Di jalan besar aku bertemu dengan temanku, Adi namanya “Hai…Tumben lo berangkat awal.” Sapa Adi. “Ya iyalah…Sekali – kali nggak apa – apa kan? Lagian takut ntar hujan.” Jawabku. Di jalan besar banyak anak – anak yang berangkat sekolah maupun para orang tua yang sibuk dengan urusannya masing – masing. Kami ngobrol bareng selama perjalanan, biasalah urusan anak SMP. Akhirnya kita pun sampai di gerbang ilmu yang kunantikan. Di tempat parkir, aku di sapa oleh seorang teman “Selamat pagi..” sapa Rahma padaku. “Selamat pagi..” jawabku. “Bareng yuk..” kami pun menuju kelas bersama. Dalam kelas masih terlihat sepi, hanya beberapa anak saja yang sudah mengisi bangku – bangku. Aku memilih bangku yang terletak di belakang dan menyandar tembok Adi juga duduk di sebelahku. Itulah tempat favoritku. Bangku bagian belakang memang biasanya diisi oleh anak laki – laki.
Aku duduk di depan kelas menunggu teman – teman. “Sendirian? Belum ada yang berangkat?” Tanya Suma yang baru saja datang. “Udah, tuh Adi di dalam. Tapi masih banyak yang belum berangkat, padahal udah jam segini. Mungkin karena mendung dikira masih pagi.” Jawabku. Tiba – tiba Dimas datang terburu – buru memilih tempat. “Tahu tidak, nanti ulangan fisika mendadak!” kata Dimas sambil terengah – engah karena capek sehabis berlari. “Yang bener lo?!” Tanya Adi tak percaya. “Iya! Kata anak kelas sebelah yang udah ulangan mendadak!” jawab Dimas sambil melotot. “Astaga gue belum persiapan! Tadi malam gue nggak belajar. Gimana nih?” Aku cemas. “Tenang saja, gue udah mempersiapkan semuanya.” Kata Egi yang tiba – tiba datang. Mendadak semua anak – anak membuka buku fisika masing – masing dan membolak – balikan halamannya. “Tet…tet…tet…” Bel berbunyi, hatiku semakin berdebar saja. “Anak – anak, keluarkan selembar kertas, hari ini akan ada ulangan mendadak!” Perintah Pak Hadi sambil masuk ke kelas. “Ha…!!” Serentak anak – anak menjerit. Namun apa daya, ulangan tetap ulangan.
Detik demi detik berlalu, aku hampir menyelesaikan soalku, namun waktu hanya tinggal beberapa detik lagi. Kutengok Budi di belakangku, jawabannya masih kosong hanya beberapa saja yang diisi. Lalu kutendang bangku Egi di depanku yang katanya sudah persiapan, aku berniat ingin mengunduh sedikit jawaban darinya, namun…”Waktu sudah habis, jawaban kumpulkan!” Perintah Pak Hadi. “Aduh… Gimana nih? Kurang sedikit.” Akhirnya ku isi asal saja, yang penting ada isinya. Kulihat wajah Budi nampak suram.
Sepulang sekolah aku berniat langsung pulang ke rumah karena hari masih mendung. “Hoy, bareng yuk!” ajak Adi. Kami meluncur keluar gerbang bersama. Dibelakang kami juga ada Egi, Suma, dan Dimas kami memang biasa bersama – sama dalam segala hal. “Gila bener nih, mendung dari pagi tapi nggak ujan – ujan ya…” kata Egi sambil menengok ke atas. “Hati –hati lho kalau ngomong, bisa aja sekarang turun hujan.” Balas Dimas. Lama kami ngobrol, lalu aku diajak menemani Adi ke toko karena Adi ada titipan dari ibunya. Aku melangkah masuk ke toko, aku juga ingin membeli sesuatu untuk dimakan, karena aku juga agak lapar. Tiba – tiba Adi tertabrak seseorang dari belakang, dan menengok kebelakang, ternyata adalah seorang gadis satu SMP. “S…sory…” kata gadis manis itu. “I…Iya.” Jawabnya sambil menatap wajah gadis itu. Aku melanjutkan memilih makanan dan akhirnya aku coklat dan roti.”Ah.. ini dia!” kataku sambil berjalan menuju kasir. “Berapa mbak?” tanyaku. “ Rp 7500.” Aku menyodorkan uang dari sakuku . Adi juga sudah selesai memilih belanjaannya. Aku pulang mengayuh sepedaku pelan – pelan, sambil makan roti. Tiba – tiba anak perempuan yang tadi bersepeda menjajari kami. Dan kami pulang bersama sambil ngobrol. “Kamu beli apa saja? Banyak banget.” Tanyaku pada gadis itu. “Aku beli bahan – bahan untuk masak ibu nanti sore.” Jawab anak manis itu. Kulihat nama di bajunya, tertulis Indah W. “Namamu Indah Ya?” tanya Adi memberanikan diri. “Iya, kamu siapa?” tanyanya. “Aku Adi. Kalau nggak salah kamu anak kelas IXD ya?” dia hanya mengangguk. Akhirnya kami terlarut dalam obrolan.
Tiba – tiba saja gerimis aku dan Adi berniat ingin membuka payung dan melanjutkan perjalanan, namun ternyata Indah tak membawa payung, “Kita berteduh di gubuk itu yuk! Kasihan kalau kita langsung pulang meninggalkan Indah sendiri khan?” Pinta Adi. “Lo aja ah! gue mau pulang dulu, udah laper nih!” Balasku. “Ah… Bentar aja, lagian kan lo dah beli roti, makan aja di sini. Masa lu tega sih ninggalin gue sendiri.” Aku akhirnya kasihan juga padanya, jadi kami berniat bernaung di sebuah gubuk di pinggir jalan. Kami duduk di bangku panjang, kulihat jalanan sepi sekali hanya beberapa motor saja yang lewat. Ku lihat Adi dan Indah ngobrol asik sendiri seakan mereka lupa kalau ada aku. “Bakalan lama nih hujan. Mendungnya tebel banget. Masih setengah perjalanan lagi...” aku ngomel sendiri. “Sudahlah, Hujan adalah karunia Tuhan. Harus di syukuri. Kalau tidak ada hujan kita tidak bisa makan, kalau ada hujan, kita malah ribut.” Jawab Indah dengan tersenyum. Aku hanya pura – pura tersenyum mendengarnya, padahal aku sebel banget, harusnya aku kan di rumah menikmati secangkir teh hangat sambil nonton TV, malah jadi obat nyamuk ketika Adi dan Indah berduaan. Aku diabaikan begitu saja. Akhirnya aku makan roti sendiri di pojok.
“Wah… Akhirnya hujan reda juga ya… Yuk kita pulang!” Kataku. “Sayang ya hujan sudah reda…” Kata Adi. Kami melanjutkan perjalanan namun kami harus berpisah dengan Indah di pertigaan jalan. “ Bye…” Kata Indah sambil melambaikan tangan kepada kami. “Lu kok tega sih Di, membiarkan gue sendiri tadi. Lagian kan kalau tadi lo ketahuan mantan lo gimana?” Kataku kesal. “Maaf, tadi gue emang lagi enak suasananya, jadi nggak bisa diganngu. Soal mantan gue… kita udah nggak ada hubungan lagi, santai aja. Kapan ya bisa kaya tadi lagi? Lo mau kan nemenin gue lagi?” Kata Adi sambil nyengir. “Ah… Ogah! Mendingan gue pulang ajah dari pada jadi obat nyamuk!”
Setiba di rumah, aku langsung menyerbu dapur. Tapi ternyata, Cuma nasi yang tersisa. “Masak mie saja, hari ini ibu nggak masak!” Teriak ibuku dari kamarnya. Belum sempat ganti baju, aku langsung menyalakan kompor dan menyiapkan bahan – bahannya. Aku makan mie sambil nonton TV. Acaranya sangat menarik sehingga aku lupa waktu. “Asstaghfirullah! Dah jam segini, belum sholat lagi!” aku lalu ganti baju dan wudhu. Setelah sholat, aku berniat tidur sebentar karena capek banget rasanya. Lagi beberapa menit memejamkan mata, HP – ku berbunyi, ada telepon. Dari Adi, “ Halo, lo punya nomer HP cewek tadi nggak? Gue nggak ada kerjaan nih, mau SMS – an ma dia tapi nggak punya nomernya. Punya nggak?” “Gue ya nggak punya lah… Kirain lu tadi dah minta waktu lu ma dia mojok.” Jawabku. “Gue lupa! Makanya gue tanya ma lo.” “Ah… lu ada – ada aja. Kalo lu nggak ada kerjaan bantuin tuh mami – lu nyuci piring, jangan gangguin orang mau tidur. Lagian kan dia les ditempat kita, tanya aja besok.” Jawabku malas. ”Iya ya, geblek banget sih gue. Ya udah, maaf ganggu. Tut…tut…tut…”
Keesokan paginya, aku berangkat sekolah seperti biasa, sesampainya disekolah, aku berjalan santai menuju kelas sendiri namun tiba – tiba aku disusul Rahma dari belakang. “Selamat pagi, sendirian? Adi mana? Biasanya bareng.” Sapa Rahma. “Pagi.. Iya nih. Mungkin Adi dah berangkat duluan. Nggak ketemu di jalan.” Jawabku sambil terus jalan agak tak memperhatikan Rahma. Sesampainya di kelas, aku memilih tempat. Ternyata Adi sudah berangkat duluan, dan aku meletakkan tasku disebelah tasnya. Lalu aku bertanya pada Nita, “Kau liat Adi?” “Kayaknya dia keluar tadi, tapi nggak tau kemana.”Jawab Nita sambil menyapu.
Lalu aku pergi ke perpustakaan, biasanya Adi kesana melihat koran pagi. Bukan berita bisnis yang dicarinya, namun berita olah raga seputar sepak bola. Apa lagi kalau klub favoritnya menang, bukan main senangnya. Namun hari ini terlihat sepi. Hanya ada petugas yang menyapu halaman yang kotor karena daun pohon jambu yang tumbuh rindang. Lalu aku balik ke kelas dan bertemu Egi yang baru saja berangkat. “lu liat Adi? Tumben dia ngilang. Biasanya kalau nggak nongkrong di depan kelas ya di perpus, tapi hari ini nggak ada.” Tanyaku pada Egi. “Mana gue tau! Orang gue baru berangkat. Mungkin aja dia ke WC karena sarapannya pake sambel terasi.” Jawab Egi. Tanya bener – bener malah asal jawab. Tiba – tiba Adi datang sambil nyengir sendiri. “Panjang umur lu, baru diomongin langsung nongol. Emang lu dari mana sih?” Tanya Egi heran. “Iya! Gue cariin kemana – mana nggak ketemu.” Tambahku. “Gue abis dari kelas sebelah. Ada urusan.” Jawab Adi yang masih pasang ekspresi nyengir seperti kuda. Tet… tet…tet… bel berbunyi. Hari ini Suma telat dan dia dihukum oleh guru menunggu di luar kelas hingga jam pelajaran pertama usai. “Sebenarnya tadi lo kemana sih? Gue cariin nggak ada.” Tanya ku pelan – pelan karena takut terdengar oleh guru. “Tadi aku ke kelas IXD nanya alamat Indah.” Jawabnya. “Trus lu dah dapet nomer HP – nya?” “Belum, katanya ntar sekalian les.” Jawab Adi agak keras hingga guru mendengar suaranya. “Adi! Kalau mau ngobrol diluar sana!” bentak guru pada Adi. Adi langsung diam tanpa kata, sementara aku tertawa dalam hati. Hi…hi…hi…kacian deh lu Di. Waktu istirahat, aku, Adi, Egi, Suma, dan Dimas pergi ke kantin. “Gila bener hari ini gue sial banget. Tadi pagi gue harus mompa ban sepeda gue depan – belakang, trus terjebak di gerbang abis itu, disuruh belajar di luar lagi.” Kata Suma kesal. “Itu emang udah Nasib lo, lagian kalau gue perhatiin, muka lo tuh emang muka – muka sial.” Kata Dimas menyindir. Kami tertawa mendengar omongan Dimas, sementara Suma menyedot es teh dengan kesal.
Hari ini setelah pulang sekolah, aku ada jadwal les matematika. Aku berangkat naik motor. Aku menghampiri rumah Adi dulu karena dia minta berangkat bareng tapi ia bawa motor sendiri. Setelah itu, kami ke rumah Suma. Aku berangkat satu motor dengan suma karena sepedanya bocor. Sesampainya di tempat les, aku duduk di bangku luar bersama dengan teman yang lain, sementara Adi mencari Indah. “Adi lagi nyari siapa sih? Kayak orang kebingungan.” Tanya Egi heran. “Paling dia lagi nyariin Indah. Katanya mau minta nomer HP – nya.” Jawabku. “Indah? Indah anak kelas IXD? Anak secantik itu mau sama Adi?” Balas Egi tak percaya. “Iya, kemarin aja gue malah jadi obat nyamuk waktu Adi ma Indah mojok. Mana waktu itu ujan lagi!” Aku kesal mengingat memori waktu itu. “ck…ck…ck…Adi bener – bener hebat. Udah berapa kali aja dia ganti pacar sejak kelas VII ya? Bener – bener playboy cap duren!” Suma kagum.
“Dah ketemu Indah Di? Kayaknya lo nyengirnya lebih lebar dari tadi pagi.” Tanyaku. “Ya iya lah… Siapa yang nggak seneng! Gue dah dapet nomer HP – nya Indah nih.” Jawab Adi sambil memamerkan nomer Indah pada anak – anak. “Sini gue minta! Lumayan buat kerjaan.” Pinta Egi memaksa. “Eit…eit…Enak aja lo! Ini nggak boleh buat macem – macem. Ini khusus buat gue tau!” Balas Adi sambil mencibir. Anak – anak yang lain tertawa melihat tingkah Adi yang aneh. “Wah… Bakalan makan – makan nih kita. Ada yang baru jadian nih…” kata Yoga sambil nyengir. Semua anak menyoraki Adi dan Indah. “Mari kita doakan agar Adi cepat putus dan dapet pacar baru lagi, biar kita makan – makan lagi!” Tambah Dimas. Anak – anak tertawa. “Jahat banget sih kalian pada! Nggak tau orang lagi seneng apa?” Balas Adi kesal. “Hey! Kelas dah mau mulai tuh jangan ketawa mulu! Dah cepet pada masuk!” Suma mengingatkan kami yang masih tertawa.
Dalam kelas les, aku pusing memikirkan angka – angka yang sangat rumit, sementara kulihat wajah Adi yang senyum – senyum sendiri entah melayang kemana pikirannya. Sepertinya Adi sudah menembak Indah dengan panah cinta sehingga pikirannya melayang entah kemana. Sepulang les, aku bertanya kepada Adi “ Di, lu dah nembak si Indah? Dari tadi lu senyam – senyum sendiri. Emang lu maksud pelajaran yang tadi?” “Gue? Ya nggak maksud lah! Tadi emang gue udah nembak dia sih. Lu dah tau sendiri kan jawabannya dari ekspresi muka gue?”.
Dalam perjalanan pulang, Aku berpisah dengan Adi karena aku harus mengantar Suma pulang. “Kok bisa – bisanya Indah mau ma Adi ya? Padahalkan Adi anaknya tuh agak playboy.” Suma tak percaya. “Iya juga sih. Tapi itu kan dah diatur oleh Tuhan, jadi ya… kita nggak tau deh. Jodoh udah ada yang ngatur.” Jawabku dengan agak bijaksana. Setelah aku mengantar Suma, aku langsung pulang. Sampai di rumah, aku langsung tiduran sambil nonton TV melepas rasa lelah dan pusing. Tak lama setelah itu, ada sms dari Adi. Katanya aku disuruh menemaninya membeli sesuatu untuk Indah besok. Aku sih Oke – oke saja asalkan tidak menemaninya pacaran lagi, sudah kapok aku.
Esoknya sepulang sekolah aku langsung menemani Adi ke toko untuk membeli suatu barang untuk Indah. Ketika aku bertanya pada Adi, dia hanya menjawab “Rahasia. Lo nggak boleh tau.” Ku lihat benda itu tak terlalu kecil dan tak terlalu besar. Ya… seukuran kotak 15 X 10 cm dan dibungkus kado yang indah. “Kalau anak lagi jatuh cinta tuh gimana rasanya sih?” Tanyaku pada Adi. “Ya… gimana ya… pokoknya sulit diungkapkan lah. Seakan dunia ini milik berdua, begitu sih kata orang – orang ha…ha…ha…” jawab Adi dengan ketawa. Tak banyak bicara, kami lalu meluncur ke rumah Indah. Rumahya lumayan besar dan indah pula. “Jangan lama – lama lho! Gue tinggal ntar.” Pesanku pada Adi. “Iya – iya nyantai aja.” Balasnya. Sekitar 15 menit aku menunggu sendiri di luar, tiba – tiba Adi nongol dari dalam. “Lama banget sih lo! Ngapain aja?” Tanyaku kesal. “Ada dech…” jawabnya singkat.
“Kami pulang dulu ya…” Pamit Adi pada Indah. Adi melambaikan tangan pada Indah, Indah pun membalasnya seperti pasangan suami istri. Aku hanya tersenyum pada Indah. “Di, lo hebat banget ya kalau soal cewek.” Kataku kagum pada Adi. “Siapa dulu dong, Adi gitu loh! Mau diajari?” jawabnya sombong. “E..enggak ah nggak minat gue.” Jawabku singkat. Lalu kami pun meneruskan perjalanan kami.
Nama : Ahmad Syuhaendie
No / Kelas : 03 / X2