dirinya. Seharusnya orang setua ini tidak layak untuk merasakan kerasnya dunia. Sebaiknya ia tinggal di rumah saja, atau mencari bekal untuk kehidupannya kelak. Sungguh kasihan.
Terlihat ia duduk sambil mengipas-ngipaskan selendang lusuh yang setiap hari ia gunakan. Memang hari itu terasa panas. Ia mengeluarkan sebotol minuman teh yang hampir habis, dan 2 buah pisang rebus dari dalam karung berasnya. Sempat ia menawariku namun ku tolak. Meskipun sebenarnya aku sendiri juga merasa haus, namun wanita tua ini pasti merasa lebih haus.
“ Pulang mana, Nak ? “ tanyanya.
“ Cangkrep, Bu. “ jawabku.
“ O.... lalu apa yang sedang ditunggu? “
“ Saya menunggu jemputan.” jawabku lagi.
Sebenarnya sadar atau tidak jawabanku tadi. Aku tidak mersa membuat janji dengan orang tuaku, juga bukan dengan temanku, juga bukan dengan siapa-siapa. Tapi mengapa aku menjawab aku menunggu jemputan? Mungkin aku ini sudah terlalu banyak berbohong. Berbohong untuk hal positif pastinya. Tak apalah.
Wanita tua itu menceritakan kerasnya hidup yang yang ia alami. Dari mulai jadi kuli, buruh, dan pemulung. Dari mulai dicaci, direndahkan, tidak dihargai ia jalani. Tak kenal apa itu mengeluh dan putus asa itu prinsipnya. Ia juga bercerita tentang anak-anaknya. Terlihat raut wajah yang senang dan bangga. Kini anak-anak kebanggaannya telah menjadi orang sukses.
“ Lalu mengapa ibu tetap saja bekerja? “ tanyaku.
“ Saya ini tidak pernah ingin menjadi orang yang berhenti untuk bekerja. Walaupun anak-anak saya sudah sukses, saya tidak ingin menjadi beban mereka. Mereka berhasil saya juga ikut senang. Ya….selagi masih bisa bekerja, Nak ibu ingin tetap bekerja. “ kata ibu tadi.
Mendengar apa yang dikatakannya seakan-akan pikiranku terbuka. Namun aku tidak dapat mengungkapkannya. Hanya senyum yang aku berikan untuk membalas apa yang wanita tua ini ceritakan.
Dari arah barat terlihat sebuah bus.
“ Bu, saya permisi mau pulang.” kata pamitanku.
“ Lho, Nak katanya dijemput? “
“ Sepertinya orang tua saya lupa untuk menjemput saya.”
“ Lalu mau pulang naik apa? “
“ Naik bus itu.”
“Kalau begitu hati-hati.”
“ Ya Bu.” jawabku.
Aku berdiri di sisi jalan sambil melambaikan tanganku. Wanita tua yang sedang duduk itu pun juga ikut melambaikan tangannya, agar bus berhenti tepat di depanku. Ku berikan senyum sekali lagi dan aku naik bus untuk pulang.
Sebenarnya jarak rumahku tidak terlalu jauh apabila ditempuh dengan bus. Cukup 10 menit saja. Di pejalanan aku terus dibayangi oleh sikap orang-orang terhadap anak tunanetra itu dan perkataan wanita tua tadi. Pengalaman hidup dari orang lain yang aku dapat membuatku menjadi bertambah dewasa. Satu hal yang aku sesalkan sampai saat ini. Mengapa aku tidak memberikan sedikit uangku pada wanita itu? Padahal aku masih punya beberapa uang sisa uang jajanku. Aku berharap dapat bertemu dangannya lagi. Sayangnya sampai sekarang aku tidak pernah melihatnya. Sungguh aku merasa menyesal.
Aku selalu menceritakan apa yang aku dapat pada ibuku. Termasuk hal ini. Ibuku juga memberi nasehat kepadaku, agar selalu menjadi orang yang bersyukur atas apapun yang telah Tuhan berikan.
Tapi apa kisah atau pengalaman yang aku dapat hari ini? Tadi di sekolah biasa saja. Bertemu teman, pelajaran, bingung, capek, pusing, dan lapar sudah biasa. Tiba-tiba mataku tertuju pada handphone yang sedari tadi pagi aku charge. Aku langsung mengambil handphoneku. Ternyata ada pesan dari kakak sepupuku.
“ Met siang.... Lagi apa? Bagaimana kabarnya? “
Kakak sepupuku ini panggilannya Mas Adi. Dia bekerja di Pabrik Astra di Karawang. Aku dengan Mas Adi memang agak dekat, karena dia sering cerita, berbagi pengalaman, dan hal-hal lain yang membuat aku iri sepeti ia menjadi karyawan senior, pernah mendapat setifikat The Best, dan ia dikenal karyawan yang paling berkompeten oleh bosnya. Hal ini yang membuat aku iri. Bagaimana caranya aku bisa seperti kakakku? Menjadi seseorang yang berkompeten, yang bisa diandalkan. Setiap ada masalah di pabrik, ia yang turun tangan. Katanya mencari kepercayaan itu susah. Iya, memang.
Aku membalas pesan itu.
“ Met siang juga mas, adik baru saja pulang dari sekolah, kabar adik baik, kabar Mas sendiri? “ kata pesan singkatku.
Tak beberapa lama pesan terkirim. Alat charge aku cabut dari stop contact, dan handphone aku letakkan lagi. Sambil brganti pakaian aku berfikir, bukankah Mas Adi sedang bekerja di pabrik? Karena ia biasanya pulang jam 8 malam. Cepat-cepat aku mengambil handphoneku.
“ Maaf mas, ganggu kerja ya... “ pesan aku kirim kembali.
Aku takut sekali kalau pesanku mengganggu bekerja. Tak lama kemudia Mas Adi membalas pesanku.
“ Kabar mas juga baik. Tidak kok, tidak mengganggu sama sekali. Adik baru pulang ya... pasti capek n’ lapar. Kalau gitu, makan siang dulu sana...! “
Aku terkejut Mas Adi tidak merasa terganggu sama sekali. Apakah karena dia sudah diandalkan, dan dia dibiarkan begitu saja? Ah.... tidak mungkin. Yang namanya peraturan semua karyawan harus memaihunya, termasuk Mas Adi.
“ Lho kok bisa Mas? Memangnya tidak dimarahi sama bos? “ aku kirim kembali pesanku karena aku masih penasaran.
“ Masih tidak percaya? Dulunya memang tidak boleh mengaktifkan handphone saat bekerja kecuali jam istirahat. Tapi setelah ada kejadian yang fatal yang merugikan salah satu pihak, maka peraturan diubah boleh mengaktifkan handphone namun hanya sebatas mengirim pesan. Gimana? Masih tidak percaya? “ jawaban dari Mas Adi.
“ Iya adik percaya. Tadi katanya peraturan itu diubah karena pernah ada kejadian fatal yang merugikan salah satu pihak. Kejadiannya seperti apa? “ tanyaku.
Tidak sampai satu menit, Mas Adi sudah membalas pesan dariku.
“ Bukannya kamu sendiri tahu kejadiannya, Dik. Saat itu kamu msaih SMP. Liburan semester kamu main ke rumahku, kamu ingat? “ tanya Mas Adi.
Lantas aku mengingat-ingat. Liburan semester SMP kelas VIII memang aku berlibur di tempat bibiku di Bekasi. Di sana aku satu minggu. Lalu cerita apa yang dimaksud Mas Adi?
Aku terus berfikir. Membuka-buka album memoriku. Tetap aku tidak menemukannya. Dan aku terus membuka. Sampai akhirnya aku menemukan cerita yang dimaksud Mas Adi.
Handphone aku letakkan kembali di meja. Aku baringkan tubuhku dengan santai. Sambil terus mengingat cerita itu lebih jelas.

* * *

Ketika seorang ibu menggantikan peran sebagai ayah untuk anak-anaknya. Ayah telah pergi untuk selamanya. Meninggalkan semua perih, luka, lara, dan kesulitan dikemudian hari yang terus membayang-bayangi. Seorang ibu harus berjuang mati-matian sebagai tulang punggung sekaligus kepala keluarga. Tak kenal lelah, dan tak kenal waktu. Demi meneruskan perjuangan suami yang telah tiada, dan demi kebahagiaan keluarga. Seorang ibu berani bertaruh nyawa demi semuanya.
Maka layaklah seseorang berkata bahwa surga ada di telapak kaki ibu. Sembilan bulan sepuluh hari atau 280 hari atau 6720 jam seseorang anak ada dalam kandungan ibu. Berharap bahwa anak tersebut mendatangkan kebahagiaan. Kelahiran sang anak membuat ibu bahagia. Merawat dan menyayanginya, mencurahkan cinta dan kasih sayangnya, semua hanya untuk buah hati yang masih suci.
Rasa cinta dan kasih sayang itu terus tercurah untuk selamanya. Hingga menjadikan seorang anak tahu akan balas budi yang harus dilakukan. Akan tetapi sekali lagi bahwa layaklah seseorang berkata sebesar apapun balas budi yang diberikan untuk ibu belum dapat membayar sedikit pun dangan kasih sayang dan cinta seorang ibu. Ibarat kebaikan itu belum ada bandingannya dengan setitik kotoran dalam kuku ibu.
Luar biasa kasih sayangnya. Berbekal tekad yang kuat agar si anak dapat hidup bahagia melebihi kebahagiaannya. Baik itu di dunia maupun di akherat kelak.
Ibu tidak berjuang sendiri. Ada ayah yang juga memberikan kasih sayang dan cinta kepada anaknya. Tapi apabila ayah telah tiada, ibu harus berjuang sendiri demi anak-anaknya. Padahal semakin hari angin semakin kering, panas semakin menyangat, dan peluh mengalir kemana-mana. Tak bisa yang dapat diandalkan selain ibu. Segalanya ibu, tulang punggung dan kepala keluarga.
Menjerit dalam hati. Berharap bagaimana agar semuanya dapat berubah. Namun tak pernah sedikitpun terlintas di pikiran untuk mencari pengganti ayah. Cintanya hanya untuk keluarga, meskipun ada yang telah tiada. Sampai akhir hayat cinta dan kasihnya hanya untuk keluarga.
Sampai suatu saat ia putuskan untuk beristirahat, karena tubuh ini sudah tidak mampu seperti dulu. Kini anak-anaknya telah menjadi orang sukses dan mereka masing-masing telah memilki keluarga, dan hidup bersama keluarganya.
Tinggal si bungsu. Ia tidak berniat meninggalkan ibunya seperti kakak-kakaknya. Rencananya apabila ia telah mempunyai istri ia akan tetap tinggal bersama ibunya. Kasihan apabila ibu sendiri, apalagi kini ia sudah terlalu tua dan sakit-sakitan.
Si bungsu bernama Arman. Rumahnya berada di sebelah rumah bibku. Ia juga bekerja di Pabrik Astra, ia teman Mas Adi.
Kata Mas Adi, Mas Arman selalu menitipkan ibunya ke bibi kalau ia sedang bekarja. Ya... sekedar untuk mengawat-awati jika terjadi sesuatu dengan ibunya.Mas Adi juga bercerita kalau sudah lima hari ini Mas Arman tidak berangkat bekerja karena sakit.
Sore itu aku duduk santai, membaca majalah di teras rumah bibiku. Arah pandanganku tertuju pada teras rumah Mas Arman. Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Seorang keluar dari dalam.seorang anak muda seumuran Mas Adi. Apa dia yang bernama Mas Arman? Aku tidak tahu pasti karena aku memang belum pernah bertemu dengannya.
Setelah ia keluar dari dalam, ia melihat melihat ke sekeliling. Aku terus melihatnya. Melihat apa yang akan ia lakukan. Ia menegurku dengan senyum. Aku terkejut. Seketika aku membalas senyumannya.
Teras rumah bibiku dengan teras rumah pemuda itu memang berdekatan, hanya dibatasi oleh tembok yang tidak terlalu tinggi. Karena itu, pemuda itu kemudian mendekatiku.
“ Adik saudaranya Adi ya...? “ tanya pemuda itu.
“ Iya..... “ jawabku.
“ Dari mana? Dari Jawa? ”
Aku membalas dengan senyum dan mengangguk.
“ O....liburan ya? Berapa hari? “
“ Dua minggu “
“ Wah, lumayan lama juga ya...”
“ Iya “
“ Man... Man.... “ panggil seseorang dari dalam, suaranya begitu lemah.
“ Iya Bu… “ kata pemuda itu yang memiliki panggilan Man. “ Maaf saya harus masuk. Sepertinya ibu memenggil saya. “ kata Man.
“ Oh… iya “jawabku.
Pemuda itu masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru.
Man? Apa pemuda itu yang bernama Mas Arman? Dan suara dari dalam yang lemah itu apa mungkin itu ibunya? Kemungkinan besar itu benar. Tapi tunggu, kata Mas Adi beberapa hari ini Mas Arman tidak masuk bekerja karena sakit. Nah, pemuda yang kemungkinan bernama Mas Arman ini sama sekali tidak nampak seperti orang sakit. Di terlihat sehat-sehat saja. Ah, mungkin itu saudaranya. Entah siapa namanya? Aku masih tetap penasaran.
Malam hari sekitar pukul 20.30 Mas Adi pulang dari pabrik. Terlihat ia sangat lelah. Ketika selesai berganti pakaian, aku bertanya tentang pemuda yang memiliki panggilan Man itu.
“ Mas “
“ Ada apa? “ tanya Mas Adi sambil menuju ke sofa.
“Rumah sebelah itu memangnya ditinggali oleh siapa saja? “ tanyaku juga sambil menyusul ke sofa.
“ Rumah sebelah yang mana? “
“ Itu yang katanya ibunya suka dititipkan ke bibi kalau anaknya lagi kerja. “
“ Oh... Di sana hanya ada seorang ibu dan anak bungsunya. “
“ Anaknya itu bernama Arman? “
“ Iya “
“ Ada nggak orang lain atau saudara mereka yang tinggal di sana? “
“ Tidak ada hanya mereka berdua. Ada apa sih? “
“ Tadi sore aku ketemu dengan Arman. “
“ O...ya? “ tanya Mas Adi tidak percaya.
Aku mengangguk.
“ Padahal selama ia ijin tidak masuk kerja, aku tidak pernah melihatnya. Aku pikir sakitnya lumayan parah. “
“ Mas yakin kalau dia sakit? “
“ Yakin “
“ Tadi sore ketika aku melihatnya ia sehat-sehat saja. “
“ Mungkin sudah sembuh. “
“ Ya, bisa juga sih…” jawabku agak ragu-ragu.
Malam hari, aku belum juga dapat tertidur. Udara sangat panas. Kebetulan tembok rumah kamar yang aku tempati bersebelahan dengan tembok rumah Mas Arman. Samar-samar aku mendengar percakapan Mas Arman dengan ibunya.
“ Man... “ seorang dengan suara lemah itu lagi memanggil Mas Arman.
“ Ada apa, bu? “jawab Mas Arman.
“ Sudah lima hari kamu tidak berangkat bekerja. “
“ Iya, ibu tidak usah khawatir. “
“ Kalau Adi tahu sebenarnya kamu tidak sakit, itu akan menjadi masalah buat kamu.“
“ Bu, pokoknya ibu tenang saja. Adi teman baik Arman. Jadi tidak mungkin dia membiarkan temannya dalam kesulitan. “
“ Man, sebaiknya besok kamu masuk kerja saja. Lagi pula keadaan ibu juga sudah lebih baik dari pada hari-hari kemaren. “
“ Ya, nanti Arman pikirkan lagi Bu... “
Percakapan itu sudah tidak terdengar lagi.
Ternyata Mas Arman izin tidak masuk kerja bukan karena sakit tapi ibunya yang sakit. Nampaknya Mas Arman sangat sayang pada ibunya. Sampai dibela-belakan tidak masuk bekerja dengan alasan sakit, padahal yang sakit itu ibunya. Ia tidak tega melihat ibunya terus-menerus sakit-sakitan. Makanya ia lebih mengutamakan ibunya dibanding pekerjaannya.
Malam itu aku keluar menuju teras lagi. Aku berniat mencari udara sejuk, tidak panas dan kering. Aku menuju teras duduk di salah satu kursi. Aku menoleh ke teras rumah Mas Arman. Lagi-lagi pintu terbuka, dan keluar Mas Arman. Ia juga duduk di kursi.aku terus melihatnya. Aku tidak tahu apakah ia tahu kalau aku terus melihatnya. Lalu ia berkata sesuatu.
“ Bagaimana jalan keluarnya? Ibu terus-menerus sakit, cuti juga belum ditanda tangani bos. Kalau aku terus-menerus izin dengan alasan sakit, pasti bakal membuat curiga. Sebenarnya masih ada dua hari lagi izinku. Dan sepertinya keadaan ibu juga sudah lebih baik dari pada hari-hari sebelumnya, jadi mungkin aku besok bisa mulai masuk bekerja seperti biasa. “
Ia menarik nafas panjang kemudian menyebut-nyebut nama seseorang.
“ Dinda… Dinda, kamu sabar ya, suatu saat nanti aku akan menepati janjiku untuk memperkenalkan kamu dengan ibuku. Ibu pasti senang punya calon menantu seperti kamu.“
Aku terkejut saat ada seseorang yang meanggilku dari belakang.
“ Hey !!! “
Aku menoleh cepat. Ternyata Mas Adi. Dia memang sering membuat orang merasa kesal.
“ Ayo tidur, sudah malam. “
“ Bisa nggak sih, nggak ngagetin orang! “ kataku sambil berdiri dan masuk ke dalam.
“ Begitu saja kaget. “ kata Mas Adi yang sedang mengunci pintu.
Pagi harinya ada seseorang mengetuk pintu. Aku membukanya.
“ Pagi Dik... “ sapa Mas Arman.
“ Pagi juga Mas... “ jawabku.
“ Bibi ada? “
“ Oh.. ada. “
Belum juga aku panggil, bibi sudah keluar.
“ Bu, saya titip ibu. “
“ Lho, katanya kamu sakit? Sudah sembuh? “ tanya bibi.
“ Sudah Bu. “ jawab Mas Arman.
Mas Adi juga menyusul keluar. Ia siap bekerja seperti biasa.
“ Udah sembuh kamu Man? “ tanya Mas Adi.
“ Udah “ jawab Mas Arman.
“ Tuh kan, apa aku bilang? “ kata Mas Adi kepadaku.
“ Iya, aku tahu! “ jawabku agak kesal, gara-gara semalam Mas Adi mengagetkanku. Jelas-jelas sedang asyik melihat orang sedang jatuh cinta malah diganggu.
“ Kalau begitu kami berangkat dulu. “ kata Mas Adi.
“ Hati-hati “ kata bibi.
Mereka berdua berangkat dengan naik motor.
Hari ini bbibiku kembali menjaga ibunya Mas Arman. Persis seperti seorang anak dangan ibunya. Bagaimana tidak? Semua perlengkapannya bibiku yang menyediakan. Seperti saja mengepel badan, menyuapi makan, menyediakan obat. Mungkin apa yang dilakukan bibiku ke ibunya Mas Arman melebihi apa yang dilakukan oleh anak-anaknya sendiri kepadanya. Akan tetapi bibiku tulus melakukannya. Kasihan sekali, wanita setua ini mangapa harus ditinggal sendiri oleh anak-anaknya? Apalagi ia sekarang sedang sakit-sakitan.
Setiba di pabrik, Mas Adi dan Mas Arman langsung menuju ke pekerjaan mereka. Mereka berdua sama-sama bekerja di bagian operator mesin.
“ Man, kata adik sepupuku kemaren siang kamu sempet ketamu sama dia ya? “ tanya Mas Adi.
“ Iya, memang aku sempat ngobrol. Soalnya pas aku keluar dari dalam rumah, kok melihat ada cewek di depan rumah kamu. Aku kira pacar kamu. Setelah aku dekati ternyata adik kamu. “ jawab Mas Arman.
“ Sembarangan aja kamu ini. “
“ Ya… sorry, Di… “
“ Selama kamu sakit aku tidak pernah melihat kamu. Handphone kamu juga tidak tidak aktif. “
“ Bagaimana kamu tidak pernah melihat aku, orang kamu aja berangkat pagi-pagi pulangnya malam. Jelas tidak pernah bertemu. “
“ Sakit kamu parah? “
“ Udahlah Di… “ menarik nafas panjang, “ Jangan tanyakan itu. “
“ Lho, kenapa? “ tanya Mas Adi.
“ Di, aku mohon kamu bisa jaga rahasia. “
“ Rahasia apa sih? “ tanya Mas Adi sekali lagi.
“ Sebenarnya yang sakit itu ibuku. “
“ Hah….! “
“ Di, aku mohon Di, soalnya akhir-akhir ini ibuku sakit parah, sedangkan cuti yang aku ajukan belum juga ditandatangani oleh Bos Miyamoto. “
Mas Adi menarik napas panjang. “ Ya sudah, kamu sabar ya. Mudah-mudahan ibu kamu cepat sembuh. “
“ Makasih ya Di. “
Mas Adi mengangguk.
Seorang anak yang ingin menunjukkan baktinya pada orang tua. Sejak dari kecil ia diasuh ibunya. Ayah telah meninggal saat ia usia satu tahun. Maka ia ingin memberikan kasih sayang yang lebih pada orang tua yang tinggal satu-satunya. Sedangkan dalam pekerjaannya ia belum mendapatkan cuti, terpaksa ia berbohong.
Sesungguhnya sudah tidak ada lagi beban dalam pikirannya. Keadaan ibunya sudah cukup baik. Lagi pula ada bibi yang biasa mengawat-awatinya. Namun ia tetap saja memikirkan ibunya. Sampai-sampai ia melamun dan ditegur Bos Miyamoto.
“ Arman!!! “ bentak Bos Miyamoto.
“ Iya Pak. “ jawab Mas Arman.
“ Kamu ini bekerja melamun saja! “
“ Maaf Pak, maaf. “
“ Baru saja masuk kerja sudah tidak pecus. Kerja seperti ini mau minta cuti! “
“ Maaf Pak, saya minta maaf. “ kata Mas Arman.
“ Sekarang kamu ke ruangan saya! “ perintah Pak Miyamoto.
“ Baik Pak. “
“ Man, kenapa? “ tanya Mas Adi.
Mas Arman menggelengkan kepala. Ia menuju ruang kerja Pak Miyamoto.
“ Kamu ini tahu apa tidak kamu bekerja di bagian apa? “ tanya Pak Miyamoto.
“ Tahu Pak.” jawab Mas Arman.
“ Arman, kamu bekerja di bagian operator mesin. Kalau kamu berulang kali melamun, bakal fatal akibatnya. Bisa-bisa semua data-data jadi eror, dan akhirnya keblokir. Jika sudah keblokir kita yang susah-susah melacaknya ke Jepang. Kamu paham? “
“ Iya Pak, saya paham. Saya minta maaf, Pak… “ kata Mas Arman sambil memohon.
“ Kalau begitu mulai besok kamu diskors, dan kamu boleh masuk kerja lagi apabila sudah ada keputusan. “
“ Apa Pak? Diskors? “
“ Iya. “
“ Tapi Pak saya...”
Dipotong oleh Bos Miyamoto.
“ Tidak ada tapi-tapian! Sekarang silakan kamu keluar dari ruangan saya. “
Tanpa berkata-kata Mas Arman keluar ruangan menuju pekerjaannya kembali.
“ Ada apa Man, sepertinya kamu sedang ada masalah? “ tanya Mas Adi.
“ Aku diskors, Di. “ jawab Mas Arman.
“ Lho, kok bisa? “
“ Alasan Pak Miyamoto karena aku melamun. “
“ Ya ampun, Man... “
“ Di, aku takut kalau aku diskors terus akhirnya aku dipecat. “
“ Kamu tenang aja, pokoknya aku bakal ngusahain supaya kamu tidak dipecat. “
“ Makasih banget ya, Di... “
“ Iya... “
Siang ini aku menemani ibunya Mas Arman. Bibi yang menyuruhku, karena hari ini bibi harus bersih-bersih rumah. Ibunya Mas Arman sedang tidur. Nyenyak sekali sepertinya. Melihatnya aku jadi ngantuk. Dari pada aku ngantuk aku keluar menuju teras.
Belum lama aku duduk sudah dipanggil bibi.
“ Sa, Ibunya Mas Arman sudah diberi obat belum? “ tanya bibi dari kejauhan.
“ Belum, masih tidur. “ jawabku.
“ Bangunkan saja, bilang kalau sekarang waktunya minum obat. “
“ Ya. “ jawabku.
Aku kembali ke kamar. Ia masih tidur seperti tadi. Nyenyak. Jujur aku tidak enak membangunkannya.
“ Bu….Bu…. “ kataku sambil menepuk lirih kakinya.
“ Bu… bangun Bu, sudah waktunya minum obat. “
Kini aku pindah menggoyangkan sedikit badannya.
“ Bu…Bu…. bangun Bu… “
Namun ia tak juga membuka mata. Masih tetap seperti tadi. Aku coba memegang kakinya. Dingin. Tangannya juga dingin. Aku raba denyut nadinya. Sudah tidak ada sentakan. Aku periksa nafasnya, tidak ada hembusan. Seketika aku berlari menuju bibi.
“ Bi, dia tidak bangun-bangun! “ kataku.
“ Coba kamu bangunkan lagi! “suruh bibi.
“ Sudah. “
Bibi meletakkan sapunya, bersamaku menuju ke rumah Mas Arman.
“ Bu... Bu Har... bangun Bu... “
Bibi melakukan pemeriksaan seperti aku tadi.
Bibi menarik napas panjang. “ Dia sudah meninggal. “ kata bibi.
“ Apa? Innalillahi Wa Innailaihi Roji’un. “
“ Cepat kamu kabari Arman. “
“ Tapi aku tidak punya nomor handphonenya. “
“ Di buku telepon dekat telepon ada nomornya. “
“ Baiklah… “
Lekas aku berlari menelepon Mas Arman. Beberapa kali aku telepon tidak juga diangkatnya.
“ Man, handphone kamu bunyi dari tadi. “ kata Mas Adi.
“ Terus aku harus apa? Peraturan tidak boleh mengaktifkan hanphone. “
“ Ya kamu ke toilet atau kemana, cari tempat yang aman. Sepertinya orang itu ada keperluan penting. “
“ Nggaklah Di, aku dah kena skors, aku nggak mau kalau aku dipecat. “ kata Mas Arman.
Berulang-ulang kali aku coba, tetap tidak diangkat. Ya, sudahlah mungkin Mas Arman sibuk, pikirku. Akhirnya bibi dan warga sekitar yang mengurus jenazah. Kakak-kakak Mas Arman pun juga sudah berkumpul. Tak dapat ku bayangkan perasaan Mas Arman ketika ia pulang nanti ternyata ibunya telah meninggal.
Sampai pukul 20.30 suasana haru masih menyelimuti. Masih tetap terdengar bacaan ayat-ayat suci dari rumah sebelah. Rencana ibunya Mas Arman akan disemayamkan besok.
Malam itu aku duduk di teras depan rumah bibi. Sudah sekitar 15 menit aku duduk di sana. Sambil mendengar bacaan ayat-ayat suci dari rumah sebelah. Entah sampai kapan mereka semua selesai membacanya.
Tidak lama lemudian dua motor berhenti di depan pagar. Mereka Mas Adi dan Mas Arman. Segera aku berlari mendekati keduanya.
“ Man, sepertinya rumah kamu ramai banget. “ kata Mas Adi.
“ Aku juga nggak tahu ada apa? “ jawab Mas Arman.
“ Ada apa sih, Dik? “ tanya Mas Adi padaku.
Sungguh aku tidak sanggup mengatakannya.
“ Dik, ada apa sih? “ tanya Mas Arman.
“ E.... Sebelumnya aku minta maaf Mas, sesungguhnya tadi siang aku ingin mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi. Namun telepon nggak diangkat-angkat, jadi... “ kataku.
“ Jadi tadi siang itu yang telepon kamu? “
Aku mengangguk.
“ Ada perlu apa memangnya? “ Tanya Mas Arman lagi.
“ E... Sebaiknya Mas Arman pulang dulu. “ kataku.
Mas Arman turun dari motor, berjalan menuju rumahnya. Aku dan Mas Adi mengikutinya di belakang.
Sampai di samping jenazah, semua badan Mas Arman lemas. Ia tertunduk di samping ibunya. Ia membuka ujung kain sampai ke kepala, sehingga seluruh raut muka terlihat. Raut muka yang begitu pucat, mata yang telah terpejam sedari tadi siang, dan lubang hidung serta telinga yang telah ditutup oleh segumpal kapas kecil. Meskipun demikian ia nampak tersenyum. Mas Arman berusaha memeluk ibunya. Aku dan Mas Adi melihatnya di depan pintu.
“ Bu...bangun Bu, bangun... bangun Bu…. Bu jangan tinggalkan Arman, Bu… Arman sayang sama Ibu… Bu bangun Bu… Arman ingin memperkenalkan Dinda ke Ibu… Bu bangun, Bu… Jangan tinggalkan Arman, Bu… “ rintih Mas Arman.
Kasihan sekali. Ibunya telah meninggal, padahal sepertinya ia akan memperkenalkan calon istrinya. Sayang ibu telah tiada.
Aku tidak tega melihat Mas Arman. Secepatnya aku pulang. Mas Adi mengikutiku. Sampai di rumah aku duduk di sofa, sementara Mas Arman membuka sepatunya.
“ Kalau saja telepon dari aku diangkat, mungkin perasaan Mas Arman jauh lebih baik. Sekarang ia pasti sangat kecewa. “ kataku.
“ Bagaimana mau diangkat, orang peraturannya tidak boleh mengaktifkan handphone. “ kata Mas Adi.
Mas Adi duduk di sampingku.
“ Kamu tahu, apa yang terjadi dengan Arman waktu ia bekerja di pabrik? “
Aku menggeleng.
“ Memangnya apa yang terjadi? “ tanyaku.
“ Dia kena marah bos. Bukan cuman itu, ia juga diskors tidak boleh masuk kerja sampai ada keputusan apakah ia diterima bekerja lagi atau tidak. Itu gara-gara ia melamun saat bekerja. “
“ Benar-benar kasihan. “
“ Lalu ketika kamu telepon dia, aku sudah menyuruhnya untuk mengangkatnya walaupun peraturan tidak diperbolehkan mengaktifkan hanphone saat bekerja kecuali jam istirahat. Tapi ia tetep nggak mau mengangkat telepon. Mungkin dia udah takut banget habis kena skors. “
“ Jadi Mas Arman tidak mengangkat telepon karena peraturannya tidak boleh mengaktifkan handphone? “ tanyaku.
“ Iya. “ jawab Mas Adi.
“ Duh.... Kamu kok nggak bilang dari kemaren sih, Mas...”
“ Lho aku juga tidak tahu kalau kamu mau telepon. “
“ Terus kamu berusaha bantu dia nggak supaya tidak dipecat dari pekerjaannya? “
“ Ya jelaslah. “
“ Apa yang akan kamu lakukan? “
“ Lihat saja nanti. “ kata Mas Adi yang lalu menuju ke kamarnya.
Baru beberapa menit, ia sudah keluar dengan pakaian rapi, dan aku masih duduk di sofa.
“ Kalau sudah ngantuk, tidur aja. Aku ke rumah Arman sebentar. “ kata Mas Adi.
Ia kemudian pergi.
Keesokan paginya suasana duka cita masih nampak. Hari ini Mas Adi tidak bisa ikut dalam penguburan jenazah. Ia harus bekerja. Ia sudah berjanji akan menolong Mas Arman.
“ Dik, kamu tahu apa yang akan aku lakukan? “ kata Mas Adi.
“ Mas sudah janji akan menolong Mas Arman kan? “ kataku.
“ Iya, memang benar. “
“ Lalu apa yang akan Mas lakukan? “
“ Ada deh, nanti akan aku ceritakan. Sekarang aku berangkat kerja dulu. “
Ia pun memakai sepatunya.
“ Bu, Adi berangkat dulu. “
“ Ya… hati-hati… “ jawab bibi dari dapur.
“ Aku berangkat dulu ya... “ kata Mas Adi kepadaku.
“ Hati-hati. “
“ Siap Bos! “ jawabnya, ia pun pergi mengendarai motornya.
Ia memang sering bercanda, terkadang ia juga menjengkelkan. Mudah-mudahan ia berhasil membantu Mas Arman agar ia dapat diterima sebagai karyawan lagi.
Semakin siang semakin banyak pelayat yang datang. Mengucapkan rasa duka cita dan belasungkawa. Sanak saudara juga sudah berkumpul. Sepertinya mereka tidak tidur dari semalam. Doa-doa terus dibacakan. Bau wangi-wangian bercampur kemenyan pun menusuk hidung.
Sebenarnya aku paling takut dengan bau-bau seperti ini. Apa lagi dengan kematian, meskipun aku tahu bahwa seseorang yang hidup itu pasti akan mati, namun batinku belum siap. Oleh sebab itu mengapa aku tidak ikut melayat. Karena aku takut.aku takut orang mati. Saat aku tahu bahwa ibunya Mas Arman telah meninggal, rasa-rasanya aku ingin berlari secepat mungkin menjauh darinya. Aku akan masuk ke dalam kamar, mengunci pintu, dan menutup kepalaku dengan bantal.
Hari sudah semakin sore. Jenazah telah dikuburkan tadi pukul 13.00 WIB. Namun sekali lagi suasana duka masih menyelimuti.
Sore itu aku masih duduk di teras. Terlihat orang hilir-mudik. Mereka sibuk menata-nata kursi. Di salah satu sudut dari kursi yang telah ditata, aku melihat Mas Arman sedang bicara pada seseorang wanita. Dia cantik. Rambutnya lurus terurai, kulitnya putih, wajahnya begitu manis. Kebetulan mereka bercakap-cakap tidak jauh dari tempat aku duduk, jadi aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
“ Yang sabar ya Mas, semua permasalahan pasti akan selesai. “ kata wanita cantik itu.
“ Dinda... “ kata Mas Arman kepada wanita itu yang ternyata bernama Dinda.
“ Ada apa, Mas? “ tanya Dinda.
“ Mas minta maaf. “
“ Lho, memangnya kenapa Mas? “
“ Dulu sebelum ibu meninggal, Mas sudah pernah berjanji akan memperkenalkan kamu dengan ibu. Tapi belum sempat aku memperkenalkan kamu, ibu telah tiada. “
“ Oh, tidak apa-apa Mas, Dinda mengerti. Sebaiknya sekarang Mas istirahat, Mas pasti capek dari kemaren belum tidurkan? Dinda juga mau pulang dulu soalnya hari sudah sore. “ kata Dinda.
Dinda berdiri diikuti Mas Arman.
“ Dinda, sekali lagi Mas minta maaf ya... “ kata Mas Arman.
“ Iya Mas, Mas tenang saja, Dinda juga tidak marah kok. Ya sudah, kalau begitu Dinda pamit pulang, besok Dinda kesini lagi. “
“ Hati-hati. “
Keduanya saling melambaikan tangan dan melempar senyum. Sampai akhirnya wanita yang bernama Dinda itu pergi merngendarai motornya.
Pukul 20.30 Mas Adi sudah pulang. Ia membuka pintu dan seperti biasa langsung membuka sepatu. Aku sedang melihat TV.
“ Gimana? “ tanyaku.
“ Sukses. “ jawabnya sambil tersenyum.
“ Gimana ceritanya? “
Mas Adi kemudian duduk di sampingku.
“ Begini ceritanya. “
Saat ia akan memulai bercerita aku mencium sesuatu. Bau asam-asam seperti bau keringat.
“ Berhenti... berhenti. “ kataku.
“ Katanya aku suruh cerita. “
“ Iya cerita, tapi keringat kamu bau banget. Ganti dulu sana! “
“ Gimana sih, Dik. Namanya orang kerja kalau nggak ngeluarin keringat nggak lucu namanya. “
Mas Adi berjalan menuju kamarnya. Tas yang ia gunakan untuk bekerja ditinggal di sebelahku.
“ Nih, aku dah pake minyak wangi. Masih bau asem? “
Mas Adi duduk di sebelahku lagi.
“ Ceritanya? “ tanyaku.
“ Begini ceritanya setelah jam istirahat sekitar pukul 13.30 aku ke ruangan bos. Lalu aku ceritakan kejadian yang sebenarnya terjadi pada Arman. Bosku terlihat sedih mendengarnya. Akhirnya ia mengerti apa yang sedang Arman rasakan. Selain itu aku juga mengajukan permohonan agar peraturan yang tadinya tidak boleh mengaktifkan handphone saat bekerja sekarang diperbolehkan namun sebatas mengirim pesan, dan hal ini sudah ditandatangani oleh pihak manager. Terus ini juga ada surat untuk Arman. “ Sambil membuka tasnya.
“ Surat apa? “
“ Jelasnya aku tidak tahu. Kata bosku ini surat untuk Arman. “
“ Kalau begitu kita kasihkan saja ke Mas Arman sekarang. “
“ Boleh. “ jawab Mas Adi.
Kami berdua berjalan menuju rumah Mas Arman. Surat yang tadi diletakkan di saku celananya Mas Adi. Kami berdua langsung menghapiri Mas Arman yang sedang duduk di kursi di depan teras rumahnya.
“ Apa kabar? “ Tanya Mas Adi setelah ia duduk di sebelah Mas Arman.
Aku pun juga duduk di samping Mas Adi.
“ Baik, Di. Bagaimana? “ tanya Mas Arman.
“ Bagaimana, apanya? “ tanya balik Mas Adi.
“ Keputusan dari Pak Miyamoto. “ jawab Mas Arman.
“ Aku tidak tahu, tapi ini ada surat. “ sambil memberikan surat padanya.
Cepat-cepat Mas Arman menerimanya dan membukanya. Ia pun membaca dengan cepat.
“ Apa isinya Mas? “ tanyaku.
“ Aku masih diterima jadi karyawan Pabrik Astra. “ jawabnya.
Seketika Mas Adi menyalaminya. Mereka berdua pun berpelukan.
“ Makasih banyak ya Di, makasih banyak. “ kata Mas Arman.
“ Sama-sama, Man...” jawab Mas Adi.
Aku pun juga menyalami Mas Arman.
Pada akhirnya ia diterima bekerja lagi di Pabrik Astra. Meskipun ia tidak dapat memperkenalkan Dinda ke almarhum ibunya, akan tetapi tiga hari kemudian Mas Arman bertunangan dangan Dinda.
“ Kapan kamu mau nikah, Di? “ tanya Mas Arman.
“ Entahlah...” jawab Mas Adi.
“ Entahlah? Orang kamu pacar aja belum punya. “
“ Makanya, aku masih ingin menikmati massa mudaku. “
“ Ah... Kamu ini. “
Sehari sesudahnya aku pulang ke Purworejo, karena tinggal tiga hari lagi masuk sekolah. Aku pulang diantar Mas Adi.
Walau bagaimanapun, meskipun hari ini aku tidak punya pengalaman, namun setidaknya aku memiliki kisah yang dapat aku ambil hikmahnya. Semoga massa depanku kelak, aku menjadi orang sukses, sehingga dapat menjadikan pengorbanan orang tua tidak sia-sia.


Read More......

Kamu Bukan Pilihan Hatiku

Kamu Bukan Pilihan Hatiku

Dia untukku bukan untukmu
Dia milikku bukan milikmu
Pergilah kamu jangan kau ganggu
Biarkan aku mendekatinya
Kamu tak akan mungkin mendapatkannya karena dia
Berikan aku pertanda cinta
Janganlah kamu banyak bermimpi oo...
Dia untuk aku........


Lagu “Dia Milikku”-nya Yovie and Nuno mengalun di kamarku. Tanganku masih asyik menekan-nekan keyboard komputer, menyelesaikan tugas dari Bu Susi. Akhir-akhir ini, banyak tugas yang menumpuk. Masing-masing guru pasti memberi tugas. Buat ini, buat itu, ngumpulin ini, ngumpulin itu. Ah, pusing! Tugas yang sedang kukerjakan sekarang adalah tugas Bahasa Indonesia, membuat resensi buku bacaan. Sebenernya nggak terlalu susah, cuma mbosenin! Resensi kan seharusnya ditulis untuk buku yang masih baru, tapi di tugas ini Aku harus membuat resensi dari buku jadul. Buku yang kupinjam dari perpustakaan ini sampulnya sudah kusam dan baunya uh... apek. Tugas ini harus kukumpulkan besok pagi atau Aku tidak akan dapat nilai!
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Kulihat nama Daza tertampil di layar. Segera kuangkat handphoneku dan menjawab panggilan Daza.
“Halo”
“Halo” terdengar suara Daza dari seberang sana.
“Ngapain malam-malam telepon? Tumben bener, biasanya juga SMS” kataku mengawali pembicaraan.
“Lagi iseng aja, nggak ada kerjaan. Lagian pengen denger suara cempreng kamu.” ejek Daza.
“O...cuma mau denger suara cemprengku? Nah, sekarang dah denger kan? Dah puas?” kataku dengan nada sedikit meninggi.
“He, sorry. Gitu aja marah. Btw, kamu lagi ngapain nih?” tanya Daza.
“Lagi ngerjain tugas Bahasa Indonesia, tugasku belum selesai nih. Eh, bener kamu nggak ada kerjaan? Berarti tugasmu dah selesai dong!”
“Eh, tugas?? Emang ada tugas ya? Tugas apa sih?” Daza kembali bertanya.
“Heh, masa nggak tahu?? Tugas yang bikin resensi itu lho... Jangan bilang kalau kamu lupa terus sekarang belum ngerjain.”
“Oh iya, ada tugas itu. Hehehehe... Aku lupa. Tebakan kamu jitu banget sih,”
“Ah, kebiasaan! Dasar Daza, Si Mr.Pikun! Kayaknya rambut kamu belum ubanan deh, kok bisa pikun banget sih?”
“Hehehe...nggak tahu juga ya, bawaan kali,”
“Ya udah, jangan malah cengar-cengir aja, cepet kerjain! Dikumpulin besok lho!”
“Ya deh, Bu Guru... Ku ngerjain PR dulu ya, Kamu juga masih ngerjain kan? Met ngerjain PR deh. See you tomorrow, bye....” kata Daza mengakhiri teleponnya.
“Bye” telepon kututup.
Daza adalah salah satu sahabat terbaikku di kelas. Walau baru setahun kami bersahabat, aku sudah cukup mengenalnya dengan baik. Daza baik, perhatian, ramah, tapi pikunan! Payah banget, padahal umurnya belum genap 16 tahun. Setelah percakapan singkat tadi, aku kembali berkutat di depan komputer menyelesaikan tugasku. Sekitar 30 menit kemudian, resensi selesai.
“Ah, akhirnya selesai juga! Tinggal diprint deh...”
Nggak sampai 5 menit, tugasku sudah selesai dicetak. Aku pun melangkah ke dapur. Kubuka kulkas lalu kuambil cake favoritku, tiramisu. Hm... lezatnya.
“Ngemil terus! Entar gendut lho...” terdengar suara Seira, adik perempuanku.
“Masa bodoh! Gendut tapi kan pinter. Hehehe,” sanggahku.
“Dasar narsis! Oh iya, tadi HP nya bunyi tuh, kayaknya ada SMS deh.” Seira memberi tahuku sambil sibuk membuat es sirup.
“O..ya? Dah lama?” tanyaku.
“Sekitar 10 menit lah,” jawab Seira singkat.
“Emang dari siapa?” Aku bertanya lagi. Kayaknya aku kebanyakan tanya ya...
“Ya meneketehe! Dah lah, mending liat terus baca sendiri!” Seira mulai kesal karena aku bertanya terus.
Penasaran, aku kembali ke kamar mengambil HP. Di layarnya tertera 3 pesan diterima. Kulihat lagi, ternyata semua pesan dari Randy. Isinya sama semua lagi! Randy ini juga salah satu sahabatku. Kata temen-temen dia orangnya baik, cakep, keren, tapi agak telmi alias telat mikir. Eh, bukan aku aja lho yang bilang gitu. Temen sekelas juga banyak yang bilang gitu kok. Tapi walaupun agak telmi, dia asyik dijadiin temen curhat. Selain itu, dia sering banget ngirim SMS yang sama berkali-kali. Boros banget! SMSnya juga harus dibales secepatnya, kalau nggak dia bisa ngambek, kalau dah ngambek, susah deh... Tapi anehnya, dia nggak pernah lho marah sama Aku gara-gara nggak bales SMSnya. Pernah sih marah, tapi cuma sekali. Itu juga bentar banget, baru sepuluh menit dia udah nggak tahan terus minta maaf duluan.
SMS dari Randy tadi segera kubalas. Ah, akhirnya Aku malah asyik SMSan sama Randy, sampai pukul 22.30. Berarti Aku udah SMSan selama 1 jam! Wah, Aku harus segera berhenti kalau nggak pulsaku bisa habis. Jatah pulsaku buat sebulan kan cuma Rp.25.000,00. Kalau kayak gini terus, bisa defisit dong... Cepat-cepat Aku tulis SMS ke Randy.
Ran, dah dl yw... PulsaQ dah kritiz ne... Q mw tdr. C U. Bye...^_^
Setelah menuliskannya, segera kutekan tombol send. Nggak berapa lama HPku berbunyi. Ada SMS dari Randy.
Ok, Have a nice dream... C U 2....^_^

***

KRING....
KRING....
Bunyi jam beker membangunkanku dari tidurku yang lelap. Dengan terkantuk-kantuk, aku mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat subuh. Setelah itu, Aku mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah dengan penuh semangat. Sesampainya di kelas, Aku segera menuju ke bangku kesayanganku. Setelah meletakkan tas, Aku berbaur dengan teman-teman yang lain. Ada Wendy, Devi, dan Lani.
“Pagi guys...” sapaku kepada teman-temanku.
“Pagi, Na!” jawab mereka hampir berbarengan.
“Lagi ngobrolin apaan?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Gini lho, sekarang kan udah tanggal 21 Desember. Sebentar lagi tahun baru. Kita lagi ngobrolin rencana tahun baru kita.” Lani menjelaskan.
“O..., terus kalian semua udah punya rencana apa aja?” tanyaku ingin tahu.
“Sehari setelah tahun baru, Aku mau liburan ke Bali sama keluargaku. Apalagi besok tanggal 25 kakakku yang sekolah di luar kota juga mau pulang. Duh, senengnya...” Devi menceritakan rencananya. Devi anaknya kalem, ceritanya tadi juga nggak heboh banget, tapi dilihat dari sorot matanya yang berbinar-binar, aku yakin kalau sebenarnya semangatnya sangat menggebu-gebu.
“Kalo Aku, rencananya pamanku yang dari Irian mau pulang ke sini. Terus mau bawain aku banyak oleh-oleh. Aku nggak sabar nih, kira-kira apa ya oleh-oleh buat Aku?” Giliran Wendy menjelaskan. Pamannya memang bekerja di Papua sebagai polisi. Dalam setahun, mungkin cuma pulang empat atau lima kali.
“Wah, jangan-jangan oleh-olehnya koteka tuh!” seruku pada Wendy. Devi dan Lani tertawa mendengarnya.
“Eh, bisa juga lho, kalo nggak koteka bisa aja kamu dibawain rumbai-rumbai. Lumayan lho, bisa buat mejeng.” goda Lani.
Aku, Lani, dan Devi tertawa terbahak-bahak sementara Wendy cemberut.
“Ok, ok, kita lanjutin ceritanya. Kasian si Wendy cemberut terus.” Devi menengahi.
“Ceritain rencana kamu dong, Lan!” pintaku pada Lani.
“Hm... kalo Aku, waktu liburan tahun baru nggak ke mana-mana, soalnya Aku mau ngadain pesta tahun baru di halaman rumah. Terus, pestanya dibikin kayak pesta barbeque gitu, ada kembang api juga, terus semua keluargaku ngumpul, nyalain api unggun bareng-bareng, nyanyi bareng, nari bareng, main bareng, terus ngobrol-ngobrol, nggosip sana nggosip sini. Oh iya, kalau kalian mau, kalian juga boleh kok dateng ke rumahku.” Lani bercerita dengan penuh semangat. Anak ini emang cerewet banget. Sekali ngomong, susah berhentinya. Ditanya sekali, jawabnya panjang banget kayak kereta api.
“Ok, Lani. Nggak usah diceritain sedetail itu kali,” protes Wendy.
“Ah, Wendy! Kamu kayak nggak kenal Aku aja deh! Aku kan anaknya selalu bisa mengembangkan setiap kata-kata yang kuucapkan hingga menjadi sebuah kalimat yang panjang lebar,” Lani membela diri.
“Intinya kamu cerewet!” Wendy menegaskan.
“Udah lah, terus apa rencana kamu, Na?” tanya Devi.
“Hm... rencanaku? Aku belum punya rencana apa-apa. Mungkin, cuma di rumah aja. Di keluargaku nggak ada tradisi ngrayain tahun baru gitu sih... So, nothing special, maybe we’ll gather in our grandparent’s house.” Ya, Aku memang belum punya rencana apa-apa. Tidak seperti teman-temanku yang sudah merencanakan cara mereka merayakan tahun baru kali ini.

***

Pada saat jam istirahat...
“Shanna, Shanna!” panggil Lani.
“Kenapa sih? Kok kamu kayak kesetanan gitu. Slow aja, Lan,” Aku berusaha menenangkan.
“Di belakang sekolah, dekat kamar mandi...” Lani bicara dengan napas ngos-ngosan. Dia kelihatan panik banget.
“Ada apa di sana?” tanyaku penasaran. Belum pernah kulihat Lani sepanik ini.
“Di, di.. , di sana, barusan Daz.., Daza sama Ra.., Randy ...” Lani bicara putus-putus. Agak nggak jelas sih, tapi Aku masih bisa menangkap maksudnya.
“Daza sama Randy? Mereka kenapa?” Aku mulai khawatir. Rasa takut tiba-tiba menyerangku.
“Mereka berantem!” kata Lani sedikit berteriak. Wajahnya benar-benar memancarkan rasa cemas dan takut.
“Apa??!” Aku kaget banget. Gimana nggak? Daza sama Randy kan sahabat baik bahkan mereka udah bersahabat sejak kelas 7. Sekarang, mereka berantem! Ini sulit dipercaya.
“Terus, sekarang keadaannya gimana?” tanyaku sambil mengguncang-guncangkan tubuh Lani.
“Nggak tahu deh, tadi waktu Aku mau ke kamar mandi, Aku lihat mereka lagi ngobrolin sesuatu, kayaknya serius banget. Tadinya Aku nggak curiga, nggak mikir apa-apa. Tapi habis itu, Daza mulai mukul Randy terus Randy bales pukulannya Daza. Pokoknya, kita ke sana dulu aja.” Lani menjelaskan kepadaku.
Aku dan Lani segera berlari menuju belakang sekolah. Di sana Aku lihat Daza sama Randy. Mereka udah nggak berantem lagi. Tapi mereka berdiri saling berjauhan sambil masing-masing menahan sakit karena pukulan yang didapatnya.
“Kalian ini kenapa sih? Ngapain berantem segala?” tanyaku kepada mereka berdua. Aku bener-benar nggak nyangka mereka bisa nglakuin hal kayak gini. Daza dan Randy nggak menjawab. Keadaan sepi.
“Untung nggak ada guru yang lihat. Kalo sampe ada yang lihat, bisa jadi masalah besar!” Aku berkata dengan nada marah.
“Udah, kalian cewek-cewek nggak usah ikut campur! Ini masalah cowok!” bentak Daza. Dari ekspresi wajahnya, dia terlihat sangat marah.
“Nggak ada masalah cowok atau cewek! Ini masalah kita bersama! Kalo ada masalah, diomongin dong, jangan berantem kayak gini!” Aku mencoba menasihati.
“Sekarang, aku tanya lagi sama kalian berdua, apa masalahnya?” nada suaraku kuturunkan. Nggak ada jawaban. Emosiku mulai naik lagi.
“Jawab dong!! Kalian punya mulut nggak sih!” Aku berteriak.
“Sabar...” Lani menenangkanku. Suasana hening sejenak. Kemudian Daza berjalan mendekatiku dan menjawab, “Kamu mau tahu kenapa aku sama Randy berantem?”
Aku menggangguk.
“Aku sama Randy berantem gara-gara,...” kalimat Daza terhenti sejenak. Daza mengambil napas sebentar lalu meneruskan kalimatnya.
“Kamu.”
Untuk kesekian kalinya, aku terkejut lagi. Kulihat Lani juga terkejut atas jawaban Daza. Satu kata terakhir yang diucapkan Daza benar-benar menusuk hatiku. Tubuhku gemetar. Aku hampir tak bisa berkata-kata. Namun, kukerahkan seluruh tenagaku untuk bertanya, “A..aku penyebab semua ini?”
Daza dan Randy tidak menjawab. Mereka hanya saling pandang kemudian pergi meninggalkan Aku dan Lani. Aku berusaha untuk tidak menangis walau itu sangat susah.
“Aku nggak ngerti,... Kenapa? Apa salahku?” Aku bertanya pada Lani. Lani hanya menggeleng, menenangkanku, kemudian menggandengku kembali menuju kelas.
Di kelas, suasana menjadi sangat tidak nyaman. Silvi, Nanda, Ina, dan Alya memandangku dengan tatapan mata yang tajam menusuk. Aku tahu, mungkin mereka marah kepadaku karena telah menyebabkan Randy bertengkar dengan sahabatnya. Tentu saja mereka marah, mereka kan fans setia Randy. Fans mana pun pasti akan membela idolanya dan marah apabila ada seseorang yang menyakiti idola mereka.
Daza dan Randy yang biasanya duduk sebangku, kini berpisah. Daza memilih duduk di belakang bersama dengan Aji dan Randy duduk dengan Riski. Oh, Tuhan! Kenapa keadaan jadi begini? Apa bener ini semua gara-gara Aku?

***

“Apa sih yang sebenarnya terjadi?” tanya Wendy pada Aku dan Lani. Ia tampak cemas. Aku hanya bisa diam sedangkan Lani dan Devi duduk di sampingku. Sekolah sudah lama usai, namun kami berempat masih berada di kelas. Sepertinya sudah tak ada siswa lain selain kami sehingga kami merasa bebas untuk ngobrol di sini.
“Tadi, saat Aku mau ke kamar mandi, Aku lihat Daza sama Randy berantem.” Lani menjelaskan kejadian tadi siang kepada Wendy dan Devi. Wendy dan Devi terkejut, mereka melongo.
“Dasar manusia bodoh!!” Wendy tiba-tiba menggeram. Sebenarnya geramannya tidak keras, tapi karena sekarang keadaan sangat sepi, geraman itu terdengar cukup keras hingga mengagetkan Aku, Devi, dan Lani.
“Wen, kamu tahu sesuatu? Kamu tahu kenapa mereka berantem?” tanya Lani.
Wendy mengangguk.
“Devi juga udah tahu, kok.” Kata Wendy. Aku dan Lani terkejut. Kemudian, aku memandang Devi. Raut wajahku mengisyaratkan agar Devi menceritakan masalah itu. Devi mengerti, kemudian ia pun mulai bercerita.
“Sebenarnya, Daza dan Randy berantem gara-gara kamu, Na. Mereka berantem karena sama-sama suka sama kamu. Itu yang kudenger dari Silvi cs. Ya, kamu kan tahu sendiri, mereka deket sama Randy. Terus, nggak tahu gimana caranya mereka bisa ngorek informasi kalau ternyata Randy suka sama kamu. Gawatnya lagi, best friendnya sendiri juga suka sama kamu. Kalian tahu kan siapa best friendnya Randy? Yup, siapa lagi kalau bukan Si Daza. Tadinya mereka sih oke-oke aja, terus mereka coba buat pedekate sama kamu. Awalnya mereka sepakat, siapa pun yang dipilih sama kamu, mereka nggak akan berantem dan tetep temenan. Selama mereka pedekate, kamu nanggepin. Dua-duanya malah kamu tanggepin semua. Tanggapan yang kamu kasih itu, membuat masing-masing dari mereka ngira kalo dirinya lah yang dipilih. Masing-masing nggak mau kalah dan tetep berpendapat bahwa kamu dah milih salah satu dari mereka. Aku cuma tahu kalo akhir-akhir ini, hubungan mereka agak renggang gitu. Tapi Aku bener-bener nggak nyangka kalo mereka sampe berantem beneran. Di sekolah lagi! Ya kan, Wen?” Devi menjelaskan panjang lebar apa yang ia ketahui. Wendy mengangguk. Aku benar-benar terkejut. Aku sama sekali nggak nyangka kalau ternyata yang mereka lakukan selama ini karena mereka pedekate sama aku. Hal ini sama sekali nggak terlintas di pikiranku.
“Ya Tuhan, ternyata begitu masalahnya. Aku sama sekali nggak nyangka. Jadi, kebaikan mereka selama ini...” kataku dengan sangat pelan. Aku masih shock.
“Ya, perhatian dan tanggapan yang kamu kasih ke mereka membuat mereka jadi besar kepala. Sebenernya Aku sama Devi mau bilang ke kamu soal ini, tapi kami ragu. Ini kan masalah pribadi antara kamu, Daza, sama Randy. Entar dikira Aku sama Devi lancang. Aku bener-bener nggak nyangka efeknya sampai kayak gini. Aku bener-bener nyesel nggak bilang ke kamu, Na...” Wendy berkata dengan sangat lembut.
“Sorry, Na...” Devi dan Wendy hampir bersamaan. Mereka tampak sangat menyesal.
“Udah lah, nggak perlu disesali. Toh, ini semua udah terlanjur terjadi. Nggak ada gunanya disesali. Semua ini kan nggak sepenuhnya salah kalian juga.” Aku memberi penjelasan, walau sebenarnya di dalam hatiku ada sedikit rasa kesal pada Wendy dan Devi karena mereka nggak nyeritain hal ini. Andai mereka cerita, mungkin kejadiannya nggak kayak gini. Ah, cuma andai! Kenyataannya nggak seperti yang diharapkan. Jadi, Aku berusaha menepis rasa kesal itu.
“Terus, kenapa Silvi cs tadi ngliatin Shanna sampe kayak gitu sih? Kalian juga tadi lihat kan? Tatapan mereka ngeri banget tau!” Lani bicara sambil bergidik.
“Ya ampun! Masa kamu nggak tahu? Gini lho, Silvi cs tu nge-fans sama Randy. Mereka nggak terima Randy diperlakuin kayak gitu sama Shanna. Di mata mereka, Shanna tu kayak nggantungin Randy sama Daza. Menurut mereka, Shanna tu nggak tegas. Shanna udah menjadikan mereka berdua berharap terlalu tinggi. Hubungan di antara kalian bertiga tu nggak jelas. Dibilang temen kok kayaknya udah lebih dari itu, dibilang pacaran kok kayaknya berlebihan.” Wendy menjelaskan. Lani manggut-manggut.
Suasana hening sejenak.
“Jadi...” suara Wendy memecah keheningan, ia berhenti sejenak lalu meneruskan kalimatnya, “Yang kutahu dari Silvi, malam tahun baru besok, tepatnya tanggal 31 Desember, mereka berdua mau nembak kamu.”
“Apa?? Kok gitu sih??!” Sekali lagi, mereka berhasil membuatku terkejut.
“Yup!” Wendy mengangguk mantap.
“Nah, dengan begini hubungan di antara kalian bertiga jadi jelas. Kalau kamu udah mutusin mana yang kamu pilih, nggak ada lagi yang ngerasa digantungin. Masalah pun bisa beres.” kata Devi.
“Sekarang, semua keputusannya ada di tangan kamu.” Lani berkata sambil menepuk pundakku.
“Hei guys, tapi selama ini aku sama sekali nggak bermaksud nggantungin mereka berdua. Dan Aku rasa, apa yang udah Aku lakuin selama ini nggak berlebihan. Aku bales SMS mereka, nerima telepon dari mereka juga biasa-biasa aja. Sama kok kayak Aku SMS atau telepon ke temenku yang lain.”
“Tapi sayangnya, Shanna sayang... Silvi cs nggak ngira gitu. Mereka ngira perhatian kamu udah berlebihan dan menurut mereka dah cukup untuk sampe di taraf nggantungin perasaan orang.” kata Wendy diplomatis.
“So, menurut kalian, Aku harus gimana dong?” sekarang Aku benar-benar bingung.
“Kami nggak tahu. Sekarang, semua keputusan ada di tangan kamu. Untuk masalah satu ini, kami udah nggak bisa ikut campur. Ini masalah hati.” Devi memberiku penjelasan. Apa yang diomongin sama Devi bener sih, tapi nggak semudah itu ngambil keputusan!
“Tenang aja, apa pun keputusan yang kamu ambil, kami akan selalu dukung kamu kok.” Lani berusaha menyemangatiku.
“Ikuti aja kata hati kamu. Trust yourself.”

***

Hari-hari berikutnya kulewati dengan gundah. Semakin dekat dengan malam tahun baru, semakin resah hatiku. Semakin dekat dengan malam tahun baru, berarti semakin sedikit waktuku untuk menentukan pilihan. Daza atau Randy? Aku bingung! Dua-duanya sahabat baikku. Masing-masing punya daya tarik sendiri-sendiri. Risau hatiku bertambah karena setelah kejadian itu, Daza dan Randy sama sekali nggak bicara sama Aku. Kayaknya mereka melakukan gencatan senjata sampe malam tahun baru. Selain itu, Silvi cs juga masih marah sama Aku. Mereka nyuekin Aku di kelas. Untunglah, masih ada Lani, Wendy, dan Devi yang selalu setia menemani hari-hariku.

***

Kulihat kalender di kamarku. Di sana tertulis Rabu, 31 Desember 2008. Ah, akhirnya malam ini datang juga. Malam di mana Aku harus memberikan keputusan kepada Daza dan Randy. Malam ini Aku duduk sendirian di dalam kamar sambil mendengarkan lagu-lagu favorit dari handphoneku dan membaca sebuah novel. Lagu Sudah mengalun merdu.
Salahkah aku mencintaimu, memilikimu, menyayangimu
Jangan paksakan kita untuk slalu bersama
Jangan paksakan kita untuk slalu mencinta
Salahkah aku mencintaimu, memilikimu, menyayangimu
Bila kita harus berpisah, sudah
Biarkan ini semua berakhir, sudah
Cinta memang tak harus miliki....a....
Kulihat jam dinding. Jarum jam masih menunjukkan pukul 20.00. Detik demi detik yang berlalu, terasa sangat lama. Hatiku dag dig dug menunggu saatnya tiba. Novel di tanganku hanya kupegang saja. Aku tidak bisa fokus pada alur ceritanya. Sekarang pikiranku tertuju pada ‘putusan’ yang nanti akan kuberikan.
Detik demi detik terus berlalu. Menit demi menit terus berjalan. Tapi yang ditunggu belum juga datang. Ah, mengapa waktu berjalan begitu lama? Aku ingin malam ini segera berlalu.
Setelah menunggu sekian lama akhirnya handphoneku berbunyi juga. Di layarnya tertera nama Daza. Belum sempat kubuka SMSnya, handphoneku berbunyi lagi. Aku yakin yang kedua pasti dari Randy. Ah, akhirnya saat ini datang juga.

***

Sinar matahari pagi menerobos masuk melalui gorden jendela kamarku yang sedikit tersibak. Aku bangun lalu membuka gorden dan jendela kamarku. Cerahnya sinar surya dan segarnya angin pagi langsung menerpa tubuhku. Betapa indahnya pagi ini.
Tadi malam, aku sudah memberikan keputusan akhirku. Aku tidak memilih Daza dan Randy. Itulah keputusanku. Aku hanya menganggap mereka berdua sebagai sahabat. Tidak lebih. Setelah mengatakan hal itu kepada mereka berdua rasanya bebanku berkurang. Lega sekali. Dari bahasa yang mereka katakan tadi malam, sepertinya mereka mengerti akan keputusanku. Mereka juga sudah berjanji kalau mereka akan segera berbaikan kembali setelah kejadian ini. Tapi tentu saja itu butuh proses. Mereka tidak akan bisa langsung berbaikan dan mengembalikan hubungan mereka seperti sedia kala. Sedikit demi sedikit mereka akan berusaha melupakannya dan memulai persahabatan mereka kembali. Kuharap seperti itu.
Siangnya, aku pergi ke rumah Lani. Aku butuh teman untuk bercerita, menumpahkan semua perasaan yang selama ini kurasakan. Sesampainya di sana, Aku langsung menuju ke ruang keluarga Lani di lantai dua. Ternyata di sana sudah ada Wendy dan Devi, bahkan Silvi cs juga ada. Tadinya Aku sedikit canggung dengan kehadiran Silvi dan teman-temannya. Tapi, keadaan mulai mencair setelah Silvi meminta maaf kepadaku.
“Na, sorry ya. Selama ini Aku udah negative thinking sama kamu. Aku udah denger kok ceritanya dari Randy tadi malam. Sekali lagi maafin Aku ya,” Silvi meminta maaf kepadaku sambil mengulurkan tangannya. Aku tersenyum, mengangguk, dan membalas uluran tangannya. Ina, Nanda, dan Alya ikut meminta maaf kepadaku. Betapa senangnya Aku hari ini. Akhirnya masalah demi masalahku selesai. Di tahun baru ini, Aku bisa memulai kehidupan baru dengan tersenyum. Tentunya, kehidupan yang lebih baik dan lebih indah. Setelah bermaaf-maafan, kami berteriak bersama, “Selamat Tahun Baru!”

Oleh : Alifiana Jatiningrum (04/X-2)

Read More......

Soccer Rankings